Indahnya Islam Kaffah Menata Ekonomi Rakyat - Tinta Media

Kamis, 30 Desember 2021

Indahnya Islam Kaffah Menata Ekonomi Rakyat

Indahnya Islam Kaffah Menata Ekonomi Rakyat

Oleh: Noor Hidayah

Tinta Media --Seorang suami di Kecamatan Luwuk Utara, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, ditangkap polisi karena menikam istrinya. Sang suami yang dalam pengaruh minuman keras merasa kesal karena ditanya perihal gaji.

Kasus yang terjadi awal Desember 2021 ini, makin menambah daftar kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu kesulitan ekonomi keluarga. Kemiskinan yang menghimpit hampir sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadi problem utama negeri ini.

Pemerintah sudah berupaya mengentaskan kemiskinan dengan mengadakan program pengentasan kemiskinan nasional yang dibagi menjadi tiga kluster, yaitu Program penanggulangan kemiskinan bantuan sosial terpadu berbasis keluarga (kluster I) yang meliputi jamkesmas, PKH, raskin, dan bantuan siswa miskin, Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat (kluster II) melalui program PNPM, dan Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil (kluster III), misal Kredit usaha rakyat (KUR). Namun, tetap saja problem kemiskinan menghantui pelosok bumi pertiwi dan menjadi potret buram ekonomi negeri ini. Adakah solusi?

Program Pengentasan Kemiskinan Tidak Menyentuh Akar Masalah

Berbagai program yang telah dijalankan pemerintah ternyata tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Terbukti, angka kemiskinan tidak kunjung turun hingga saat ini, bahkan cenderung meningkat, apalagi setelah pandemi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa program tersebut tidak mampu menjadi benteng pertahanan ekonomi karena memang tidak menyentuh akar permasalahan.

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme global memang nyata-nyata memproduksi ketidakadilan dan kemiskinan masyarakat di berbagai belahan dunia. Kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 82% kekayaan dunia hanya dikuasai 1% orang. Sedangkan di Indonesia, hampir 50% aset nasional hanya dikuasai oleh 1% orang (Kompas, 2018).

Program pemberdayaan ekonomi perempuan pun bukan solusi. Program ini diluncurkan atas dasar pandangan keliru kapitalisme bahwa kaum perempuan dilihat sebagai kelompok paling rentan terhadap kemiskinan. Padahal yang terjadi sesungguhnya, kemiskinan tak terkait dengan minimnya keterlibatan kaum perempuan dalam proses produksi atau kegiatan ekonomi.

Pengentasan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan dengan menggantungkan pada keberadaan UMKM, walaupun UMKM memiliki peran besar dalam menstabilkan perekonomian. Dalam krisis ekonomi yang melanda, UMKM sebagai ekonomi riil rakyat mampu menggerakkan aktivitas ekonomi yang terhenti sehingga pemerintah sangat berharap besar pada usaha mikro, kecil, dan menengah ini.

Hanya saja, menggantungkan penciptaan lapangan kerja baru kepada UMKM seakan memberi kemudahan bagi negara berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat. Dalam hal ini, pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dengan membuka link bagi pelaku UMKM, memberi stimulus, menyediakan kredit usaha, provider layanan daring, atau pemilik marketplace. Selebihnya, untung rugi atau bangkrut suksesnya usaha yang mereka rintis ditentukan kerja keras mereka dalam bertahan di tengah persaingan bisnis yang ketat.

Hal ini menyiratkan pesan bahwa tugas negara sebagai pelaku dan penyelenggara dalam mengatasi kemiskinan “terbantu” dengan hadirnya UMKM. Namun, sebesar-besarnya UMKM menjadi penopang ekonomi negara, usaha menaikkan kelas UMKM sebagai raksasa ekonomi global tetap kalah oleh dominasi korporasi kapitalisme global.

Demikian juga dengan program bantuan sosial, bukan solusi pengentasan kemiskinan dan penjamin kesejahteraan rakyat, meskipun bantuan itu tepat sasaran. Alasannya, selain karena kebijakannya yang sementara, pendanaan bansos pun diperoleh dari utang. Artinya, masalah diselesaikan dengan membuka masalah baru.

Utang yang membengkak akan menjadi beban APBN, sementara sumber utama pemasukan APBN adalah pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Akhirnya, kembali lagi rakyat yang menjadi korban.

Penerapan Sistem Ekonomi Islam

Problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi kapitalis menjadi akar masalah terjadinya kemiskinan karena buruknya distribusi kekayaan yang dilahirkan oleh sistem ini. Kendati secara teoritis kapitalisme memberikan kesempatan yang sama (equality of opportunity) kepada setiap anggota masyarakat, tetapi kenyatannya bersifat diskriminatif. Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, informasi, atau kekuasaan saja yang sering mendapatkan kesempatan.

Sebagai akibatnya, akan muncul sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi. Oleh karena itu, kelaparan dan kemiskinan tidak bisa di atasi hanya dengan melimpahnya jumlah kekayaan. Akan tetapi, harus ada sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga terpenuhinya kebutuhan tiap-tiap orang.

Satu-satunya yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi itu adalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan. Namun, Islam tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.

Sistem ekonomi Islam memiliki langkah-langkah untuk pengentasan kemiskinan antara lain:

Pertama, jaminan kebutuhan primer. Hal ini tidak berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, atau rumah kepada rakyat setiap saat, hingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Maksud dari jaminan tersebut diwujudkan dengan pengaturan serta mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan yaitu:

(1) Mewajibkan laki-laki menafkahi diri dan keluarganya. Allah Swt. berfirman,
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (QS al-Baqarah [2]: 233).

(2) Mewajibkan kerabat dekat untuk membantunya. Jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah, seperti meninggal, cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usia lanjut dll, kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah.

(3) Mewajibkan negara membantu rakyat miskin. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan, maka pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitulmal (kas negara). Dengan kata lain, negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya.

(4) Mewajibkan kaum muslimin membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong, maka kewajiban nafkah beralih ke kaum muslimin secara kolektif. Allah Ta’ala berfirman,
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (QS adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak peduli nasib orang miskin dan kelaparan. Sabda Rasulullah saw.,
“Tidak beriman kepadaku, seseorang yang tidur malam hari dalam keadaan kenyang, sementara dia mengetahui tetangganya kelaparan.” (HR. Ath-Thabrani)

Kedua, pengelolaan kepemilikan. Ada tiga aspek kepemilikan dalam Islam yaitu, kepemilikan individu, umum, dan negara.

Kepemilikan individu memungkinkan siapa pun mencari harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dibolehkan Islam.

Kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, yaitu bisa berupa harga murah, bahkan gratis. Harta milik umum ini berupa barang tambang, minyak, sungai, danau, hutan, jalan umum, listrik, dll. Harta ini wajib dikelola negara dan tidak boleh diswastanisasi dan diprivatisasi sebagaimana praktik dalam kapitalisme.

Adapun kepemilikan negara adalah setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ’ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara.

Harta milik negara digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik, dan sebagainya.

Negara, meskipun sama-sama berwenang mengatur dan mengelola harta milik umum dan milik negara, hanya saja ada perbedaan di antara keduanya. Terhadap harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada seseorang meskipun seseorang boleh memanfaatkan harta milik umum tersebut berdasarkan kesertaan dan andil dirinya atas harta tersebut.

Adapun terhadap harta milik negara, negara berhak memberikannya kepada individu atau sekelompok individu rakyat, tetapi tidak untuk individu lain.

Ketiga, distribusi kekayaan yang merata. Negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut.

Semua itu menggambarkan bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Keempat, penyediaan lapangan kerja. Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja, terutama untuk laki-laki. Hal ini karena merekalah pencari nafkah bagi keluarganya.

Negara membolehkan perempuan berperan dalam ranah publik, seperti dokter, perawat, guru, dll. Namun, tugas perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya tetap menjadi kewajiban utama yang harus ditunaikan dengan sempurna.

Kelima, penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan. Masalah kemiskinan biasanya juga disebabkan tingkat pendidikan rendah yang berpengaruh pada kualitas SDM. Di sinilah negara akan menyelenggarakan pendidikan gratis kepada rakyat. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang diberikan secara cuma-cuma. Sebab, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi negara.

Demikianlah, Islam mengatur secara rinci bagaimana mengatasi kemiskinan struktural dan kultural dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat. Pengaturan seperti ini tidak akan dijumpai dalam sistem demokrasi kapitalis. Mekanisme ini hanya akan ditemui tatkala Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara secara kaffah.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :