Sembako Mahal, Tanggung Jawab Siapa? - Tinta Media

Senin, 10 Januari 2022

Sembako Mahal, Tanggung Jawab Siapa?

Sembako Mahal, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Ummu Alfatih Hidayat
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Tinta Media -- Suprise atau kejutan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Pada awal tahun ini, kembali para kaum emak diberikan suprise, yakni dengan naiknya harga sembako. Tentu saja suprise ini membuat geleng-geleng kepala, di mana gaji buruh tak kunjung menyejahterakan sementara harga kebutuhan pokok kian meroket.

Dilansir dari laman Kontan.co.id (30/12/2021), sebelumnya pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato, sempat mengatakan bahwa pemerintah berupaya menurunkan harga berbagai komoditas, seperti minyak goreng usai tahun baru 2022.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan yang mengatakan bahwa beberapa harga bahan pokok seperti telur ayam dan minyak goreng akan turun setelah tahun baru 2022, sangat optimis karena sebelum Natal dan Tahun Baru, operasi pasar terus dilakukan. Salah satunya dengan mengguyur pasar dengan 11 juta liter minyak seharga Rp14.000 per liternya. Namun, harapan itu hilang begitu saja. Nyatanya, pasca Natal dan Tahun Baru, harga sembako tetap saja mahal.

Fakta di lapangan sejak akhir tahun 2021 menunjukkan bahwa kenaikan harga sembako membuat masyarakat mengerutkan dahi. Sebagai contoh harga minyak goreng curah di pasar, dengan rata-rata harga Rp18.000 dan kini di tahun 2022 menjadi Rp20.000. Padahal, eceran tertinggi telah ditetapkan sebesar Rp11.000. Sementara harga minyak goreng kemasan 2 liter pindah harga dari Rp25.000 menjadi Rp45.000.

Kondisi yang sama juga terjadi pada komoditas yang lain seperti telur ayam, cabai rawit, beras, tarif dasar listrik, hingga tabung gas. Padahal, beras termasuk dalam komoditas terpenting dari sisi politis dan strategis.

Kenaikan Harga Sembako, Mengapa Terus Berulang?

Kondisi meroketnya harga sembako sungguh memberatkan masyarakat, termasuk para pelaku usaha dan buruh. Situasi pandemi juga belum jelas muaranya. Biaya pendidikan juga semakin mahal. Kondisi seperti ini membuat beban ekonomi masyarakat semakin bertambah.

Ironisnya, kasus seperti ini terus terjadi dan kembali berulang. Tiap jelang hari-hari besar seperti Ramadan, lebaran, Natal, dan tahun baru, kerap kali harga sembako meroket dan tak bisa dikendalikan. Banyak dalih tentang kenaikan harga sembako, di antaranya meningkatnya jumlah permintaan akan barang, kelangkaan barang di pasaran, cuaca ekstrem, maupun rantai pasok seperti penimbunan barang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab hingga alasan harga pasar internasional.

Sebagai contoh, lonjakan harga minyak goreng terjadi karena adanya kenaikan harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar ekspor. Harga CPO ini naik, karena adanya serapan yang besar untuk program mandatori Biodiesel 30% (B30).

Sayangnya pada kondisi seperti ini, pemerintah selalu gagap dalam menyikapinya. Operasi pasar selalu dijadikan jurus andalan dan menyatakan bahwa harga-harga sembako terkendali dan stok aman. Namun, realitas di lapangan tiba-tiba harga merangkak naik. Alhasil, mereka kelabakan menyikapinya. Seharusnya kasus berulang seperti ini menjadi pelajaran bersama. Mahalnya sembako memberi dampak yang luar biasa bagi masyarakat, di antaranya kesejahteraan menurun, kemiskinan meningkat, kelaparan, hingga gizi buruk.

Beberapa aturan bisa saja diperbaiki dengan pengawasan yang ketat, misalnya terkait politik ekonomi dan perdagangan seperti kebijakan impor dan ekspor yang diterapkan, politik perindustrian, politik pertanian, manajemen informasi dan pendataan, serta penegakan hukum pada pelaku kecurangan seperti kartel atau monopoli, serta pengaturan asas kepemilikan.

Memang benar, adanya berbagai strategi untuk menjamin ketersediaan stok bahan pokok nasional dan stabilisasi harga memang sudah direncanakan dan dicanangkan. Namun, realisasinya belum tepat di lapangan. Dalam sistem hari ini yakni kapilatisme-sekulerisme, kesejahteraan sangat sulit untuk di dapat. Sistem saat ini menjadikan negara hanya sebagai pembuat kebijakan. Seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan setiap warga negaranya, termasuk mampu mengendalikan kenaikan harga sembako.

Islam, Solusi Menyejahterakan Rakyat

Berbeda dengan paradigma atau cara pandang dalam sistem Islam. Negara sejatinya adalah pelayan dan pelindung untuk masyarakat, bukan untuk para pengusaha. Negara wajib memastikan bahwa kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan sebaik-baiknya, sebagaimana kewajiban negara memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga. Tidak ada kepentingan yang mengikutinya, tetapi hanya bersandar pada ketaatan dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Negara benar-benar memastikan bahwa segala sumber daya alam dikelola dengan mekanisme yang benar, tidak diprivatisasi untuk pihak asing dan swasta. Hal ini demi terwujudkan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.

Sejatinya, kekuasan adalah amanah yang dengannya, hukum-hukum Allah Swt. dapat ditegak. Karena itu, solusi terbaik untuk menyelesaikan problematika kesejahteraan rakyat adalah dengan mencampakkan sistem kapitalis sekuler menjadi sistem Islam. Lahirnya sistem Islam akan mewujudkan individu dan penguasa yang taat. Negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, berupaya meminimalisir kemiskinan dengan menerapkan Islam sebagai satu-satunya sistem terbaik bagi kehidupan.

Wallahua'alam

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :