Oleh: Gus Uwik
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam
Tinta Media -- Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Hadist ini menjadi penuntun bagi setiap Muslim agar hanya berkata baik saja. Mengeluarkan hal yang baik dari mulut. Memastikan bahwa yang diucapkan membawa kebaikan. Bukan sebaliknya. Kalau tidak bisa maka lebih baik diam.
Hadist di atas juga menjadi penuntun agar sebelum bicara memastikan bahwa yang dikatakan sesuai dengan hukum syara'. Masuk dalam kategori yang dibolehkan, disunnahkan dan yang diwajibkan oleh Allah SWT. Yakni mubah, sunnah dan wajib. Tidak masuk dalam kategori makruh apalagi haram. Benar-benar yang keluar dari mulut adalah mutiara.
Hadist di atas juga menjadi penuntun bahwa harus tahu ilmu sebelum bicara. Tidak asal ngomong apalagi nglantur dan malah melabrak hal-hal yang mendasar dalam agama.
Sebagai misal perkataan kontroversi "Saya kalau berdoa pakai bahasa Indonesia. Tuhan kita bukan orang Arab. Saya (berdoa) pakai bahasa Indonesia, ya Tuhan ya Allah SWT saya ingin membantu orang, saya ingin menolong orang itu saja doanya, itu saja."
Perkataan "Tuhan kita bukan orang Arab" menunjukkan menyamakan antara Tuhan dengan Manusia. Walau maksudnya ketika berdoa bisa dengan bahasa apa saja, selain bahasa arab, namun mengatakan Tuhan kita bukan orang arab jelas sebuah kesalahan yang fatal. Narasi yang menyamakan Tuhan dengan Manusia.
Pemahaman tentang hakikat Allah SWT adalah hal mendasar dalam keimanan. Allah SWT adalah Al Kholiq. Dzat yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Bukan makhluk dan bersifat kekal lagi azali. Berbeda dengan manusia. Dia makhluk, artinya yang diciptakan. Fana, lemah dan terbatas. Jadi jelas beda antara Al Khaliq dengan Makhluk. Tidak bisa disamakan. Error keimanannya jika menyamakan.
Inilah pentingnya hadist di atas. Berkata baik, atau diam. Jangan membuat kegaduhan dan kontroversial. Apalagi penyebabnya adalah faqir ilmu dan keangkuhan jabatan. Jelas lebih runyam lagi. Apalagi salah kata diucapkan oleh pejabat. Akan sangat berdampak.
Sudah maklum bahwa setiap pejabat ada "pemuja" setia yang akan membelanya walau salah. Bahkan akan mencarikan argument dan "dalih dalil pembenaran" atas ucapannya. Inilah bahayanya. Kesalahan tersebut akan "dibenarkan" bahkan dibela membabi-buta. Akhirnya yang salah nampak "benar". Sehingga menjadi samar. Masyarakatpun akhirnya ada yang terpengaruh.
Ingatlah, setiap yang perkataan akan ada hisabnya kelak di yaumil qiyamah. Sekecil apapun ada pembalasannya di sisi Allah SWT. Baik di balas dengan baik. Buruk pun akan di balas dengan siksa yang berat. Berkatalah baik atau jika tidak bisa lebih baik diam.[]