Komersialisasi Listrik Mendorong TDL Naik - Tinta Media

Jumat, 31 Desember 2021

Komersialisasi Listrik Mendorong TDL Naik

Komersialisasi Listrik Mendorong TDL Naik

Oleh: Ageng Kartika S.Farm
(Pemerhati Sosial)

Tinta Media -- Ada apa di balik peningkatan tarif dasar listrik (TDL) di tahun 2022? Padahal, sebelumnya di tahun 2021 telah diberitakan bahwa PLN memperoleh keuntungan sebesar 5,99 triliun. Apabila dihubungkan dengan tarif adjustment, sebagian masyarakat yang awam terhadap istilah tersebut tetap akan mempertanyakan kebijakan naiknya TDL ini.

Dalam benak masyarakat, ketika pembayaran listrik naik, maka kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan meningkat dan kendala-kendala yang selama ini terjadi dapat diatasi dengan baik. Karena itu, masyarakat bertanya-tanya, apakah kenaikan ini menunjukkan PLN sedang tidak baik-baik saja?

Kita tahu bahwa listrik adalah kebutuhan penting bagi rakyat, baik dalam ranah domestik maupun bisnis. Urgensitas kebutuhan listrik hampir menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, kebutuhan listrik ini tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Justru seperti menjadi keumunan apabila tiap tahun, tarif dasar listrik (TDL) meningkat.

Keumuman ini seolah dibenarkan dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan TDL tahun 2022 untuk nonsubsidi karena sejak tahun 2017 tidak mengalami kenaikan listrik.

Menanggapi rencana kenaikan untuk 13 golongan nonsubsidi dengan skema adjustment pada 2022 mendatang, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan bahwa telah lama rencana tarif adjusment ini didengungkan.

“Adjustment atau penyesuaian tarif ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kurs dollar, inflasi, dan juga harga minyak dunia,” kata Agus saat dihubungi Tribunnews, Jumat (3/12).

Menurutnya, kenaikan tarif listrik adalah sesuatu yang wajar jika dibarengi dengan peningkatan penyediaan layanan oleh PLN.

Itu berarti, pelanggan PLN (Perusahaan Listrik Negara) harus bersiap-siap mengeluarkan biaya tambahan memasuki tahun 2022 mendatang dengan diterapkannya tarif adjustment (tarif penyesuaian).

Menurut PP No. 23/1994 tentang PT. PLN (Persero), BUMN ini bertugas sebagai infrastruktur kelistrikan sekaligus mencari keuntungan. Jika dihubungkan dengan keuntungan yang diperoleh di tahun 2021, maka kenaikan TDL di tahun 2022 itu menggambarkan bahwa PLN masih mencari lagi celah keuntungan lainnya.

Padahal, sesuai UU No. 19/2003 tentang BUMN, PLN bertugas sebagai BUMN PSO (Public Srvice Obligation). PLN harus hadir di tengah masyarakat untuk menjalankan fungsi pelindung. PSO ini dapat berupa pemberian subsidi. Faktanya, untuk tahun depan ada pengurangan subsidi bagi PLN sehingga mengakibatkan kebijakan menaikkan tarif adjustment akan diagendakan.

Sangat disayangkan, sebuah perusahaan negara yang menaungi kebutuhan vital masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kelistrikan justru terus mengambil kesempatan meraup untung. Inilah watak kapitalisme – liberalisme  yang diemban negeri ini, tidak berhenti mencari kesempatan meraih materi sebanyak-banyaknya.

Dengan adanya privatisasi, negara hanya bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsinya sehingga BUMN diperbolehkan mencari keuntungan.

Privatisasi PLN ini faktanya membuat masyarakat meradang, karena kenaikan tarif listrik tidak dapat dihindarkan. Swasta memiliki kontrol profit oriented. Itu sebabnya, tarif listrik akan terus mengalami kenaikan. Tarif adjusment hanyalah cara pemilik modal mengatur mekanisme kenaikan tarif listrik. Hal itu karena merekalah yang memfasilitasi pengelolaan ketenagalistrikan atas nama PLN, dalam rangka memperoleh subsidi dari negara.

Maka ketika subsidi dikurangi di tahun mendatang, TDL naik dan dibebankan kepada pelanggan, di mana pengaturan TDL mengikuti mekanisme pasar bebas. Akibatnya, tarif listrik tidak bisa dikontrol. Hal ini menunjukkan negara tidak memiliki kedaulatan lagi di sektor ketenagalistrikan.

Maka jelas, terjadi kesalahan mendasar atas kebijakan yang diambil negara tentang kenaikan TDL ini, yaitu peran negara yang bertindak sebagai pedagang, menjual layanan energi yang bersumber dari milkiyah ammah (kepemilikan umum) kepada rakyat.

Sejatinya, milkiyah ammah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk di dalamnya kebutuhan akan energi rakyat. Berbeda dengan sistem Islam yang mengelola milkiyah ammah dan menjamin pemenuhan kebutuhan energi rakyat.

Negara Islam atau Khilafah menjalankan sepenuhnya aturan Islam yang berasal dari Allah Swt. di segala aspek kehidupan. Karena itu, Islam memiliki solusi dalam mengatasi permasalahan umat, termasuk pengaturan ketenagalistrikan. Khalifah sebagai pemimpin umat bertindak sebagai rain, bertanggung jawab mengurusi semua urusan rakyatnya, tidak berperan sebagai pedagang dalam mengurusinya, atau mencari untung-rugi di belakang rakyatnya.

Inilah perbedaan mendasar kepemimpinan dalam sistem Islam dan kapilatisme-liberalisme saat ini. Sistem Islam justru memastikan pemenuhan kebutuhan umatnya, termasuk kebutuhan akan listrik mencakup seluruh rakyat, baik yang di perkotaan sampai pelosok pedalaman, baik untuk rakyat yang miskin maupun kaya. Semuanya mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan kebutuhan listrik yang murah. Ini karena pengaturan dan pengelolaan langsung ditangani oleh negara sebagai wujud amanah dan tanggung jawab kepada Allah Swt. dan rakyatnya.

Islam menganggap listrik sebagai milkiyah ammah (milik umum) yang terbagi dalam dua hal, yaitu:

Pertama, listrik sebagai bahan bakar terkategori “api” yang merupakan milik umum. Yang termasuk di dalamnya adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik, seperti tiang listrik, gardu listrik, mesin pembangkit, dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, padang, air, dan api,” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Kedua, sumber energi pembangkit listrik yang membutuhkan eksplorasi karena membutuhkan biaya besar dan peralatan canggih yang pengelolaannya dilakukan negara maupun swasta. Sebagian besar berasal dari barang tambang yang jumlahnya tak terhingga atau depositnya besar, yakni minyak dan gas (migas), batu bara. Keduanya terkategori milik umum. Haram hukumnya jika pengelolaanya dikomersialisasikan, baik oleh perusahaan negara maupun swasta. Haram juga mengomersialkan hasil olahannya seperti listrik, apa pun alasannya.

Dalil lainnya mengenai milkiyah ammah (milik umum) sebagai milik umat yang haram dikomersialisasikan adalah tentang tambang garam di masa Rasulullah saw.

Abyadh bin Hammal bercerita, Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. meminta diberi tambang garam. Lalu beliau memberikannya. Ketika Ia pergi, seorang lelaki di majelis itu berkata, ”Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata, Rasulullah lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal,” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan lain-lain).

Maka jelas, solusi dalam mengatasi permasalahan kenaikan TDL secara berkala yang dikorelasikan dengan komersialisasi negara dalam pengelolaannya sehingga menjadi media berdagang dalam sistem kapitalis adalah tidak tepat. Masalah tersebut hanya dapat diselesaikan dengan sistem Islam yang tegak sebagai aturan yang kaffah di dalam negeri.

Dengan sistem Islam yaitu Khilafah, setiap kebijakan akan mengutamakan kepentingan dan pemenuhan kebutuhan umat secara adil. Seyogianya, kaum muslimin mendukung diterapkannya aturan Islam secara menyeluruh ini karena terbukti secara fakta bahwa listrik murah bukan hal utopia. Wallahu’alam bishawab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :