Oleh: Yeni Purnamasari, ST
Muslimah Penduli Generasi
Tinta Media -- Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman, mencakup bahasa, suku, status sosial, budaya, dan agama. Faktor inilah yang mendorong sikap moderasi beragama dengan alasan mewujudkan perdamaian dalam suatu negara. Karena itu, konsep moderasi beragama terus disosialisasikan oleh berbagai pihak. Saat ini, konsep itu sudah mulai merambat ke dunia pendidikan.
Tidak hanya ke madrasah, tetapi sosialisasi itu juga merambah ke sekolah umum. Hal ini dianggap penting untuk ditanamkan kepada peserta didik agar tercipta hubungan harmonis antara guru, peserta didik, serta masyarakat agar terbentuk lingkungan yang seimbang, adil, dan toleran. Dalam penerapannya, hal tersebut membutuhkan sinkronisasi antara materi kurikulum dan pelatihan tenaga pendidik berwawasan keberagaman moderat. Hal ini karena implementasi keduanya menentukan keberhasilan konsep moderasi menyatu dalam lingkup pendidikan.
Berdasarkan keterangan Kepala Seksi Bina Guru MI dan MTs, Mustofa Fahmi, bahwa Kemenag akan menerbitkan pedoman terkait teknis pengangkatan calon guru madrasah, penataan, redistribusi, dan pemberhentian yang disusun oleh pakar pendidikan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 1006 tahun 2021 tentang Pedoman Pengangkatan Guru pada Madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Prosedur rekruitmen mensyaratkan agar calon guru harus mempunyai wawasan keberagamaan moderat dan usia saat diangkat paling tinggi 45 tahun. Hal ini bertujuan agar kualitas guru terjamin sebagai guru profesional, baik negeri maupun swasta (kemenag.go.id, 17/11/2021).
Sungguh miris kualitas masa depan generasi umat jika terus dibiarkan dalam cengkeraman program moderasi agama. Salah satunya dengan menggencarkan ide Islam moderat melalui guru madrasah. Semakin lama, hal ini akan menjauhkan identitas utamanya sebagai khairu ummah, penerus peradaban mulia. Hasilnya adalah generasi yang menilai semua agama benar dan menjunjung tinggi toleransi yang kebablasan. Justru mereka yang konsisten menerapkan syariat dengan benar akan dituduh radikal, ekstrem, dan intoleran.
Padahal, moderasi agama ini merupakan produk pesanan musuh Islam. Pada dasarnya, produk itu merupakan bagian dari rangkaian proses sekularisasi yang dilabeli istilah baru. Mereka yang tidak suka dengan Islam, menginginkan perpecahan kaum muslimin dengan strategi adu domba. Upaya semacam ini semakin mengaburkan esensi Islam, mencampuradukkan kebenaran Islam dengan agama lain. Produk ini juga mengerdilkan ajaran Islam, mendegradasi akidah umat Islam, sehingga dikhawatirkan semakin melumpuhkan dakwah dan menghadang kebangkitan Islam.
Telah nyata, betapa bahayanya moderasi agama yang digaungkan. Ini sama artinya menjadikan nilai Islam disepadankan dengan aturan buatan manusia semaunya, atau sesuai hawa nafsu. Tak heran, jika saat ini demokrasi sekular menuduh Islam sebagai antikeragaman sehingga melahirkan islamofobia yang meracuni dan menyesatkan umat.
Sekilas memang narasi moderasi beragama terlihat memiliki tujuan yang baik. Di antaranya, menciptakan kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, tetapi di balik itu semua, penuh tipu daya. Umat Islam akan memilah dan memilih dalam menaati perintah Allah, terlebih memberi kelonggaran kemaksiatan dengan dalih kemaslahatan. Misalnya, ikut dalam perayaan agama lain, bahkan berpotensi menghalalkan apa yang diharamkan Allah atas nama kesepatan bersama.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain)", serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir).” (TQS. An-Nisa:150).
Selanjutnya, pelan tapi pasti Islam pun berubah menjadi sekadar agama ruhiyah. Umat Islam dipaksa untuk mau berkompromi dengan pemikiran dan aturan kufur. Ini membuktikan bagaimana moderasi menjadi ancaman bagi umat Islam untuk menerapkan ajaran agamanya sendiri. Padahal, Allah telah menegaskan bahwa hanya agama Islam yang benar dan mulia.
Allah berfirman:
"Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (TQS. Ali-Imran:85).
Selain itu, keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan harusnya mampu mencetak generasi unggul yang berkepribadian Islam. Namun, itu hanyalah hayalan karena sistem pendidikan tidak lagi berasaskan Islam. Banyaknya tsaqafah Barat yang tidak mampu disaring lagi menjadi bukti rusaknya pendidikan. Hal ini karena memang yang disasar adalah para pemuda Islam. Mereka tahu dengan jelas, bahwa masa depan umat ini terletak pada para pemudanya.
Maka, kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Para orang tua harus waspada dan menyelamatkan anak-anaknya dari arus moderasi agama. Ini tentu membutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk membentengi anak-anak dari paparan yang disusupkan pada kurikulum pendidikan di sekolah supaya anak menjadi generasi yang berkualitas demi memperjuangkan tegaknya Islam, menghancurkan moderasi agama.
Hal ini bisa terwujud jika generasi muslim belajar Islam kaffah. Islam memberikan tuntunan untuk mendidik anak dan menjaga anggota keluarga dari api neraka. Dengan menanamkan akidah Islam sejak dini, menjadi pondasi dasar melindungi anak dari keburukan. Kecintaan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya akan mendorong keluarga untuk taat hanya kepada Allah.
Tak kalah penting yaitu mengantisipasi peluang masuknya moderasi pada anak dengan memilihkan sekolah, pondok, atau lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum berbasis Islam. Begitu juga dengan para pendidik haruslah siap mengajarkan tsaqafah Islam karena tujuan utama pendidikan dalam islam adalah untuk pembentukan Syakhsiyah (Kepribadian) Islamiyah para pelajar yang nantinya akan menciptakan generasi Islami.
Hal ini sebagaimana sosok Rasulullah saw. yang menjadi panutan dalam membina para sahabat dengan dasar akidah islam. Dengan begitu mereka akan terikat dengan hukum Allah karena kokoh keimanan dan mendalam pemikiran Islamnya. Alhasil, akan tegak amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat, tersebar dakwah dan jihad ke penjuru dunia. Pada akhirnya, pendidikan Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia.
Namun, semua itu tidak akan terwujud jika sistem pendidikan tidak bertumpu pada penerapan Islam kaffah. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam, seperti tujuan, strategi, kurikulum, metode kegiatan belajar dan mengajar, penetapan usia sekolah, jenjang pendidikan, kalender pendidikan, standarisasi pendidik dan tenaga kependidikan. Demikian juga dengan sarana dan prasarana, akreditasi lembaga, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, kerjasama internasional, serta pembiayaan. Tentunya dengan pemimpin negara yang menetapkan kebijakan dan menjamin pelaksanaannya sesuai hukum syariah.[]
Wallahualam