Oleh: Trisyuono Donapaste
Tinta Media -- Sinetron yang menceritakan praktik poligami yang dilakukan tanpa izin dari sang istri di layar kaca masuk secara massif ke rumah-rumah dan keluarga di Indonesia. Tayangan tersebut menyisakan sampah berupa pemikiran dan perasaan yang sejalan dengan gerakan feminisme di era post modern ini.
Bagaimana tidak, respon dari sinetron tersebut kemudian memicu pembahasan nikah siri dan poligami di antara emak-emak yang menanggapi secara emosional, bukan lagi di ranah hukum perkawinan. Bahkan, kemudian ada kesimpulan bahwa poligami adalah sumber kekerasan psikologis dan ekonomi, serta wujud diskriminasi terhadap perempuan.
Kondisi inilah yang oleh berbagai pihak dikhawatirkan menimbulkan gejala yang disebut dengan gamophobia, yaitu gejala ketakutan yang sangat berlebihan untuk menjalin komitmen dalam sebuah hubungan pernikahan. Gejala ini sering muncul disebabkan oleh trauma kegagalan hubungan di masa lalu atau pengalaman melihat gagalnya hubungan pernikahan orang tua. Penyakit mental ini bisa juga ditimbulkan dengan cerita atau tayangan fiktif yang menceritakan hal semisal.
Lalu bagaimana para feminis memandang hubungan laki-laki dan perempuan?
Feminisme lahir dari rahim pemahaman atau akidah sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme adalah paham yang mengagung-agungkan akal dan kebebasan. Paham ini muncul sebagai reaksi atas kondisi Eropa di abad kegelapan yang didominasi oleh penindasan terhadap rakyat, termasuk pada wanita.
Sejak era modernisasi Barat, pandangan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan seksualitas, yaitu maskulinitas dan feminimitas yang bebas. Masing-masing dibebaskan melakukan apa pun sesuai gendernya, bukan kodratnya.
Artinya, Barat mengkoreksi masing-masing peran sosial yang seharusnya dimuliakan. Pandangan bahwa wanita berada di rumah beserta anak-anaknya, serta laki-laki bekerja untuk menafkahi, bukan lagi pandangan yang diterima.
Apalagi setelah Revolusi Industri dan Perang Dunia terjadi, di mana wanita terseret ke dalam dunia kerja dan industri, maka kebutuhan akan eksistensi kesetaraan dengan pria semakin tinggi. Para feminis mulai lebih keras lagi dalam mengkritisi peran sosial terkait anak, peran seksual, keluarga, dan hak-hak kebebasan wanita.
Setelah era globalisasi, bahkan kesetaraan seksual bukan hanya antara wanita dan pria saja. Homo seksual dan lesbian pun ingin diakui persamaan haknya. Bisa dibayangkan kerusakan umat manusia ketika kebebasan akal dibiarkan tanpa aturan dari Tuhannya. Bahkan, manusia akan punah dari muka bumi dengan segera.
Kerusakan sosial ini disebabkan karena konsep hubungan pria dan wanita Barat berorientasi pada kebebasan seksual. Oleh karena itu, harus ada konsep yang sesuai dengan fitrah penciptaan dan akan membebaskan masyarakat Barat dan seluruh umat manusia dari kenistaan, kehinaan, dan kehancurannya.
Islam memandang pria dan wanita adalah sama serta mengakui karakteristik masing-masing yang sesuai dengan peran sosialnya. Itulah yang membuat mereka memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang saling melengkapi di antara keduanya. Hukum asal hubungan mereka adalah tolong-menolong sebagai sesama hamba Allah Swt.
Oleh karena itu, Islam tidak memandang perlunya pembahasan kesetaraan, karena memang masing-masing memiliki kekhususan dalam perannya. Wanita adalah pengurus rumah tangga dan sekolah pertama bagi anak-anak mereka. Pria adalah pemimpin rumah tangga dan berkewajiban memenuhi kebutuhan mereka.
Sementara terkait aktivitas seksual, Islam memandang bahwa tujuan dari hubungan seksual adalah untuk melestarikan keturunan. Kenikmatan dan kebahagian yang timbul darinya bukanlah tujuan, tetapi semata-mata kenikmatan yang direzekikan kepada manusia oleh Allah Swt.
Sebagai seorang muslim yang menyadari tujuan hidupnya adalah untuk mendapatkan rida dari Tuhannya, maka sudah seharusnya kita menjauhi pemikiran yang merusak agama, termasuk menjauhkan sebab-sebab yang menjerumuskan ke dalam pemikiran rusak tersebut. Di situlah urgensi dakwah menerapkan kehidupan Islam menemukan momentumnya. Wallahu a'lam bishshawwab