Oleh: Ida Royanti
Tinta Media -- Utang luar negeri (ULN) Indonesia terus membengkak dalam kurun satu dekade terakhir. Bank Indonesia melaporkan bahwa total utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal III 2021 mencapai USD 423,1 miliar atau Rp 6.008 triliun (estimasi kurs Rp 14.200 per dolar AS).
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyatakan, utang luar negeri Pemerintah tumbuh lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya. Kondisi tersebut dianggap masih tetap terkendali, Liputan6.com (15/11/2021)
Namun demikian, publik merasa cemas dan mempertanyakan adanya dampak buruk dari membubungnya utang tersebut, benarkah kedaulatan Indonesia tidak akan terpasung?
Dalam benak masyarakat, negeri ini sangat kaya akan sumber daya alam. Harusnya, kekayaan itu mampu membiayai segala kebutuhan yang ada, tanpa harus berutang.
Kemenkeu menjelaskan bahwa kenaikan utang terjadi karena ada peningkatan jumlah utang dari Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah sebesar Rp89,08 triliun. Sementara jumlah utang dari SBN valuta asing (valas) naik Rp6,2 triliun.
Peningkatan jumlah utang ini untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di tengah pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi Covid-19. Kendati meningkat, kementerian mengklaim pemerintah terus berusaha menurunkan jumlah pinjaman utang dari luar negeri dan surat utang berdenominasi valas, CNN Indonesia (04/11/2021)
Sementara, Bank Indonesia (BI) menilai, struktur ULN Indonesi tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga kisaran 37,0 persen, meningkat dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya 37,5 persen. Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 88,2 persen.
Benarkah Kondisi Indonesia Aman?
Meski pemerintah melalui Kementrian Keuangan dan BI menyatakan bahwa kondisi utang Indonesia masih aman tekendali, tetapi sejumlah pihak masih merasa khawatir. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah cukup berisiko. Menurut BPK, sejumlah indikator telah menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah.
Dari sini, wajar jika BPK merasa khawatir apakah pemerintah sanggup melunasi utang beserta bunganya atau tidak. Belum lagi, rasio utang terhadap PDB juga terus meningkat. Karena itu, BPK berharap agar pemerintah dapat mengerem laju utang dan beban bunga, CNN Indonesia (24/06/2021).
Di satu sisi, solusi yang diberikan BPK juga patut dikritisi karena masih berkutat pada peningkatan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.
Solusi Perbaikan ala Kapitalis
Secara sederhana, sistem ekonomi kapitalis bertumpu pada dua hal, yaitu pemungutan pajak sebagai penerimaan negara dan penarikan utang. Ketika terjadi masalah dalam menjalankan pemerintahan, maka yang pertama kali dicermati adalah masalah pajak. Hal ini karena pajak merupakan sumber keuangan utama. Ini tentu sangat memberatkan masyarakat.
Masyarakat sudah terseok-seok dalam memeuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama saat pandemi. Ditambah dengan adanya pajak, maka beban berat tersebut semakin bertambah. Apalagi dengan adanya UU HPP yang ditanda tangani Presiden Jokowi pada 2810/2021 tentang Perpajakan. UU itu memungkinkan terjadinya pemungutan semua obyek PPN, termasuk sembako, pendidikan, dan kesehatan yang kewenangan dan pengaturannya dilimpahkan pada pemerntah. (Republika, 8/11/2021).
Jika semua hal yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan mendasar masyarakat dikenai pajak, bisa dibayangkan bagaimana susahnya kehidupan masyarakat.
Itu sebabnya, pemerintah menggenjot utang negara, terutama utang luar negeri. Peningkatan jumlah utang ini untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di tengah pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi Covid-19. Kendati meningkat, kementerian mengklaim pemerintah terus berusaha menurunkan jumlah pinjaman utang dari luar negeri dan surat utang berdenominasi valas, Kamis (04/11/ 2021).
Tentu ini bukan tanpa resiko. Tembusnya utang luar negeri lebih dari 6000 Triliun ini sesungguhnya merupakan alarm bahaya bagi fundamental ekonomi berbasis utang. Padahal, kedaulatan ekonomi merupakan aspek penting dalam pengelolaan suatu negara. Tanpa ada kedaulatan, suatu negara akan mudah dikendalikan oleh negara lain. Berdasarkan fakta dan catatan sejarah, tampak begitu jelas bahwa sistem ekonomi kapitalisme tidak pernah berpihak pada negara pengutang. Sistem ini justru senantiasa mewujudkan kedaulatan bagi pemilik modal, terutama pemilik modal asing, baik yang meginvestasikan modalnya atau yang memberi pinjaman modal.
Pemilik modal memiliki kewenangan penuh untuk mengatur arus barang dan jasa. Pemilik modal juga bisa mengambil hak-hak banyak orang seperti dalam aset-aset kepemilikan umum yang diprivatisasi dan menjadi milik mereka. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kedaulatan bangsa karena setiap lembaga donor tersebut tentu mensyaratkan sejumlah kebijakan yang harus diambil debitur.
Contohnya utang Indonesia pada Cina. Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. menyatakan, besarnya utang tersembunyi Cina dapat merusak eksistensi negara. Sampai saat ini, utang masih dianggap sebagai strategi mutakhir untuk mengendalikan suatu negara. Bahkan, suatu negara bisa menjajah negara lain secara tidak langsung melalui utang. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka negeri ini berpeluang kehilangan aset milik rakyat satu demi satu.
Negara pemberi utang juga dapat mendikte roda pemerintahan melalui setiap perjanjian yang dilakukan. Hal ini tentu akan membuat negeri ini terus terpasung sehingga tidak bisa mandiri. Karena itu, solusi yang ditawarkan oleh sistem kapitalis terbukti tidak pernah menyejahterakan, bahkan malah semakin membuat negeri ini terpuruk dalam penderitaan panjang.
Adakan Solusi yang Paripurna?
Tidak ada harapan perbaikan kondisi ekonomi bila negeri ini tetap memberlakukan sistem ekonomi kapitalis. Itu sebabnya, sudah selayaknya sistem itu dicampakkan jauh-jauh dari muka bumi. Tidak ada jalan lain, solusi atas problem ini adalah pemerintahan yang mandiri, baik secara politik maupun pengelolaan SDA.
Satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan hal itu adalah Sistem Islam karena berasal dari Zat Yang Mahasempurna. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, baik muslim ataupun nonmuslim, baik berupa kebutuhan pokok seperti; sandang, pangan, papan, ataupun kebutuhan jasa, seperti; pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, negara tidak bertumpu pada sektor pajak, apalagi utang yang berbasis ribawi. Pajak hanya dikenakan ketika negara dalam kondisi genting, dalam artian, khas negara di baitul mal sedang kosong, sementara negara membutuhkan dana untuk memenuhi hajat hidup masyarakat. Itu pun tidak dibebankan pada semua warga. Hanya warga kaya dan muslim saja yang dikenai pajak sehingga tidak memberatkan bagi masyarakat lainnya.
Namun, negara akan megoptimalkan semua potensi sumber-sumber pendapatan negara yang sesungguhnya sangat luas. Islam mengelola harta menjadi tiga pos, yaitu kekayaan individu, negara, dan umum.
Kekayaan individu diserahkan pengelolaanya pada masing-masing individu. Sementara, kekayaan negara dan umum, pengelolaannya dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan umat. Di antaranya, harta dari zakat yang dipergunakan untuk delapan asnaf. Sedangkan dari kharaj, jizyah, fai, ganimah, dan pengelolaan SDA, digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang lainnya. Dengan begitu, kas negara tidak akan kosong. Kalaupun terpaksa ada kekosongan, barulah dipungut pajak. Negara tidak perlu utang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan tersejahterakan tanpa kekurangan suatu apa pun. Berdasarkan catatan sejarah, hanya intsitusi Khilafah yang mampu menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah tersebut. Wallahu a’lam.