Tinta Media -- Menanggapi masyarakat yang menolak fatwa MUI tentang cryptocurrency, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai, cryptocurrency tidak memenuhi standar sebagai mata uang yang ideal.
“Kalau kita menginginkan stabilitas keamanan menyimpan uang dalam jangka panjang, maka cryptocurrency itu tidak layak, tidak memiliki standar sebagai mata uang yang ideal,” tuturnya pada Kajian Islam dan Peradaban di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (27/11/2021).
Ia mencontohkan beberapa negara yang tidak menggunakan cryptocurrency ini sebagai uang karena memang tidak ideal. “Di beberapa negara, termasuk di Amerika sendiri, meskipun cryptocurrency tidak dilarang, tapi tidak dikatakan sebagai uang. Tapi dia hanya dijadikan sebagai alat atau sarana investasi. Berbeda dengan Cina yang betul-betul melarangnya,” ungkapnya.
Ishak mengutip pendapat Asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah yang menanggapi cryptocurrency ini. Bahwa dikatakan standar mata uang jika dapat digunakan untuk menilai harga barang dan jasa dan tersebar luas. Hal itu tidak dimiliki oleh cryptocurrency yang memiliki jaringan spesifik sehingga tidak dapat digunakan oleh masyarakat umum.
“Disampaikan oleh Asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, ketika beliau memberikan suatu pandangan mengenai cryptocurrency ini, beliau melihat bahwa dalam mata uang Islam itu, dapat dikatakan sebagai uang jika menjadi standar untuk bisa digunakan melakukan transaksi barang dan jasa. Dikatakan standar moneter jika bisa digunakan untuk menilai harga barang dan upah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa mata uang harusnya dikeluarkan oleh pihak yang maklum dan memiliki nilai intrisik sehingga dapat merepresentasikan harga barang dan jasa.
“Mata uang dalam Islam harus dikeluarkan oleh pihak yang maklum bukan otoritas. Sedangkan cryptocurrency penemunya sampai sekarang ini masih misterius. Tidak diketahui dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab. “Siapa yang bertanggung jawab terhadap uang yang dikeluarkan ini? Tidak ada, jika sistem ini kolaps. Dan bisa saja itu terjadi, maka uang-uang itu menjadi tidak lagi bernilai. Apalagi dia bersifat digital. Tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Tidak memiliki nilai intrisik di angka-angka ini tidak bisa merepresentasikan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pemegangnya atau oleh orang lain,” lanjutnya.
Menurutnya, kelemahan terakhir cryptocurrency sehingga tidak layak sebagai alat transaksi yang ideal adalah tidak tersebarnya secara massal. Untuk menggunakannya harus memiliki jaringan khusus dan syarat tertentu. Sehingga cryptocurrency tidak dapat digunakan semua orang serta untuk transaksi barang dan jasa tertentu saja.
“Mata uang harus tersebar luas di tengah masyarakat, bukan khusus di satu kelompok tertentu. Cryptocurrency yang berbasis internet, siapa saja yang menggunakan harus memiliki jaringan internet dan harus menjadi bagian dari sistem yang dibentuk. Harus mendownload software, dan memiliki walletnya,” jelas beliau membeberkan.
Ishak juga membandingkannya dengan mata uang dinar dan dirham. Mata uang yang memiliki standar emas dengan nilai yang stabil dan semakin kuat dari masa ke masa.
“Dinar dan dirham mata uang yang diakui Islam. Menyelesaikan problem yang juga menjadi salah satu alasan diluarkannya cryptocurrency itu adalah ketidakstabilan mata uang. Tidak memiliki nilai intrinsik yang mudah diproduksi oleh otoritas moneter sehingga nilainya semakin lama semakin tidak bernilai. Berbeda dengan standar emas yang nilainya semakin kuat dari masa ke masa. Sehingga sangat stabil,” pungkasnya.[] Raras