Narasi Islamofobia Menyasar Islam dan Ulama - Tinta Media

Minggu, 05 Desember 2021

Narasi Islamofobia Menyasar Islam dan Ulama

Gus Uwik: Radikalisme itu Siapa?

Oleh: Ahsani Ashri, S.Tr.Gz

Tinta Media -- Menjelang akhir tahun ini, isu teroris kembali di-blow up di media sosial. Isu itu dikaitkan dengan hal yang berbau Islam, seperti penangkapan tokoh ulama, dana zakat, kebun kurma, hingga isu publik terkait pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjadi trending topik di jagat maya dengan tagar #BubarkanMUI.

Pembubaran MUI ini menjadi isu sensitif dalam kehidupan beragama dan bernegara. Pasalnya, MUI adalah salah satu wadah musyawarah  para Ulama, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim di tanah air untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia selama 46 tahun lamanya.

Hal ini dilatarbelakangi oleh penangkapan tiga ulama ternama tanah air, yang terduga anggota teroris Jamaah Islamiyah (JI) yaitu,Ahmad Zain An najah, Anung al Hamad, dan Farid Ahmad Okbah (Kompas.com,16/11/2021).

Mengingat salah satu dari mereka, yaitu Ahmad Zain An najah adalah anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), lantas dikaitkan dengan isu MUI adalah sarang teroris karena sudah terpapar pemahaman jihad dan khilafah.

Sementara, sampai saat ini, JI yang diopinikan sebagai jaringan terorisme, masih dipertanyakan kebenarannya oleh publik. Pasalnya, JI ini seolah cerita fiktif yang tercipta untuk suatu kepentingan. Ismar Syafruddin, selaku kuasa Hukum Farid Okbah mempertanyakan perihal JI yang dituduhkan ke kliennya, “Organisasi macam apakah itu?” Menurut beliau, kliennya sangat taat hukum dan tidak ada hubungannya dengan jaringan terorisme.

Aidi Maazat selaku anggota DPR RI fraksi PKS berpendapat, penangkapan beberapa ulama sangat merisaukan, kemudian ada narasi yang berkembang agar MUI juga dibubarkan. Entah ending seperti apa dan bagaimana yang diharapkan oleh oknum yang mengembuskan. Menurutnya, pemerintah perlu menelusuri siapa penyebar isu meresahkan pembubaran MUI dan membuat panas ruang publik akibat penangkapan para ulama karena akan merusak keharmonisan kehidupan bernegara ke depannya.

Seharusnya, kehadiran MUI itu diperkuat oleh pemerintah. Ulama diberi tempat untuk berkontribusi mengatasi persoalan bangsa, dan perkataan ulama itu diikuti (Republika.co.id,20/11/2021).

Lantas ada apa di balik tuntutan pembubaran MUI? Siapa pihak yang sengaja memancing di air keruh melalui isu terorisme?

Islamofobia, Narasi Jahat Menyasar Ulama

Narasi Islamofobia, aksi terorisme, dan sejenisnya sudah ada sejak tahun 1980 dan menjadi populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001.

Istilah Islamofobia menurut Wikipedia ialah kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan muslim. Karena itu, mereka yang takut dan benci, menganggap Islam itu radikal.

Sedangkan terorisme, dalam KBBI didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Dua hal ini sering dikaitkan oleh pembencinya bahwa ajaran Islam mengandung kekerasan, radikal, bahkan tindakan teror.

Muhammad Nasir Djamil selaku Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, narasi yang dibangun oleh Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus jelas. Narasi ini harus menjawab keraguan publik terkait Islamofobia, terlebih setelah penangkapan tiga terduga anggota terorisme yang berstatus ulama. Dengan begitu, masyarakat Indonesia, terutama umat Islam bisa memahami denga baik. Menurutnya, terorisme merupakan tanggung jawab semua pihak, tak hanya BNPT dan Densus 88.

Bukan hanya kali ini ulama disasar. Sebelumnya ada Ustaz Abu Bakar Baasyir yang ditangkap atas dugaan terlibat jaringan terorisme, habib Riziq Syihab (HRS), Habib Bahar, Gus Nur, dan lainnya hanya karena berseberangan dengan pendapat penguasa. Justru, mereka yang ditangkap adalah ulama yang lantang menyuarakan kebenaran.

Pertanyaannya, apakah menyuarakan kebenaran itu merupakan suatu tindakan kriminal atau suatu keburukan? Apakah memahamkan umat dan menjadikan Islam sebagai pedoman seluruh aktivitasnya adalah sebuah teror? Tampaknya, penguasa hari ini bersikap terlalu berlebihan. Penangkapan ulama ini, akan menguatkan citra penguasa yang represif anti-Islam. Padahal, ketiganya berdakwah sesuai syariat, tidak pernah melakukan tindakan teror, atau mengangkat senjata.

Isu terorisme seakan menjadi pembenaran dalam menyuarakan pembubaran MUI. Bak gayung bersambut, penangkapan ulama terduga teroris menjadi ajang para pembenci Islam dengan gorengan terorisme secara terus-menerus. Kondisi ini seperti memancing di air keruh. Pembenci Islam melihat celah ini sebagai peluang untuk membungkam ulama kritis dan lurus. Pasca ijtimak ulama, MUI menyatakan jihad dan khilafah adalah ajaran Islam, terorisme kembali menggoyahkan umat. Sebagaimana kita ketahui, jihad dan khilafah selalu terstigma sebagai ajaran radikal yang memicu terorisme (Republika.co.id, 11/11/2021).

Walhasil, saat ini MUI seakan terpojok karena narasi negatif terhadap Islam yang digaungkan oleh pihak pencetus Islamofobia. Ironisnya, kala ulama dikriminalisasi, para pencela agama justru bebas, tidak masuk jeruji. Para koruptor bebas membobol uang kotor. Kelompok bersenjata (KKB) di Papua misalnya, yang sudah jelas menodongkan senjatanya dan melayangkan banyak nyawa, masih bebas berkeliaran. Sungguh ketidakadilan sangat terlihat jelas hari ini. Rupanya, keinginan barat mengembuskan napas Islamofobia di tengah-tengah kaum muslimin, dalam upaya memecah belah umat telah berhasil. Saat ini mereka sedang merayakan keberhasilannya.

Ulama Pelita Umat, Islam sebagai Rahmat

Terorisme dianggap extraordinary crime,  seolah-olah melegalkan proses penangkapan tanpa prosedur hukum. Menurut keterangan Polri, ketiganya berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah melalui Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf yang diduga menjadi sumber pendanaan aktivitas terorisme dari kelompok itu. Tuduhan tersebut menjadi alasan Densus 88 menangkap ketiganya, tanpa menunjukan surat tugas pada pihak keluarga, lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Hingga kini, ketiga ulama tersebut belum bisa dihubungi. Padahal, dalam Pasal 69 KUHP tertulis bahwa setelah seseorang tertangkap, ia berhak menghubungi dan didampingi pengacara/kuasa hukumnya.

Hari ini, kriminalisasi pada ulama sangat difasilitasi. Ketua Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU), Ahmad Khozinudin berpendapat bahwa Densus 88 bukan hanya melanggar prosedur penangkapan, tetapi juga menimbulkan teror, ancaman, dan ketakutan di tengah masyarakat. Bukan kali ini saja Densus 88 berbuat demikian. Detasemen khusus bahkan menembak mati orang yang masih berstatus terduga. Pantas saja umat bereaksi. Kian hari marwah ulama seperti tak ada nilainya. Padahal, kedudukan ulama dalam Islam sangat mulia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Ulama adalah pewaris para Nabi." (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu).

Namun, saat ini siapa yang dapat menjamin kehormatan ulama? Mereka ditangkap dengan tidak terhormat. Jika  hari ini ulama dirusak, maka rusaklah kehormatan Islam. Dalam suatu riwayat disebutkan,

"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi, Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673).

Hadis ini merupakan warning bagi manusia, untuk lebih berhati-hati dalam memperlakukan ulama. Kita sebagai umat memerlukan ilmu untuk bisa mengikuti mana ulama yang berpegang teguh pada Islam (ulama pewaris nabi) dan ulama mana yang hanya menjadi stempel penguasa (ulama suu'/jahat).

Ada sebuah nasihat dari Ibnu Asakir, bahwa daging para ulama itu beracun. Artinya, siapa pun yang memfitnah ulama, hendaknya takut akan ditimpa keburukan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Dalam sistem saat ini, ulama benar benar-benar berada di posisi kubangan fitnah yang keji.

Padahal, seharusnya ulama memiliki peran penting bagi umat, terus hidup sebagaimana aliran darah dalam tubuh, terus mengalir manakala aktivitas mulia diemban, yaitu menyebar risalah Islam dan melakukan amar makruf nahi munkar bersama umat. Umat dan ulama adalah satu kesatuan penting yang menjadi pilar pengokoh negara. Ulama juga berperan sebagai penasihat atau pengontrol penguasa agar pemerintahan sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah. Ulama layaknya peenerang umat dalam urusan dunia dan akhirat. Kemuliaan posisi ulama akan terwujud hanya dalam sebuah sistem yang paripurna yang berasal dari zat yang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt.[]

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :