Terpasung Utang, Masihkah Baik-baik Saja? - Tinta Media

Sabtu, 27 November 2021

Terpasung Utang, Masihkah Baik-baik Saja?

Terpasung Utang, Masihkah Baik-baik Saja?

Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Pegiat Literasi)

Tinta Media -- Utang adalah salah satu cara negeri ini untuk mendapatkan pemasukan. Namun, meski utang yang lalu belum terbayarkan, kini kabarnya utang Indonesia kembali membengkak. Lantas benarkah dalam keadaan tersebut, negeri ini bisa disebut baik-baik saja? Bukankah hal ini justru akan menambah beban penduduk?

Dilansir dari tempo.co (17/11/2021), Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai US$ 423,1 miliar atau sekitar Rp 6.008 triliun, naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Disampaikan melalui Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, bahwa peningkatan ini terdiri dari ULN sektor publik senilai US$ 205,5 miliar, dan sektor swasta US$ 208,5 miliar.

Erwin menilai, ULN pemerintah dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel. Utang juga diutamakan mendukung belanja prioritas pemerintah, termasuk kelanjutan upaya mengakselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Erwin juga menganggap bahwa dari sisi resiko refinancing, posisi ULN pemerintah aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah (katadata.co.id, 15/11/2021).

Namun demikian, peningkatan utang tetaplah suatu beban dan tanda semakin bermasalahnya keuangan negeri ini. Sayangnya, pemerintah terkesan tidak terlalu peduli akan situasi ini, bahkan, dianggap aman dan baik-baik saja.

Utang, Jebakan Penjajahan

Sumber pembiayaan dalam negara yang mengemban sistem kapitalisme memang menjadikan utang adalah yang utama. Maka tak aneh jika setiap ada kekurangan dan masalah keuangan, larinya dengan menambah utang, terutama utang ke luar negeri. Hal ini karena ULN dianggap memiliki tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan dalam negeri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai kenapa lebih memilih ULN adalah karena selain tingkat bunga rendah, risiko nilai tukar atau oerbedaan kenaikan suku bunga antar negara menjadi salah satu alasan (tempo.co, 17/11/2021).

Padahal, seharusnya ULN ini menjadi alarm bahaya bagi fundamental ekonomi berbasis utang ala kapitalisme. Terlebih lagi, ULN juga akan berpengaruh besar pada kedaulatan negara. Sebab, "No free lunch" atau tak ada makan siang yang gratis. Lembaga donor atau pemberi utang akan mensyaratkan sejumlah kebijakan yang harus diambil oleh pengutang (debitur).

Namun, nyatanya pemerintah masih berdalih jika kondisi negeri ini masih aman dan akan membaik dengan adanya penambahan dana, meskipun dari utang. Padahal, sejatinya ULN juga merupakan jebakan penjajahan ekonomi bagi negeri yang kaya akan SDA serta SDM seperti Indonesia.

Maka, negeri ini akan semakin dicengkeram oleh asing dan aseng sebagai pemberi utang. Kebijakan demi kebijakan akan disetir oleh mereka. SDM pun akan semakin dikuasai dan didominasi atas dasar investasi sehingga rakyatlah yang akan menderita, karena pemerintah tidak berpihak padanya.

Harapan Perbaikan Ekonomi dari Islam

Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, hendaknya Indonesia menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan dalam segala pengaturan pemerintahan dan pelayanan terhadap rakyat, tak terkecuali dalam perekonomian. Sebab, Islam adalah ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan, bukan agama ritual semata.

Maka, bukankah selayaknya kita mencoba dan berharap perbaikan ekonomi negeri ini dari Islam, di mana seluruh kebijakan diambil berdasarkan syariat Allah Swt., Sang Pencipta dan Pengatur segalanya, bukan berdasar kapitalisme yang nyata-nyata hanya buatan manusia?

Untuk membangun sistem ekonomi, negara dalam Islam tidak mengandalkan utang, apalagi utang luar negeri dengan sistem ribawi. Namun, negara Islam akan memaksimalkan pengelolaan kekayaan negara terutama SDA. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah ayat 29 yang artinya,

"Dialah (Allah) yang menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada di bumi."

Dalam Islam, sumber utama pendapatan negara untuk mengisi kas baitul mal adalah dari tuga hal, yaitu dari kepemilikan umum, kepemilikan negara dan zakat. Kepemilikan umun adalah dari SDA seperti aneka pertambangan, hutan, hasil laut, dsb.. Sedangkan kepemilikan negara berasal dari pungutan jizyah, kharaj, dll. Untuk zakat adalah berasal dari zakat mal.

Kepemilikan negara dan kepemilikan umum bisa digunakan untuk menutupi segala kebutuhan rakyat, termasuk menjamin kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keselamatan, yang mana hal tersebut adalah tanggung jawab negara. Sedangkan zakat hanya disalurkan untuk delapan asnaf saja sebagaimana yang di sebutkan dalam QS. at-Taubah ayat 60.

Dengan demikian, kekayaan SDA Indonesia yang melimpah akan mampu memenuhi kas baitul mal, sehingga perekonomian akan berjalan tanpa terpasung ULN yang ribawi. Kemandirian politik dan ekonomi pun akan terjaga, sebab tidak akan ada intervensi asing dan aseng yang mengikat pemerintahan.

Wallahua'lam bishawab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :