Negeri Atas Angin dan Kerinduan pada Islam - Tinta Media

Kamis, 20 Januari 2022

Negeri Atas Angin dan Kerinduan pada Islam

Negeri Atas Angin dan Kerinduan pada Islam

Tinta Media -- Sebelum era penjajahan Spanyol dan Portugis pada abad ke 16-17 M, nusantara bisa dikatakan menjadi pusat funia. Jalur hubungan antar bangsa melalui Samudera dari bangsa Cina di sebelah utara dan bangsa India di sebelah barat bertemu dan saling berinteraksi di kepulauan nusantara.

Hubungan ini bukan hanya terkait perdagangan semata, tetapi juga hubungan budaya dan agama. Keramik berasal dari Cina bertemu dengan kain dari India, serta rempah-rempah dari kepulauan nusantara menciptakan hubungan harmonis yang saling menguntungkan selama berabad-abad lamanya.

Mengapa jalur pelayaran dan pertukaran budaya terjadi di nusantara? Jawabannya adalah angin.

Pada masa kuno, pelayaran samudera yang menghubungkan antar bangsa sangat tergantung pada angin dan cuaca. Sementara itu, kepulauan nusantara adalah tempat di mana angin berhembus dari utara dan berbalik ke selatan setiap tahunnya. Inilah yang disebut dengan angin Monsun atau angin Muson.

Angin Monsun berubah secara periodik setiap 6 bulan sekali. Angin Monsun bertiup ke arah selatan pada bulan Juni hingga September setiap tahunnya. Bulan-bulan tersebut adalah saat yang tepat bagi para pedagang Cina untuk mulai berangkat menuju nusantara. Sementara itu, para pedagang India bersiap-siap untuk pulang kembali ke negeri asalnya.

Begitu pula pada bulan Oktober hingga November, angin bertiup ke arah utara yang membawa para pedagang Cina pulang ke negaranya, dan pedagang India berangkat menuju nusantara.

Hal inilah yang kemudian membuat Nusantara hingga abad ke 17 M dikenal sebagai Negeri Atas Angin yang menjadi pusat perdagangan dan penghubung antara negeri-negeri di sekitar Samudera Hindia dan Laut China Selatan.

Interaksi damai antara para pedagang antar bangsa yang terjadi di kepulauan nusantara, baik di selat Malaka maupun di Jawa memungkinkan terjadinya akulturasi budaya. Mereka saling memengaruhi dalam makanan, pakaian, maupun karakter dalam pergaulan sehari-hari.

Namun, dalam urusan agama dan perdagangan, mereka tidak biasa berakulturasi dikarenakan oleh perbedaan kasta. Para agamawan atau kasta Brahmana dan para pedagang dengan kasta Sudra memiliki domain tersendiri dalam kehidupan sosial mereka sehingga tidak saling memengaruhi.

Pada masa itu, hanya lingkungan kerajaan yang memiliki akses terhadap agama, sementara para pedagangnya jarang saling memengaruhi terkait agama dan kepercayaan masing-masing.

Namun, berbeda dengan Islam. Islam tidak tidak membeda-bedakan kewajiban dan kasta dalam kehidupan sosialnya, sehingga semua orang wajib menjauhi seluruh larangan dan melaksanakan semua kewajiban yang telah dibebankan, termasuk di dalamnya adalah para pedagang.

Pada masa itu, para pedagang yang berasal dari kesultanan Mughal di India maupun pedagang Arab yang ada di sana merupakan pengemban dakwah Islam. Karena itu, ketika mereka menjalankan urusan bisnis, tidak lantas meninggalkan urusan dakwahnya.

Sambil menunggu datangnya angin Monsun yang akan mengantarkan mereka pulang, para pedagang ini mengunjungi para penguasa di nusantara untuk menyampaikan ajaran agama. Hubungan dakwah seperti inilah yang telah membuahkan kerinduan yang sangat mendalam pada Islam. Kerinduan ini bahkan terekam dalam bentuk makanan.

Nusantara adalah negeri perairan di mana kehidupan penduduknya berbasis pada aktivitas kelautan. Begitu pula makanan penduduknya. Sumber protein utama penduduk di kepulauan nusantara adalah ikan dan hewan laut lainnya, bukan daging hewan ternak dan susu sebagai minuman pokok.

Namun demikian, apabila kita perhatikan makanan yang dihidangkan oleh masyarakat di Indonesia dalam perayaan keagamaan, bukanlah makanan yang biasa dimakan oleh penduduk asli di zamannya.

Ketika lebaran tiba, maka bukan ikan bakar yang dihidangkan oleh ibu kita. Namun, rendang, opor, gulai, kurma, kare, dan lain sebagainya di mana bahan bakunya adalah hewan ternak berupa sapi, kambing, dan hewan rumenesia lainnya.

Coba kita perhatikan bumbunya. Makanan dengan perpaduan bumbu seperti itu adalah makanan yang berasal dari jazirah Arabia. Itulah yang setidaknya terekam berabad-abad lamanya sebagai bentuk kerinduan penduduk di nusantara akan Arab dan Nabi Muhammad saw., meskipun belum ada kesempatan untuk mengunjunginya.

Kerinduan itulah yang kemudian membuat raja di nusantara mengirimkan surat agar khilafah mengirimkan utusan dakwah ke nusantara. Kerinduan itu pula yang menjadikan nusantara memiliki jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia.

Angin Muson Barat yang basah dan hangat, membawa salam rindu dari Negeri Atas Angin, musantara, menuju tempat Rasulullah saw. berada, Jazirah Arabia. Wallahu a'lam bishshawwab.

Oleh: Desah Malikah
Pemerhati Masalah Sosial

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :