Oleh: Risa Amalia
Mahasiswi di Depok
Tinta Media -- Belakangan ini ramai perkara 'consent' alias persetujuan korban. Kata-kata itu bagian dari pasal 5 Permendikbud yang baru saja disahkan. Permendikbud terlihat mengandung peraturan yang disebut 'nilai suka sama suka' karena mungkin ada satu atau dua orang yang ingin memperlihatkan 'alat kelaminnya’ kepada lawan jenis, atau berhasrat untuk 'membuka baju' dan melihat aurat 'wanita lain'. Maka, hal ini dianggap sebuah nilai 'The Last Satisfaction'.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini dikeluarkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim karena banyaknya laporan pelecehan seksual yang dilakukan pihak kampus/perguruan tinggi terhadap mahasiswinya.
Bagi perguruan tinggi yang tidak melaksanakan, dipastikan mendapatkan sanksi. Pemerintah memandang bahwa Permen ini sebagai langkah untuk menghadirkan rasa aman bagi seluruh civitas kampus di Indonesia. Padahal, perkara consent/persetujuan secara jelas berpotensi melegalkan dan mendorong perilaku seks bebas di kampus.
Jelas, consent menjadi penentu tindakan seksual yang dipandang sebagai ‘kekerasan seksual’. Artinya, selama dilakukan dengan consent, maka hubungan seksual dibenarkan karena hak warga negara.
Frasa itu tercantum sampai lima kali dalam Pasal 5 ayat (2); dalam poin (l) “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.”
Permen ini pun berpotensi melindungi perilaku seksual menyimpang seperti LGeBT. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum, kekerasan seksual meliputi: “Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.”
Maksud ‘identitas gender’ di sini bukan sekadar lelaki atau perempuan, tetapi bisa diartikan gay dan lesbian. Jadi, siapa pun di lingkungan kampus tidak boleh mengkritisi atau melarang kaum LGeBT karena masuk dalam ujaran kebencian dan diskriminatif sebagai kategori kekerasan seksual.
Satuan tugas yang diarahkan oleh Permen sebagai unit penanganan kekerasan seksual di kampus hanya mengarah pada kaum feminis dan liberalis sebagai penafsir tunggal penanganan kekerasan seksual di kampus.
Sebabnya, pada pasal 24 ayat (4) disebutkan bahwa "Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. pernah mendampingi korban kekerasan seksual; b. pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas; c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual ...."
Pasal ini berpeluang menutup pihak lain seperti kelompok Islam yang mempunyai pandangan berbeda dengan kalangan feminis dan liberalis untuk menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Beginilah gambaran praktik nyata kehidupan sekuler yang jauh dari agama, sampai dunia pendidikan pun dijadikan dunia menuju 'esek-esek' karena pemerintah tidak mau mengambil Islam sebagai standarnya, yakni halal dan haram.
Syariat Islam tidak melarang untuk melihat dan menampakkan alat kelamin di depan lawan jenis, tetapi halalkan dulu dengan akad pernikahan, bukan dengan 'nilai suka sama suka'.
Nilai suka sama suka yang dijadikan standar Permen ini sama saja dengan membuka jalan mendekati zina. Padahal, Allah Swt. mengharamkannya dengan tegas dalam Al-Qur’an surah al-Isra ayat 32 yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
Disahkannya Permen ini menjadi bukti kuat bahwa negara berlandaskan sekularisme-liberalisme. Padahal, nyata di depan mata kerusakan yang ditimbulkan dari paham liberalisme ini, seperti kian maraknya perzinaan, penularan penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS, hamil di luar nikah, aborsi, dan lainnya.
Jika Permen ini dibiarkan, maka status negeri ini menuju masyarakat yang bergelimang perbuatan keji (al-qaryah). Negeri sekuler dan full kapitalis, kian lama akan tak terkendali. Maka, dengan dakwah Islam, generasi muda dapat terselamatkan pemikirannya.
Namun, hanya dengan institusi Khilafah Islamiyah, kehormatan dan kemuliaan generasi muslim dapat terangkat. Maka, singkirkan sistem sekular-liberal dan terapkan syariah Islam secara kaffah, niscaya umat manusia akan terlindungi dan terjaga.[]