Oleh: Gus Uwik
(Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam)
Tinta Media -- KSAD Jenderal Dudung bicara keras tentang radikalisme. Dia mengatakan “Saya bilang kalau ada informasi-informasi saya akan berlakukan seperti zaman pak Soeharto dulu. Para Babinsa itu harus tahu, jarum jatuh pun dia harus tahu.”
Statement ini menyiratkan bahwa KSAD akan "mengembalikan" fungsi "intelijen" hingga level kampung untuk menyerap info. Atau bahasa lugasnya meminta para Babinsa "memata-matai" siapa saja yang di anggap terpapar radikalisme. Atau siapa saja yang bisa dilabeli "teroris".
Wajar jika kemudian ada tokoh yang menyatakan "Welcom Orde Baru." Masa dimana negara "memusuhi" rakyatnya. Negara akhirnya mengambil sikap memata-matai rakyatnya sendiri menggunakan instrumen aparat negara.
“Jadi kalau ada organisasi yang coba mengganggu persatuan dan kesatuan, jangan pikir banyak diskusi, jangan terlalu banyak berpikir tetapi lakukan,” tegasnya.
Menurutnya, TNI juga harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian jika menemukan tindakan semacam itu.
“Segera berkoordinasi dengan kepolisian untuk dilakukan tindakan-tindakan yang tegas. Itu merupakan bagian dari Tujuh perintah harian KSAD,” pungkasnya.
Pertanyaannya yang di maksud radikalisme itu siapa? Apakah umat Islam dan Ormasnya? Atau KKB tetoris Papua? Atau yang lain? Namun jika melihat konteks dan waktu penyampaian statement tersebut, bisa di baca narasinya akan menindak umat Islam dan ormasnya. Tidak untuk yang lain.
Kenapa? Sebagaimana yang disampaikan Kyai Anwar Abbas bahwa yang di tangkap karena terorisme dan radikalisme semua beragama Islam atau ormas Islam. Tidak ada dari agama lain. Walau fakta menjelaskan, ada pendeta yang menyuplai senjata untuk KKB teroris. Tidak disebut sebagai teroris.
KSAD justru memberikan statement berbeda kepada KKB teroris Papua. Jenderal Dudung mengatakan "Jangan sedikit pun berpikir untuk membunuh, kalian harus sayang masyarakat dan kalian harus tunjukkan rasa sayang kepada masyarakat Papua. Kamu harus baik pada masyarakat Papua, jangan menyakiti hati mereka," kata Jenderal Dudung di Timika, Papua, seperti dilansir Antara, Rabu (24/11/2021).
Sungguh logika dan narasi yang aneh. Kepada KKB teroris yang jelas-jelas melakukan makar, mengangkat senjata, memisahkan diri dari NKRI bahkan merusak fasilitas negara hingga membunuh aparat serta rakyat sipil tidak menyatakan sikap tegas. Sudah banyak prajurit hingga jenderal yang terbunuh. Namun tidak ada narasi memberlakukan mekanisme orde baru dan lebih keras lagi. Justru minta disayangi.
Namun berbeda 180° ketika berbicara tentang radikalisme (yang sepertinya dimaksud) adalah tokoh Islam dan ormasnya langsung bersikap curiga dan antipati. Langsung bicara keras akan memberlakukan model orde baru. Tidak banyak bicara, langsung bertindak, serunya.
Padahal yang senantiasa di tuduh radikal-radikul, tidak ada yang memanggul senjata. Merusak fasilitas negara atau membunuh rakyat sipil dan aparat militer/kepolisian. Namun narasinya begitu dahsyat. Perangi dan pakai metode orde baru. Apakah ini muncul dari kebenciannya pada tokoh dan ormas Islam? Atau karena beragama Islam?
Kepada KKB teroris Papua arahan Pak Jenderal minta agar di rangkul, jangan dianggap musuh bahkan di anggap saudara. Menurut KSAD, mereka begitu karena di anggap belum paham NKRI. Oleh karenanya minta jangan diperangi. Padahal tindakannya jelas sebagai makar.
Wajar jika Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan langsung mempertanyakan landasan hukum pernyataan tersebut. Mereka menyampaikan apa yang disampaikan Jenderal Dudung berpotensi menimbulkan represif dan pelanggaran HAM. Orde baru fakta yang masih terang dalam ingatan.
KSAD yang baru diangkat langsung membuat kegaduhan dan seperti menebar teror kebencian. Nampak standart ganda kepada mereka yang di tuduh radikal. Ini berpotensi menimbulkan keresahan. Saling curiga di antara masyarakat.
Kita jangan pernah lupa. Orde baru yang begitu jumawa dengan offer ekspose kekuatan via militer untuk menekan rakyat bisa terjungkal dan jatuh dengan begitu tragis dan menyakitkan. Apakah tidak menjadi pembelajaran dan hikmah yang nyata? Apakah ingin berakhir tragis seperti Orde Baru?