Mewaspadai Omicron, Covid-19 Varian Baru - Tinta Media

Kamis, 02 Desember 2021

Mewaspadai Omicron, Covid-19 Varian Baru

Mewaspadai Omicron, Covid-19 Varian Baru

Oleh: Isty Da'yah

Tinta Media -- Di saat Covid-19 belum benar-benar pergi, kembali dunia dikejutkan dengan adanya virus varian baru yang lebih berbahaya dari virus corona. Virus itu bernama Omicron. WHO menyatakan bahwa varian Omicron pertama kali teridentifikasi di Afrika Selatan pada 9 November lalu.

Menurut ilmuwan genom Afrika Selatan, varian Omicron mempunyai mutasi yang sangat banyak. Ada lebih dari 30 protein lonjakan kunci, yaitu struktur yang digunakan virus untuk masuk ke dalam sel yang diserang. Omicron sudah masuk dalam varian yang dipantau ketat oleh WHO. Tercatat sudah ada 13 negara yang mendeteksi kehadiran virus tersebut, mulai dari Afrika hingga beberapa negara di Eropa (CNBCIndonesia, 28/11/21).

Oleh karenanya, pemerintah telah melakukan beberapa antisipasi terhadap masuknya Covid-19 varian baru ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, agar masyarakat tetap waspada dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Namun, ia juga melarang masyarakat untuk panik (CNBCIndonesia, 28/11/21).

Kepandaian Covid-19 dalam bermutasi telah membuat manusia kebingungan. Virus tak kasad mata ini telah memberikan efek yang luar biasa terhadap kehidupan di seluruh dunia. Semakin beragam varian Covid-19, maka semakin sulit mengendalikannya. Hal ini karena jika virus tersebut sudah terlanjur menginfeksi manusia, maka akan menimbulkan kesengsaraan, sebagaimana varian Delta beberapa waktu lalu.

Akibat Salah Penanganan dari Awal

Inilah salah satu bukti nyata kegagalan rezim kapitalis global, termasuk di dalamnya WHO dan negara-negara besar. Alih-alih virus itu hilang, justru virus varian baru yang berkembang. Bahkan, sekadar menghentikan potensi penularannya saja juga kesulitan. Hal ini tersebab karena penanganan pandemi Covid-19 pada ideologi.

Kebijakan yang diambil dari sistem ini tidak mengatasi masalah dari akarnya, sebagaimana ciri khas rezim kapitalis sekuler. Berlarut-larutnya penanganan, tidak lepas dari pertimbangan memenangkan sektor ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan banyak masalah dan timbul masalah baru.

Ketika tren awal penyebaran virus Corona yang terjadi di Cina, tidak ada satu pun negara adidaya yang bisa membendung penyebaran virus ini. Bagi kapitalisme, tidak ada hal yang lebih menakutkan melebihi kekhawatiran terhadap terhentinya perputaran roda ekonomi. Karena itu, solusi yang ditawarkan pun juga tidak lebih dari upaya penyelamatan ekonomi yang utama.

Pemberlakuan lockdown pun hanya setengah hati. Tiap-tiap negara mempunyai ketentuan pemberlakuan lockdown sendiri-sendiri. Padahal seharusnya ada satu gerakan bersama-sama melakukan lockdown global untuk kepentingan bersama.

Bahkan program vaksinasi dan obat-obatan untuk penderita Covid-19 juga tidak luput dari kapitalisasi sehingga virus yang telah berhasil membuat kekhawatiran manusia di dunia ini, seakan malas untuk benar-benar pergi.

Islam Punya Solusi Mengatasi Hal Ini

Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler, Islam hadir sebagai pembawa solusi bagi umat manusia, agar bisa selamat di dunia hingga akhirat. Islam menunjukan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap, pun dalam penanganan wabah. Islam telah lebih dahulu hadir membangun ide karantina (lockdown) untuk mengatasi suatu wabah penyakit.

Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasullullah dan kekhilafahan Umar bin Khathab. Pada masa Rasullullah pernah terjadi wabah kusta, yang belum diketahui obatnya. Untuk menangani hal tersebut, Rasullullah menerapkan karantina (lockdown).

Rasullullah saw. juga memperingatkan umatnya untuk tidak mendekati wilayah yang terkena wabah. Demikian sebaliknya, jika berada di tempat yang terkena wabah, maka dilarang keluar. Sebagaimana sabda beliau yang artinya:

"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. Al-Bukhari).

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada zaman Rasullullah saw., ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit tha'un. Beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengarantina para penderitanya di tempat khusus. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail, lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pengawasan yang ketat, sehingga benar-benar sembuh.

Demikian juga pada masa kekhilafahan Umar bin Khathab. Saat itu pernah terjadi wabah penyakit menular. Langkah pertama yang dilakukan adalah sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasullullah saw.

Pun ketika wabah terjadi di era kekhilafahan berikutnya. Negara khilafah segera melakukan tindakan pencegahan dan penanganan. Negara khilafah akan dengan sepenuh hati hadir untuk mewujudkan kesehatan rakyatnya. Upaya ketersediaan obat dan vaksin benar-benar dilakukan dengan segala daya upaya, agar wabah segera berlalu.

Itulah gambaran peran sentral penguasa dalam menjaga kesehatan warga dari ancaman wabah menular. Rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasa karena nyawa rakyat adalah hal yang perlu diutamakan terlebih dahulu. Dengan berlalunya wabah, secara otomatis kehidupan akan segera bisa kembali normal. Islam menekankan betul bahwa penguasa tidak boleh abai dalam mengurus urusan rakyat.

Islam telah memberi aturan yang jelas bagaimana seharusnya penguasa bertanggung jawab terhadap persoalan yang mendera rakyat. Di antaranya adalah dalam menghadapi wabah penyakit menular, terlebih ketika terjadi pandemi seperti saat ini, diperlukan kepemimpinan global yang mampu memberi jaminan untuk menyatukan langkah nyata dalam usaha menghilangkan wabah yang telah mendunia.

Wallahu'alam bishawab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :