Pro dan Kontra Permendikbud 30, Jalan tak Berujung Masalah Kejahatan Seksualitas - Tinta Media

Sabtu, 20 November 2021

Pro dan Kontra Permendikbud 30, Jalan tak Berujung Masalah Kejahatan Seksualitas

Pro dan Kontra Permendikbud 30, Jalan tak Berujung Masalah Kejahatan Seksualitas

Oleh: Ida Royanti
Founder Komunitas Aktif Menulis

Tintamedia -- Sampai hari ini, Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksusl (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi masih menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai bahwa permen ini mengandung intepretasi melegalkan zina karena adanya frasa “tanpa persetujuan korban”. Frasa tersebut bisa diartikan bahwa kekerasan seksualitas tidak dianggap sebagai tindakan kriminal jika mendapat persetujuan dari korban.

Namun, seolah abai terhadap banyaknya aksi yang menolak, pemerintah justru memberlakukan sanksi tegas bagi perguruan tinggi yang tidak menjalankan Permendikbud ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Nadiem Makarim dalam tayangan’Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual’ yang disiarkan kanal You Tube Kemendikbud RI, Senin (15/11/2021), bahwa perguruan tinggi yang tidak melakukan proses PPKS sesuai Permen akan dikenai sanksi, mulai dari keuangan sampai akreditasi.

Beberapa kalangan menilai bahwa sanksi ini merupakan bentuk represi dari Rezim agar semua institusi PT mengikuti tanpa ada celah mengkritisi.

Pengamat politik Muslim Arbi bahkan menduga ada agenda liberalisasi yang sedang diusung Menteri Nadiem. Harusnya Pak Menteri mendengar aspirasi umat Islam dengan merevisi Permendikbud Ristek No. 30 thun 2021.

“Umat Islam melalui berbagai ormas menolak dan meminta revisi Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021, namun Nadiem mengancam akan menurunkan akreditasi kampus jika tidak melaksanakan aturan. Ini sama saja Nadiem menantang umat islam,” tutur Muslim pada Suara Nasionl, Sabtu (13/11/2021).

Senada dengan itu, Partai keadilan Sejahtera (PKS) menuding adanya kelompok pro-seks bebas yang masuk ke dalam pandangan Mendikbud. Tudingan itu disampaikan oleh Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Senin 15 November 2021. Menurut Nasir, keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek (Permendikbudristek) nomor 30/2021 tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus yang dikeluarkan oleh Nadiem Makarim ini dianggap rentan melegalkan seks bebas.

Akhirnya persoalan ini tidak menemukan titik temu dan berujung pada pemaksaan untuk menerima keputusan dengan cara memberlakukan sanksi tegas bagi yang tidak melaksanakan peraturan, meski ada ketidakpuasan dari banyak kalangan.

Pro dan Kontra di Alam Kapitalis Liberal

Di alam kapitalis, kehidupan bernegara terpisah dengan agama. Karena itu, terjadinya pro dan kontra di seluruh aspek kehidupan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena aturan yang diberlakukan di alam kapitalis dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas. Antara manusia yang satu dengan yang lain tentunya memiliki pandangan yang berbeda karena adanya perbedaan keyakinan, pengetahuan, pengalaman, kebiasaan, kecondongan perasaan suka dan tidak suka, dan sebagainya. Perbedaan ini tentu saja menyebabkan solusi yang ditawarkan untuk semua permasalahan yang dihadapi juga berbeda.

Padahal, dalam sistem kapitalis, dibutuhkan suara bulat untuk mencapai suatu kesepakatan bersama yang akan dipakai sebagai aturan dalam seluruh persoalan. Tidak adanya kesepakatan akibat tidak ada standar yang jelas untuk menentukan benar dan salah ini sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan suara rakyat agar memperoleh kesepakatan.

Tentu saja pihak yang paling berpotensi untuk membeli suara adalah pihak yang memiliki banyak modal. Dalam hal ini, pihak korporasi adalah yang memiliki peluang paling besar. Karena itu, banyak kebijakan yang ditetapkan dalam sistem ini terbukti hanya untuk memenuhi kepentingan para kapital atau pemilik modal. Bahkan, suara mayoritas masyarakat bisa dianulir jika berseberangan dengan kepentingan para korporasi.

Pada sistem kapitalis sekuler, tidak ada standar baku yang digunakan untuk menentukan mana yang benar dan salah. Satu-satunya standar yang digunakan adalah asas manfaat. Padahal, kita tahu, kemanfaatan menurut masing-masing orang juga berbeda-beda. Itu sebabnya, negeri ini selalu diwarnai pro dan kontra setiap menentukan batasan persoalan.

Maka wajar, jika kita selalu mengalami kesulitan untuk menemukan solusi dalam setiap persoalan kehidupan, termasuk masalah kejahatan seksualitas ini karena semua orang kukuh dengan pendapatnya masing-masing dan diklaim sebagai pendapat yang paling benar.

Pada kasus kejahatan seksualitas, pihak yang menyukai kebebasan berperilaku, termasuk dalam memenuhi hasrat seksualiatas, tentu tidak mempermasalahkan adanya frasa “tanpa persetujuan korban” sebagai batasan tindak kejahatan seksualitas. Begitu juga dengan pihak yang diuntungkan dengan maraknya seks bebas di lingkungan anak muda seperti industri pornografi, pornoaksi, miras, narkoba, dan sebagainya.

Namun, pihak yang menilai bahwa frasa tersebut multitafsir dan bisa diintepretasikan sebagai legalisasi perzinaan, pasti akan menolak.

Perbedaan pandangan ini akan mengantarkan pada pertikaian tidak berujung dan tidak pernah bisa keluar dari masalah. Selama tidak ada standar yang jelas dan aturan yang baku dan sempurna yang mengatur kehidupan bernegara, maka negeri ini akan terus dilanda keterpurukan.

Adakah Solusi yang Paripurna?

Setiap persoalah pasti ada solusinya. Akar masalah negeri ini adalah tidak ada standar yang jelas dan baku dalam kehidupan, baik secara individu, masyarakat, atau bernegara. Selama sistem yang dipakai adalah sekuler yang terpisah dengan standar baku dan jelas, yaitu Islam, maka selamanya negeri ini akan terpuruk, tidak hanya masalah kejahatan seksualitas, tetapi di seluruh aspek kehidupan. Karena itu, jika ingin terbebas dari seluruh persoalan, maka harus mencampakkan sistem sekuler tersebut jauh-jauh dan menerapkan aturan Islam.

Islam adalah sistem yang sempurna dan paripurna. Tidak ada cacat atau cela dalam sistem ini karena berasal dari Zat yang Mahasempurna. Dalam menangani masalah kejahatan seksualitas, Islam memiliki tiga pilar, di antaranya:

Pertama, adanya ketakwaan individu. Setiap individu yang bertakwa akan senantiasa berusaha menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, sedapat mungkin ia akan berusaha untuk menjauhi tindak kejahatan seksual dalam bentuk apa pun, termasuk yang paling ringan. Hal ini karena Allah melarang aktivitas tersebut dalam Qur’an surat Al-Isra ayat 32, yang artinya:

“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbutan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

Di sini, batasan kejahatan seksual sangat jelas, yaitu tidak hanya melakukan aktivitas seksualitas di luar pernikahan, bahkan mendekatinya saja sudah termasuk kejahatan, entah itu disetujui atau tidak oleh korban.

Kedua, adanya kontrol masyarakat. Karena memiliki pandangan yang sama, yaitu Islam, maka masyarakat memiliki standar dan tolak ukur yang sama dalam perbuatan. Itu sebabnya, antara satu dengan yang lain akan saling menjaga dan mengingatkan jika ada yang melenceng dari ketentuan syariat, atau melaporkan pada pihak yang berwenang. Dari sini, akan tercipta suasana aman dan nyaman, terbebas dari segala macam kejahatan, termasuk kejahatan seksual.

Ketiga, negara memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual yang berfungsi untuk menebus dosa dan mencegah agar tidak terjadi kejahatan serupa. Untuk pelaku yang sudah menikah, negara mememberi hukuman dera seratus kali dan rajam. Bagi yang belum menikah, hukumannya adalah didera seratus kali dan pengasingan. Dengan begitu, semua orang merasa aman dan tenang karena terbebas dari segala macam kejahatan.

Wallahu a’lam bi ashshawab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :