Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Tinta Media -- Tahun 2021 telah berakhir, menyisakan sebuah catatan peristiwa yang masih menyesakkan dada bagi kaum muslimin di negeri ini. Kasus-kasus penistaan agama marak terjadi di tahun lalu.
Yang cukup menyita perhatian adalah penistaan agama yang dilakukan oleh seorang Youtuber bernama M. Kece alias MK yang mengaku telah berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak 2014 lalu. Dia mengupload video yang berisi penghinaan terhadap agama Islam dengan mengatakan bahwa Rasulullah dekat dengan jin, dikerumuni jin, dan tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa Rasul dekat dengan Allah. Ia juga menyatakan bahwa Kitab Kuning merupakan sumber ajaran radikalisme dan terorisme.
Yang lebih membuat geram adalah MK menghina Islam dengan berpenampilan bak ustaz yang mengisi ceramah-ceramah dengan memakai kopiah hingga membedah isi Al-Qur'an dan mengganti konteks-nya sesuai ajaran yang kini dianutnya.
Hal inilah yang membangkitkan kemarahan umat Islam, bahkan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta polisi segera menangkap dan menindak hukum MK.
Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad mengatakan bahwa ucapan MK yang menyinggung Nabi Muhammad saw. menjurus pada penistaan agama dan menurutnya tindakan tersebut sudah memenuhi unsur pasal 156 huruf a KUHP. Namun sayang, setelah MK dilaporkan ke Bareskrim Polri, hingga saat ini pihak kepolisian belum mampu menghukum penista agama tersebut.
Penistaan agama Islam yang terus berulang, terlebih yang dilakukan oleh pejabat negara, tampak tidak serius dalam penyikapannya. Bahkan, publik dibiasakan dengan ujaran:
"Hal ini biasa terjadi dalam negeri demokrasi yang mengusung kebebasan berpendapat", sehingga akhirnya kasus penistaan agama dipandang sebagai sesuatu yang biasa.
Inilah konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi sekuler liberalisme yang diterapkan di negeri ini, yang notabene mengusung 4 kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat, dan berperilaku.
Kebebasan berpendapat memberikan seseorang hak secara bebas untuk melontarkan pemikiran atau pendapat sesuai keinginan atau hawa nafsunya. Dengan alasan kebebasan berpendapat ini, lahirlah orang-orang yang pada akhirnya berani menghina dan melecehkan Rasulullah, juga ajaran Islam.
Adanya Undang-undang Penistaan Agama dalam sistem ini, seakan tidak berfungsi, bahkan bersifat tebang pilih, sehingga tidak dapat mencegah berulangnya kasus. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tegas.
Selain itu, Sanksi hukum 5-6 tahun penjara belum dikurangi berbagai keringanan, tidak akan memberikan efek jera. Terlebih, norma yang mengatur tentang penistaan agama masih terlalu longgar, padahal penistaan agama termasuk kasus kejahatan yang serius.
Inikah bukti kebebasan berpendapat serta toleransi beragama yang selalu diagungkan negeri kita? Jika nonmuslim yang mengalami kerugian, begitu cepat suara mengatakan intoleran. Berbeda jika muslim yang dihinakan, diminta untuk selalu sabar dan si penista bebas berkeliaran. Apalagi, di tengah gaung moderasi agama yang tengah diaruskan oleh penguasa di berbagai aspek kehidupan, tentu peluang terjadinya penistaan dan penghinaan terhadap simbol-simbol Islam dan ajaran Islam akan semakin terbuka lebar. Masihkah kita akan tinggal diam?
Kembali kepada penerapan Sistem Islam yang diterapkan secara kaffah (keseluruhan) dalam suatu institusi negara, merupakan satu-satunya solusi untuk menuntaskan masalah penistaan agama Islam ini. Islam sebagai din yang sempurna, tidak akan membiarkan tersebarnya pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam. Ini karena salah satu tujuan penerapan syariat adalah menjaga agama.
Penguasa akan melindungi rakyatnya dan menindak tegas para penista. Al Qodhi Iyadh menjelaskan bahwa haram hukumnya menghina Rasulullah saw. dan pelakunya adalah kafir, serta wajib untuk dihukum mati. Hal ini telah disepakati oleh ulama dan para imam ahli fatwa dari generasi sahabat dan seterusnya.
Sungguh, saat ini umat membutuhkan pelindung agung yang akan menjaga agama dari para penistanya. Agama ini tidak akan terlindungi jika umat tidak kembali pada sistem Islam. Hal ini telah terbukti saat Khalifah Abdul Hamid II menghentikan pementasan drama karya Voltaire yang menistakan Rasulullah saw.
Saat itu, Sultan Abdul Hamid langsung mengultimatum kerajaan Inggris yang bersikukuh untuk tetap mengizinkan pementasan drama tersebut. Maka Sultan berkata,
"Kalau begitu saya akan mengeluarkan perintah kepada seluruh umat Islam yang menyatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita. Saya akan mengobarkan Jihad Akbar."
Saat itu, kerajaan Inggris ketakutan dan pementasan dibatalkan.
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan. (Q.S. Al-Ahzab: 57)
Wallahua'lam bishawab