Penghargaan bagi Guru Diperoleh Hanya dalam Khilafah - Tinta Media

Rabu, 09 Februari 2022

Penghargaan bagi Guru Diperoleh Hanya dalam Khilafah

Penghargaan bagi Guru  Diperoleh Hanya dalam Khilafah

Tintamedia.web.id -- Pemerintah akan melakukan penghapusan tenaga honorer di setiap instansinya. Rencana ini akan diberlakukan pada 2023 mendatang. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai. Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada pasal 96, pemerintah melarang pengangkatan tenaga non-PNS atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.

Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengaku dilema menanggapi kebijakan penghapusan tenaga honorer, apalagi mengenai nasib para guru honorer. Ia menuturkan bahwa tenaga honorer di Pemerintahan Kabupaten Bandung ada 25 ribu orang, sementara 20 ribu orang merupakan tenaga guru honorer.(radarsukabumi.com)

Karut-marut nasib guru honorer memang sudah terjadi sejak lama. Penghapusan status honorer merupakan hal yang tidak manusiawi. Sebelumnya, melalui PP 56 tahun 2012, pemerintah memberikan kesempatan terakhir pada Tenaga Honorer Kategori 2 (K2), termasuk guru di dalamnya untuk melakukan seleksi pada tahun 2013. Bagi eks THK2 yang tidak memenuhi persyaratan dalam seleksi CPNS 2018, mereka dapat mengikuti seleksi sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Yang tidak lolos keduanya akan dilakukan pendekatan kesejahteraan melalui UMR oleh pemda dengan penambahan transfer keuangan dari pusat untuk peningkatan kesejahteraan guru honorer.

Faktanya, semua solusi tersebut hanya hebat di atas kertas. Persyaratan yang ketat dan menyulitkan, mulai dari usia sampai kuota yang terbatas membuat jumlah yang terserap sangat sedikit.

Banyaknya pemerintah daerah yang kesulitan menanggung beban pendanaan, tidak bisa memberikan jaminan bagi kesejahteraan guru. Karena itu, adanya wacana penghapusan tenaga guru honorer, memungkinkan hilangnya lapangan kerja yang selama ini didapat oleh guru honorer, sehingga akan memunculkan masalah baru berupa bertambahnya pengangguran dan berkurangnya jumlah guru yang mengajar. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan.

Kebijakan terkait adanya pekerja tetap dan pekerja honorer dalam sistem ketenagakerjaan di negeri ini, telah menjadikan posisi guru honorer seakan menjadi pekerja yang kurang berkualitas dibandingkan dengan guru PNS. Pantas, jika upahnya rendah atau sering telat hingga berbulan-bulan. Bahkan, pembayaran upah guru honorer berasal dari 20% dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang cair pertiga bulan.

Status kepegawaian yang tidak jelas, menyebabkan kesejahteraan mereka otomatis tidak terjamin dan bisa diberhentikan kapan saja tanpa ada jaminan apa pun. Status guru honorer seperti dilematis, sebab Undang-Undang (UU) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menerapkan syarat pendidikan profesi guru (PPG) untuk bisa disebut sebagai pendidik. Padahal, beban pekerjaan yang mereka emban sangat berat, bahkan terkadang melebihi para guru PNS. Karena itu, wajar jika ada jargon yang selalu mereka ungkapkan,"Guru honorer, kerjanya serius, tetapi gajinya main-main."

Sistem kepegawaian yang seperti ini, terutama yang menimpa guru honorer, merupakan gambaran tentang bagaimana kepemimpinan negeri ini dalam mengurus rakyat. Otonomi daerah yang dijalankan di Indonesia, semakin menunjukkan kelemahan sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan.

Kemampuan tiap daerah dalam pengadaan APBD, sering menjadi batu sandungan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, termasuk pemenuhan upah dari pegawai yang ada dalam pengaturan pemerintah.

Sistem yang menjadikan materi dan asas untung rugi sebagai orientasi atas segala kebijakan ini, menjadikan  keberadaan negara layaknya instansi perusahaaan yang hanya mengejar keuntungan, sehingga jauh dari upaya menjamin kesejahteraan rakyatnya. Begitu pun dengan profesi guru honorer. Sebagai bagian dari rakyat, mereka juga terkena imbas. Keberadaan mereka seperti beban berat yang terus bertambah bagi pemerintah. Padahal, kontribusi mereka dalam dunia pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata.

Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Islam. Konsep ri'ayah (pengaturan urusan) rakyat sebagai sentral dari orientasi penyelenggaraan kehidupan bernegara, menjadikan negara berupaya agar kebutuhan rakyat terpenuhi secara maksimal, termasuk para guru.

Ketika Islam  diterapkan, aspek pendidikan mendapat perhatian besar dan sejalan dengan syariat Islam yang menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban.

Islam menempatkan ilmu, orang yang berilmu, dan mempelajari ilmu ada dalam posisi mulia, sehingga dihukumi wajib. Bahkan, majelis ilmu diibaratkan sebagai taman-taman surga. Para penuntut ilmu diberi jaminan doa terbaik dari malaikat dan seluruh makhluk yang ada di muka bumi.

Konsep inilah yang memengaruhi visi negara dalam berbagai kebijakan pendidikan. Negara Islam (khilafah) akan memberikan perhatian maksimal dalam mewujudkan sistem pendidikan bagi rakyat dan semua yang terlibat di dalamnya, mulai dari pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, pengadaan aktivitas riset dan penelitian dalam upaya pengembangan ilmu dan teknologi, juga ketersediaan para guru yang mumpuni, tanpa adanya pembagian guru PNS atau guru honorer. Hal ini menjadikan keberadaan dana pendidikan yang disediakan cukup besar, apalagi layanan pendidikan ini gratis bagi seluruh rakyat, dan upah para gurunya pun yang fantastis.

Tercatat saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab, gaji guru setingkat TK sebesar 15 dinar emas per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Para guru dan Ulama yang berhasil menyusun kitab ajaran diapreasi dengan emas seberat buku yang diterbitkan. Pada masa Khilafah Abbasiyah, Ibnu Duriat digaji 50 dinar per bulan oleh al-Muqtadir yang jika dikonversikan ke rupiah maka gaji guru pada masa kekhilafahan sekitar 136 juta.

Hal ini dapat dilakukan karena Khilafah menerapkan sistem Islam secara komprehensif (kaffah), yang menjadikan politik pendidikan Islam tegak kokoh. Sistem ekonomi Islam yang kuat akan mendukung dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, yang diambil dari dana pos kepemilikan umum Baitul Mal, yang bersumber dari pengelolaan SDA secara mandiri tanpa intervensi asing.[]

Wallahua'lam bishawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :