Korupsi Sebuah Keniscayaan dalam Demokrasi - Tinta Media

Jumat, 28 Januari 2022

Korupsi Sebuah Keniscayaan dalam Demokrasi

Korupsi Sebuah Keniscayaan dalam Demokrasi

Tintamedia.web.id -- Pada akhir Desember 2021 lalu, Bupati Bandung Dadang Supriatna melantik 565 ASN di lingkungan Pemkab. Bandung.  Anehnya, dalam pelantikan tersebut terdapat ER Pejabat di lingkungan Disdik yang diduga pernah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Saber Pungli. Hal ini pernah diungkapkan pula oleh Ketua Umum LSM Baladhika Adhyaksa Nusantara (BAN) Yunan Buwana melalui rilisnya kepada awak media.

Namun, Kepala Disdik Ruli Hadiana yang bertang gungjawab meluluskan para calon untuk dilantik, memberikan surat pernyataan bermaterai bahwa semua layak untuk menjadi ASN. Terkait salah satu pejabat yang pernah terjaring OTT saber pungli, beliau menyatakan bahwa yang bersangkutan hanya dikenakan sanksi teguran tertulis sehingga hal tersebut menjadi bahan pertimbangan penilaian baik bagi Disdik dan Badan Kepegawaian Kab. Bandung untuk meloloskannya sebagai ASN (Bidik Ekspres. id. Bandung).

Kasus korupsi memang sangat marak di negeri ini, mulai dari korupsi kelas teri hingga kakap. Hal ini seolah sudah biasa terjadi dan dianggap lumrah. Selama ini korupsi dianggap hanya sebagai ulah dari oknum nakal yang gila harta dan jabatan. Masyarakat berpikir bahwa korupsi terjadi karena kursi kekuasaan masih diisi oleh sosok atau pribadi yang buruk. Jika pemerintahan diisi oleh sosok baik dan berakhlak, maka korupsi bisa diminimalisir. Maka, benarkah kasus korupsi terjadi karena masalah sosok dan akhlak?

Seperti kita tahu, banyak sekali orang pintar dan berakhlak baik, bahkan mumpuni dalam agama terjerat kasus korupsi. Contohnya kasus korupsi dana Al-Qur'an yang terjadi di Kementerian Agama beberapa tahun lalu.

Merujuk hal tersebut, sejatinya korupsi terjadi karena ada peluang dan kesempatan. Sistem Demokrasilah yang memberikan ruang tersebut. Mahalnya biaya sistem demokrasi yang diadopsi negeri ini membuka celah besar bagi orang-orang yang sudah menempati suatu jabatan untuk mengembalikan modal mereka secara cepat, yaitu  dengan cara korupsi hehingga terus menjadi habits yang mustahil dihilangkan.

Korupsi di negeri ini hanya bisa dihilangkan dengan mengganti sistem buruk yang berasal dari akal manusia ini dengan sistem yang baik dan benar yang berasal dari Allah Swt., yakni sistem Islam.

Islam akan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sistem Islam miliki cara tersendiri dalam memberantas tindak korupsi hingga penanganannya sehingga mustahil jika ada pejabat yang terlibat tindak korupsi bisa menduduki kursi jabatan seperti dalam sistem demokrasi.

Sistem Islam akan menanamkan serta membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki sehingga masyarakat yang telah dibekali dengan iman yang tinggi akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa. Hal ini didukung oleh negara yang menerapkan syariat Islam di tengah masyarakat. Ketakwaan individu ini akan menyokong negara dalam menjalankan perannya dalam menjalankan hukum Islam. Berbeda dengan sistem kehidupan demokrasi sekuler saat ini yang menghasilkan para pemimpin rakus, tak takut dosa, dan kerap berkhianat atas kepemimpinannya.

Islam akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan aktivitas amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, bahkan aktivitas mengoreksi penguasa, sehingga mereka akan menjadi penjaga sekaligus pengawas dari penapan syariat yang diterapkan dan dilaksanakan oleh negara. Jika ada anggota masyarakat atau bahkan aparatur pemerintah yang terindikasi berbuat kriminal, semisal korupsi, mereka mudah melaporkannya kepada pihak berwenang. Berbeda dengan lingkungan masyarakat saat ini yang minim empati dan apatis.

Dalam Islam sistem kerja lembaga tidak rentan korupsi. Ada lembaga yang berfungsi memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khatthab  ketika mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan yang menghitung kekayaan pejabat sebelum dan setelah menjabat.

Jika terjadi kelebihan harta yang tak wajar, maka si pejabat  harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, maka harta itu tercatat sebagai harta korupsi. Siapa pun dapat melaporkan jika ada yang melakukan korupsi kepada lembaga ini.

Karena itu, dalam Islam tidak akan ada jual beli hukum serta jabatan seperti saat ini. Sementara pada sistem demokrasi, korupsi hampir merata di tiga lembaga andalannya, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hukum saat ini bisa diperjualbelikan sesuai besaran suap yang diterima dan lembaga pengawasannya pun cenderung lemah.

Adanya sanksi yang tegas dalam sistem Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan memberikan efek jera. Dengan begitu, para pelaku, pejabat, dan masyarakat yang berniat korupsi, akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama.

Kasus korupsi dikenai sanksi ta'zir di mana seorang pemimpin negara berwenang memberikan hukumannya. Dengan begitu, jika Islam dijadikan sistem kehidupan, maka kasus korupsi maupun jual beli jabatan tidak akan terjadi. Negeri ini akan terhindar dari pemimpin korup. Wallahu'alam Bishawwab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :