Privatisasi PLN Menyengsarakan Rakyat dan Bertentangan dengan Syariat - Tinta Media

Kamis, 13 Januari 2022

Privatisasi PLN Menyengsarakan Rakyat dan Bertentangan dengan Syariat

Privatisasi PLN Menyengsarakan Rakyat dan Bertentangan dengan Syariat

Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media

Tinta Media -- Privatisasi PLN menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan syariat. Dikatakan menyengsarakan rakyat  sebab  pembukaan UUD 1945 mengamanahkan pada negara untuk memajukan kesejahteraan umum.

Nyatanya, penguasa yang diberi kuasa untuk memegang tampuk kekuasaan bekerjasama dengan oligarki dan asing malah  memeras rakyat untuk kepentingan mereka. Kebutuhan rakyat terhadap listrik tidak mereka penuhi.

Pembangkit listrik Jawa-Bali, sembilanpuluh persen sudah dikuasai Asing dan Aseng. Jaringan ritail sudah dijual dalam bentuk token oleh Dirut PLN pada 2010-2011. Di Jawa-Bali sudah terbentuk kartel listrik swasta. Jaringan transmisi dan distribusi PLN sudah disewa kartel listrik swasta.

Dengan kondisi di atas, menurut Prof. David Hall, kelistrikan Jawa Bali sudah terjadi multy buyer and multy seller (MBMS) sistem. Hal ini berakibat operating cost tidak bisa dikontrol negara.

Di negara-negara yang sudah mengalami penjualan perusahaan listrik negara dan terjadi MBMS, terjadi lonjakan tarif listrik lima atau enam kali lipat dari sebelumnya.

Di Indonesia juga terjadi peningkatan biaya kelistrikan. Hal ini ditandai dengan melonjaknya subsidi listrik yang meningkat 400%. Dari rata-rata Rp50 triliun per tahun saat ditangani PLN, menjadi Rp200,8 triliun pada 2020. Meski subsidi saat ini masih ditutup oleh pemerintah, tetapi lambat laun akan dihilangkan.

Hal ini nampak dari rencana menteri  BUMN  Erik Thahir yang akan membentuk sub holding bidang niaga untuk mengefektifkan pelayanan konsumen.

Pembuatan sub holding PLN  ini menjadi target UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja Kluster Kelistrikan.  Undang-undang ini menginduk pada The White Paper, sebuah kebijakan restukturisasi sektor ketenagalistrikan yang diterbitkan oleh Departemen Pertambangan dan Energi pada 25 Agustus 1998.

Isinya berupa copy paste dari konsep The Power Sector Restructuring Program (PSRP), sebuah konsep dari International Financial Institutions (IFIs) seperti World Bank, ADB dan IMF sebagai follow up dari _Letter of Intent yang terbit pada 31 Oktober 1997.

Antara lain, Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen untuk tidak terlibat dalam urusan pelayanan publik seperti PLN.

Karena itu, PLN harus diprivatisasi atau diswastanisasi. Kalau sudah begini, listrik akan diliberalkan mengikuti mekanisme pasar bebas tanpa subsidi lagi. Yang punya duit bisa beli, yang tak punya duit gigit jari. Rakyat terzalimi.

Dikatakan bertentangan dengan syariat Islam sebab dalam pandangan Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum  yang  pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, padang, air, dan api,” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut. Negara tidak boleh memprivatisasi listrik.  Individu maupun swasta dilarang mengelola dengan alasan apa pun. Sebaliknya negara wajib menjamin kebutuhan listrik bagi rakyat.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, negara bisa menempuh beberapa kebijakan, yaitu membangun sarana pembangkit listrik yang memadai, melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara  mandiri, mendistribusikan listrik kepada rakyat dengan harga murah atau diberikan secara cuma-cuma.[]

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :