Oleh: Suriani, S.Pd.I
Tinta Media -- Muncul kabar bahwa Bandar Udara Internasional Kualanamu, Medan, Sumatera Selatan dijual ke India. Informasi ini ramai diperbincangkan setelah munculnya kerja sama strategis antara PT Angkasa Pura II (Persero) dengan GMR Group asal India dan Aeroports de Paris Group (ADP) asal Prancis. Melalui kerja sama ini, Angkasa Pura II dan GMR Airports Consortium membentuk Joint Venture Company (JVCo), yaitu PT Angkasa Pura Aviasi. (TribunNews.com, 30/11/2021)
Polemik Kualanamu Dijual atau Tidak
Angkasa Pura II sebagai pemegang saham mayoritas, menguasai 51% saham di Angkasa Pura Aviasi, sedangkan GMR memegang 49% saham. Kerja sama ini akan mengelola Bandar Udara Kualanamu selama 25 tahun dan semua biaya pembangunan ditanggung dengan sistem Build of Take (BOT). Setelah 25 tahun, aset ini akan dikembalikan kepada Angkasa Pura II. (Kumparan.com, 26/11/2021)
Menanggapi kabar tersebut, Direktur Transformasi dan Portofolio Strategis Angkasa Pura (AP) II, Armand Hermawan mengatakan bahwa tidak ada penjualan aset atau penjualan saham Bandara Internasional Kualanamu. Kepemilikan Bandara Internasional Kualanamu beserta asetnya 100% tetap milik AP II. JVCo hanya akan menyewa aset kepada AP II untuk dikelola selama 25 tahun. Setelah periode kerjasama berakhir, JVCo tidak berhak lagi mengelola Kualanamu. (DetikFinance.com, 26/11/2021)
Namun, di sisi lain, hal tersebut justri dikritik keras oleh salah satu anggota DPR Komisi VI, Herman Khaeran. Ia berpendapat bahwa sebaiknya objek usaha BUMN yang menguntungkan tetap menjadi kepemilikan negara secara mutlak melalui BUMN, sehingga tidak boleh dijual. (DetikNews.com, 26/11/2021)
Bukan tanpa alasan keputusan AP II menyerahkan pengelolaan Bandara Kualanamu kepada negara asing menuai kritik dan tanda tanya publik. Sebab, Bandara Kualanamu menjadi salah satu aset BUMN yang diharapkan dapat menjadi salah satu penyumbang bagi pemasukan negara.
Alhasil, adu opini terkait penjualan Bandara Kualanamu apakah dijual atau tidak, hingga kini masih menjadi polemik. Namun, pendapat dari eks Sekretatis Kementerian BUMN, Said Didu soal keterkaitan antara kepemilikan saham dengan sistem Build Operate Transfer (BOT) yang dijalankan oleh AP II dengan GMR Airports Consortium patut menjadi pertimbangan. Ia mengatakan, modus penjualan bandara Kualanamu diawali dengan pembelokan pengertian aset BUMN/Negara, penjualan saham dibungkus seakan kerjasama, dan betapa berbahayanya jika modus ini berlanjut. Said Didu juga mengatakan, jika sudah menyangkut pelepasan saham, berarti sudah termasuk penjualan aset dan bukan lagi joint operation. (Bisnis.com, 27/11/2021)
Di Tangan Asing, Untung atau Buntung?
Perolehan keuntungan bagi negara pun dijadikan dalih untuk membenarkan penyerahan pengelolaan Bandara Kualanamu kepada asing. Arya Sinulingga selaku Staf Khusus Menteri BUMN menegaskan bahwa negara tetap mendapat keuntungan dari kerjasama pengelolaan Bandara Kualanamu ini. AP II mendapatkan dua keuntungan, yaitu dana sebesar 1,58 triliun dari GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar 56 triliun dengan tahap pertama sebesar 3 triliun. Ia juga menyebutkan bahwa kerjasama tersebut namanya memberdayakan aset tanpa kehilangan aset, bahkan asetnya membesar berkali-kali lipat. (AntaraNews.com, 26/11/2021)
Aset milik negara jika dikelola secara mandiri oleh negara dan hasilnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tentu akan jauh lebih tepat dibanding diserahkan kepada asing. Terlebih, jika itu terkait dengan pelayanan umum seperti bandara, tentu masyarakat akan merasakan dampak dari keterlibatan asing dalam pengelolaannya.
Sebagaimana diketahui bersama, kerja sama yang djalin oleh AP II dengan GMR Airports Consortium adalah kerjasama bisnis yang orientasinya adalah keuntungan. Terlebih, sebagai negara yang menjadikan ideologi kapitalisme sebagai dasar dalam ekonominya, Indonesia dan India akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam kerja sama yang terjalin di antara keduanya.
Dalam hal ini, sebagai sektor pelayanan publik, pengelolaan Bandara Kualanamu yang akan melibatkan investor asing tentu saja memberi dampak bagi pengguna layanan tersebut, yang tak lain adalah masyarakat. Tidak menutup kemungkinan, di dalam pengelolaan asing, tarif segala layanan yang ada di Bandara Kualanamu akan meningkat dari sebelumnya. Masyarakat harus mengeluarkan anggaran lebih untuk bisa mendapatkan layanan tersebut.
Keuntungan besar akan diraup oleh asing dibalik kerjasama tersebut, sementara keuntungan bagi negara masih menjadi sebatas asumsi, sedang masyarakat hanya akan menjadi konsumen sebagai penyumbang keuntungan bagi asing. Bukan tidak mungkin, ke depan Kualanamu akan jatuh ke tangan asing, dan Indonesia akan kehilangan salah satu asetnya.
Melibatkan swasta maupun asing dalam pengelolaan aset negara adalah suatu langkah yang merugikan negara, sekaligus kian mempersempit peluang rakyat mendapatkan layanan murah akibat berkurangnya salah satu sektor pemasukan anggaran negara. Hal ini terjadi akibat konsekuensi Indonesia mengadopsi Kapitalisme-Demokrasi.
Dalam demokrasi, ada jaminan kebebasan dalam kepemilikan, sehingga bagi siapa pun, baik individu, swasta maupun negara asing diberi kesempatan untuk memiliki aset atau sumber daya alam yang seharusnya dikelola secara mandiri oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarkat.
Demokrasi-Kapitalisme Ilusi, Islam Berkah Solusi
Demokrasi-kapitalisme menjadi jembatan bagi kaum pemilik modal untuk semakin memperkaya diri, sementara bagi rakyat, demokrasi-kapitalisme tak menyisakan apa pun kecuali kesengsaraan dan kesempitan hidup. Lebih dari itu, penguasaan aset dan kekayaan alam oleh swasta dan asing akan semakin mempersempit lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Alhasil, pengangguran akan semakin banyak di satu sisi, di sisi lain beban hidup justru kian berat.
Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem demokrasi-kapitalisme karena terbukti gagal menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, termasuk gagal dalam menyelesaikan berbagai krisis yang menimpa negeri ini. Indonesia butuh alternatif sistem lain, yaitu sistem Islam, yang memiliki seperangkat aturan yang bersumber dari Allah Swt. untuk menyelesaikan berbagai persoalan manusia dalam kehidupan.
Dalam pandangan Islam, segala aset dan kekayaan milik negara wajib dikelola oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat serta untuk menjaga agar negara tetap dalam keadaan stabil, baik politik, ekonomi, sosial maupun keamanan. Demikian pula Sumber Daya Alam (SDA), baik yang terkandung di perut bumi, di atas tanah, dan yang ada dalam lautan yang luas, ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai milik rakyat secara umum. Hasil dari seluruh SDA itu layak dinikmati oleh rakyat secara cuma-cuma. Jika ada kelebihan setelah tercukupi seluruh kebutuhan rakyat, bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
Hal itu ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Kaum mulimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal; air, padang rumput dan api.” (HR. Ahmad)
Merujuk pada hadis di atas, segala upaya atau tindakan untuk menghalangi rakyat memperoleh haknya dalam memanfaatkan SDA adalah haram dalam pandangan Islam. Berarti tindakan negara yang menyerahkan SDA agar dimiliki oleh swasta dan asing untuk dieksploitasi adalah haram, walau dengan alasan investasi.
Karena itu, segala pengelolaan kekayaan, baik milik rakyat maupun milik negara harus berdasarkan pada syariat Islam, tidak boleh selain dari Islam. Sebab, hanya Islam yang sempurna dan benar dalam mengatur semua itu, sedang demokrasi-kapitalisme wajib ditinggalkan karena terbukti dalam setiap praktek kebijakan yang terkait hajat hidup publik, gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Wallahu a’lam