Tinta Media -- Apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh pria penendang sesajen dengan sikapnya yang begitu frontal? Adakah motif di balik perbuatannya? Apakah keinginan dia sendiri dalam rangka untuk menghentikan kesyirikan? Atau ingin dilihat khalayak bahwa dirinya seorang pahlawan pemberani? Atau dia menganggap dirinya paling benar dan paling suci? Atau ada dalang di balik peristiwa ini, dan dia hanyalah pelaku bayaran sebagaimana dalam novel Tere Liye 'Bedebah di Ujung Tanduk'?
Jika memang itu adalah keinginan dia sendiri dalam rangka menghentikan kesyirikan, saya juga sepakat bahwa segala bentuk kesyirikan, kemaksiatan, dan kezaliman harus dihentikan. Tentu tidak dengan cara yang frontal dan ngawur.
Hal ini karena amal perbuatan dikatakan ahsan (baik) ketika dua syarat terpenuhi. Yang pertama ikhlas karena Allah, yang kedua cara yang dilakukan harus benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Meskipun ikhlas, jika cara yang ditempuh tidak benar, maka ini juga tidak disebut amal perbuatan yang baik. Begitu sebaliknya, meskipun caranya benar, tetapi niatnya tidak ikhlas karena Allah, maka perbuatan tersebut dikatakan tidak baik.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nahl (16): 125 yang artinya,
"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Apabila dia melakukan perbuatannya itu hanya karena ingin dilihat masyarakat seantero negeri ini, supaya dipandang hebat atau dianggap sebagai pahlawan pemberani, karena dalam cuplikan video itu ia melakukan perbuatannya seorang diri, jelas, saya katakan ini adalah sesuatu yang hina dan menjijikkan.
Betapa tidak, Islam sendiri telah mengajarkan tentang penyakit hati, antara lain riya (ingin dilihat orang), ujub (membanggakan diri), takabur (sombong), dan tasmi' (ingin didengar manusia). Maka, amalan yang disandarkan pada semua itu jelas mengantarkan pelakunya pada kesia-siaan dan kehinaan. Perbuatan tersebut haram hukumnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Abdullah bin Amru, riwayat ath-Thabrani dan Baihaqi, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda yang artinya,
"Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada manusia, maka Allah akan mendengarkan amalnya pada pendengaran seluruh makhluk Allah. Allah akan mengecilkan dan menghinakannya (di hari kiamat)".
Jikalau dia melakukan hal tersebut karena menganggap sesajen adalah bentuk kesyirikan yang harus dienyahkan, ini merupakan hal yang benar. Memang segala bentuk kemaksiatan harus dicegah dan dihentikan. Namun, ada hal yang mesti diingat, jangan pernah merasa diri kita paling benar dan paling suci. Apalagi dengan membawa embel-embel Islam seperti pekikan takbir. Hal ini karena tidak ada yang tahu amalan kita selama ini sudah benar atau belum, diterima oleh Allah atau tidak.
Dengan demikian, berhati-hatilah. Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat An-Najm (53): 32 yang artinya,
"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa."
Kemungkinan selanjutnya, dia hanya pelaku bayaran. Sebagaimana yang ada dalam cerita novel Tere Liye yang berjudul 'Bedebah di Ujung Tanduk', ada skenario di balik permainan tersebut.
Karena itu, kita sebagai masyarakat harus selalu waspada dengan berbagai kemungkinan. Bisa saja pelakunya tidak diproses, tetapi pemberitaannya dibesar-besarkan dengan membangun sebuah narasi intoleransi, membenturkan Islam dengan agama lain maupun adat dan kebudayaan yang ada di negeri ini. Hal ini karena pelakunya menampakkan simbol-simbol Islam, seperti pakaian gamis, peci, dan kalimat 'Allahuakbar', 'La ilaha illlaAllah', 'Lahaula wa la quwwata illa billah'.
Semua narasi itu muaranya diarahkan kepada Islam moderat atau moderasi agama untuk menghindari pemahaman yang ekstrim atau yang biasa disebut sebagai Islam radikal.
Jika kita perhatikan secara saksama, beredarnya video yang durasinya hanya sekitar satu menit itu jelas merupakan perbuatan arogan dan frontal, serta tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini karena Islam turun sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk meneror atau menimbulkan keresahan di masyarakat. Islam dengan tegas mengajarkan arti sebuah toleransi dengan benar, sebagaimana yang ada dalam Surah Al-Kafirun ayat 6, yang artinya,
"Untukmu agamamu dan untukku agamaku."
Maknanya, bahwa kita tidak boleh mengganggu agama atau kepercayaan lain, dengan membiarkan mereka memeluk dan menjalankan ibadah mereka sesuai keyakinannya. Namun, kita tidak ikut serta dalam aktivitas ibadah mereka.
Dalam hal muamalah, kita tetap berinteraksi dan menjaga hubungan baik dengan siapa pun juga tanpa memandang suku, ras, golongan dan agama. Itu karena kita hidup dengan masyarakat yang majemuk dan beragam agama, adat dan kebudayaan. Aktivitas amar ma'ruf dan nahi mungkar tetap harus dilakukan, tetapi tidak dengan cara kekerasan atau frontal karena bisa berakibat fatal.
Sejak kecil, orang tua kandung saya dan masyarakat sekitar masih kental dengan budaya 'kejawen'nya, meskipun memeluk Islam. Mereka masih sering menyiapkan semacam sesajen pada hari dan waktu tertentu, seperti hari geblag (hari di mana salah satu keluarga/kerabat meninggal). Menurut kepercayaan mereka, setiap hari geblag itu, arwah orang yang meninggal datang lagi dan minta dikasih sesajen berupa makanan maupun minuman, seperti kopi dan rokok. Kemudian ada tempat-tempat yang disakralkan seperti Gunung Jalu dan Sendang.
Setiap menjelang hari raya Idul Fitri atau sedekah bumi, sebagian masyarakat membawa ambeng (tumpeng) untuk dipersembahkan kepada arwah yang menjaga sendang maupun gunung itu, yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat maupun melindungi mereka dari musibah dan marabahaya.
Astaghfirullah. Itu merupakan perbuatan yang jelas-jelas syirik, dan tergolong dosa besar. Meskipun demikian, saya tidak bisa langsung marah atau berbuat frontal menentang kesyirikan yang dilakukan oleh orang tua saya dan sebagian besar masyarakat di desa itu. Alih-alih memberantas kemusrikan, justru menimbulkan kegaduhan dan masalah di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kita sebagai orang Islam dan beriman, mestinya menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan dalam setiap amal perbuatan, termasuk dalam hal berdakwah, menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran.
Begitu juga ketika mengubah pemikiran yang kufur dan sesat yang ada di tengah masyarakat. Dalam berdakwah, beliau menempuh tiga tahapan sebagai berikut :
Pertama, proses pembinaan. Hal ini pertama kali dilakukan di rumah Arqsm bin Abi Arqam untuk membina para sahabat. Rasulullah menancapkan akidah dengan benar dan memperkaya tsaqafah keislaman.
Akidah yang kuat, dan pengetahuan Islam yang matang adalah bekal yang sempurna untuk berdakwah, menyeru kepada yang lain.
Kedua, berinteraksi dengan umat atau masyarakat. Setelah matang dari sisi tsaqafah, dan keimanan yang telah menghujam, saatnya terjun ke masyarakat untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran Islam agar masyarakat menjadikan Islam sebagai solusi dari segala permasalahan, kemudian memaparkan fakta kerusakan maupun kezaliman, memberikan solusi Islam. Selain itu, membongkar makar jahat dari musuh-musuh Islam dengan metode lamadiyah (tanpa kekerasan).
Pada tahapan inilah siraul fikri (pergolakan pemikiran) terjadi, bahkan terjadi gesekan-gesekan di masyarakat. Namun, Rasulullah dan para sahabat tetap sabar dan bertahan, tidak boleh melakukan kekerasan dan perlawanan. Meskipun jumlah mereka pada saat itu sudah cukup banyak, tetapi tetap saja masih berbentuk kutlah (kelompok).
Jadi, yang bisa dilakukan adalah terus menyampaikan opini Islam sampai terbentuk kesadaran umum dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, mereka sadar bahwa hanya dengan Islamlah segala permasalahan umat dapat dituntaskan.
Yang ketiga adalah tahapan terakhir, yaitu penerapan hukum-hukum Islam secara kafah melalui institusi resmi yang disebut Khilafah Islamiyyah. Daulah Islam pertama berdiri di Madinah pada tahun pertama hijriah, melalui pertolongan Kaum Aush dan Kozroj.
Dari sinilah Rasulullah berkedudukan sebagai kepala negara, qadli, dan panglima militer. Beliau juga memelihara berbagai urusan kaum muslimin dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka.
Di samping itu, beliau mengangkat beberapa komandan ekspedisi dan mengirimkan ke luar Madinah. Jadi, sejak tiba di Madinah, beliau telah mendirikan Daulah Islam dan dijadikan sebagai pusat pembangunan masyarakat di atas pondasi akidah yang kokoh.
Beliau kemudian mempersiapkan kekuatan yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah, termasuk memberantas segala bentuk kemaksiatan dengan tata aturan Islam yang elegan.
Jadi, seperti itulah metode Rasulullah dalam berdakwah. Sebagai umatnya, tentu kita tidak boleh menggunakan metode di luar yang dicontohkan oleh Rasulullah, karena dengan metode yang salah, maka tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Islam adalah sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan berbagai problematika manusia. Islam mengajarkan toleransi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, mustahil menyebabkan keresahan, kekacauan, maupun perpecahan.
Allahu'alam Bishawwab
Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd
(Aktivis Muslimah Batam)