Tinta Media -- Semua orang tidak mau aibnya di bongkar. Apapun kondisinya, aib pribadi adalah privasi yang fundamental. Siapapun yang dibongkar aibnya akan marah.
Namun menjadi sedikit berbeda dengan "aib penguasa." Sebab bisa jadi yang dikatakan aib itu adalah "kesalahan-kesalahan" penguasa tersebut. Entah kesalahan itu dari kebijakannya, aturan-aturan yang dikeluarkan, entah kecenderungannya, dll.
Menurut penguasa itu aib. Namun dari sisi umum dan masyarakat, itu adalah kesalahan yang perlu di bongkar dan disampaikan masukan atas kesalahan tersebut. Baik secara langsung maupun terbuka.
Inilah kenapa "aib penguasa" menjadi berbeda. Jika kondisinya seperti di atas maka "layak" untuk di bongkar. Bukan malah di tutup-tutupi. Kesalahan yang di buat akan berdampak besar. Karena ada nilai politis dan akibat yang sangat signifikan kepada rakyat.
Kenapa "layak" untuk di bongkar? Karena inilah yang digariskan oleh syariat Islam. Islam menjadikan "membongkar" kesalahan kebijakan, aturan, dll yang dikeluarkan oleh penguasa. Tujuannya agar nampak kesalahannya dan mereduksi akibat fatal kepada rakyat.
Khalifah Umar, terkait "aib penguasa" memberikan contoh terbaik. Dalam kesempatan awal di angkat sebagai khalifah dan saat-saat memerintah justru dengan tegas mengatakan "Orang yang paling kucintai ialah orang yang menyampaikan aib-aibku kepadaku," (Nizhomul Al-Hukm fi 'Ahd Al Khulafa Ar-Rasyidin, hal. 198).
Ini bukan sekedar omongan pemanis pidato pejabat. Tapi riil dilakukan oleh Khalifah Umar.
Satu hari, ada seorang laki-laki menemui Umar sambil mengatakan, "Takutlah kepada Allah, wahai Umar!" Beberapa orang yang hadir di majelis itu marah atas ucapan laki-laki tersebut. Mereka menyuruh laki-laki itu untuk berhenti berbicara. Lalu Umar mengatakan kepada mereka, "Tidak ada kebaikan pada kalian bila kalian tidak mengatakannya. Dan tidak ada kebaikan pada kita bila tidak mendengarnya." (ibid, hal 200).
Luar biasa. Khalifah Umar tidak marah, sewot apalagi dengki dengan orang-orang yang mengkritiknya bahkan membuka aibnya. Walau pedas sekalipun kritikannya. Bahkan membuka aibnya. Justru ditanggapi dengan senyuman, terbuka, lapang dada dan penuh gembira. Kritikan yang ada disikapi sebagai "kebaikan" bukan sebagai keburukan apalagi ancaman yang akan menggulingkan kekuasaannya.
Tidak seperti saat ini di negeri wakanda. Kritikan yang membongkar aib penguasa karena kesalahan justru di anggap ancaman. Akhirnya muncul sebuah guyonan, semua di jamin bebas meyampaikan pendapat tapi tidak di jamin setelah itu, apakah aman atau di tangkap oleh aparat karena di tuduh menyebar hoax, mencemarkan nama baik bahkan ancaman buat penguasa.
Belum lagi kelakuan para buzzeRp. Alih-alih diingatkan dan diredam agar tidak bersikap salah atau memperkeruh suasana, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar, buzzeRp justru seolah-olah diminta menyalak dan membully orang atau kelompok yang memberikan kritik terhadap penguasa. Bagi buzzeRp, penguasa tidak boleh di sentuh. Apalagi di kritik dan di buka aib kesalahannya.
Sungguh ironi. Membuka aib penguasa karena kesalahan kebijakan dan aturan yang dibuatnya, yang oleh islam dimaknai sebagai aktivitas mulia, justru saat ini malah di anggap aktivitas kriminal.
Kasus yang menimpa Kang Ubaedillah, yang melaporkan 2 anak mahkota penguasa ke KPK malah dilaporkan balik oleh buzzeRp dengan tuduhan mencemarkan nama baik, adalah sebuah potret nyata. Sungguh ironi dan gak masuk logika akal sehat.
Kang Ubed yang dengan data yang lengkap, buoan asal bunyi mengungkap data adanya dugaan praktik KKN, penyalahgunaan kekuasaan dan money laundy terhadap praktik bisnis yang dilakukan oleh 2 anak putra mahkota penguasa, justru diperlakukan sebaliknya. Dilaporkan bailk.
Kang Ubed sekali lagi bukan asal ngomong. By basis data yang akurat. Itu saja masih di bully dan dilaporkan. Apalagi yang asal ngomong saja. Sungguh ironi.
Jika sudah tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu. Tunggu pertanggungjawaban nanti di akhirat kelak.[]
Gus Uwik
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam