Oleh: Iwan Januar
(Direktur Siyasah Institute)
Tinta Media -- KSAD Jenderal Dudung menyatakan bahwa TNI tidak harus memerangi kelompok separatisme Papua (OPM). Menurutnya satuan tugas TNI yang beroperasi di Papua tidak harus memerangi kelompok kriminal bersenjata (KKB).Dudung menyatakan prajurit TNI harus mampu merangkul kelompok bersenjata agar mereka bisa kembali ke pangkuan NKRI.
"Jangan sedikit pun berfikir untuk membunuh, kalian harus sayang masyarakat dan kalian harus tunjukkan rasa sayang kepada masyarakat Papua. Kamu harus baik pada masyarakat Papua, jangan menyakiti hati mereka," kata Dudung kepada prajurit TNI AD, Persit KCK, dan Satgas Yonif PR 328/Dirgahayu bertempat di Markas Batalion Raider 754/ENK20/3 Kostrad, di Timika, Papua (23/11).
KKB, kata Dudung, adalah sebagian kecil masyarakat yang belum memiliki kesepahaman mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan KSAD Jenderal Dudung patut dicerna baik-baik; benarkah teror dan pembunuhan yang dilakukan kelompok separatis Papua OPM yang disebut KSAD sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), murni kesalahpahaman? Bila kesalahpahaman mengapa terjadi lebih dari 50 tahun? Bila kesalahpahaman, mengapa OPM terus menerus menyuarakan separatisme serta secara sistematis meneror, menculik serta membunuhi warga dan aparat keamanan, termasuk perwira tinggi?
Bila itu kesalahpahaman, bagaimana Dudung bisa menjelaskan bila rangkaian teror yang dilakukan OPM mendapat support dari oknum aparat keamanan dan pendeta yang menjual senjata dan informasi? Bagaimana juga pemerintah bisa menjelaskan bila gerakan teroris OPM ini mendapat dukungan dari sejumlah negara Barat, bermarkas di Oxford, Inggris, dan hingga saat ini mereka menuntut pemisahan Papua dari wilayah Indonesia?
Sekarang bandingkan dengan pernyataan Dudung terhadap apa yang ia namakan kelompok Islam ‘radikal’. Dudung mengatakan dirinya pun tak segan akan menerapkan sistem seperti era Presiden Soeharto. Ia menekankan untuk segera mengambil tindakan kalau ada organisasi yang mencoba mengganggu persatuan dan kesatuan Indonesia.
Bandingkan juga sikap aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Ali Kalora. Kelompok ini terus diburu untuk dimusnahkan. Pertanyaannya; apakah kelompok teroris OPM tidak mengganggu persatuan dan kesatuan Indonesia? Bukankah jelas mereka menuntut pemisahan wilayah?
Pernyataan KSAD hanya menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mempertahankan kebijakan politik terhadap OPM dengan tetap memberikan perlakukan ‘spesial’ pada kelompok teroris tersebut. Bahkan KSAD tetap memilih menggunakan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata ketimbang kelompok teroris OPM. Bahkan pernyataan militer menandakan pemerintah Indonesia kian melunak terhadap separatisme OPM.
Itu karena konflik yang terjadi di Papua dan pergerakan OPM bukan sekedar kesalahpahaman seperti pernyataan Dudung, tapi melibatkan berbagai kepentingan politik dan ekonomi berbagai pihak asing seperti Amerika Serikat. Barat, menjadikan Papua sebagai sandera untuk menekan pemerintah Indonesia, agar mereka leluasa memainkan peran di kawasan Indonesia. Apalagi AS terus memainkan perannya untuk bersaing dengan Cina di kawasan Asia Pasifik. Terakhir AS membentuk AUKUS bersama Australia dan Inggris untuk memperlebar dan memperdalam pengaruh mereka di kawasan ini.
Intel militer juga pasti tahu bahwa ada keterlibatan gerakan misionaris Kristen menyokong separatisme Papua. Pada awal Maret 2012, Pendeta Dr. SAE. Nababan yang menyebut diri sebagai Presiden Dewan Gereja se-Dunia (DGD), mengatakan DGD sejak awal terus mengikuti perkembangan di tanah Papua, dan Komite Eksekutif DGD telah mengeluarkan statemen tentang masalah Papua untuk diangkat dalam agenda internasional.
Di bulan April, Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi menyebut pendeta Paniel Kogoya mengeluarkan anggaran hingga 1,15 miliar rupiah untuk membeli senapan serbu bagi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Papua (TPNPB). Begitu, menghadapi isu yang melibatkan umat Nasrani biasanya pemerintah menjadi lunak. Berbeda sikap terhadap kelompok-kelompok Islam yang disebut kaum radikal apalagi teroris, kebijakan tangan besi langsung dipakai.
Jadi, pernyataan gerakan teroris separatis yang terjadi di Papua hanyalah ‘kesalahpahaman’, menandakan persoalan Papua akan jauh dari kata selesai, malah kian suram, negara kian tersandera asing. Pernyataan Dudung sekaligus menunjukkan pemerintah masih terus menempatkan musuh utama adalah kelompok Islam kritis, yang mereka sebut sebagai kaum radikal, yang bahkan tak pernah meledakkan sebatang mercon pun untuk menakut-nakuti warga.