Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
Penulis dan Praktisi Pendidikan
Tinta Media -- Kasus positif Covid-19 mengalami peningkatan jumlah. Hal ini dilaporkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per tanggal 27 November 2021, yaitu terjadi kenaikan 404 kasus yang terkonfirmasi positif di Jakarta. Dengan begitu, di Indonesia kasus positif Covid-19 bertambah menjadi 4.255.672 orang (Republika.co.id, 27/11/2021).
Meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia tidak terlepas dari tanggung jawab pemangku kebijakan. Jika selama ini upaya telah dilakukan, tetapi belum juga membuahkan hasil yang diharapkan, lantas apakah yang salah dengan ini semua?
Tidak Cukup Andalkan 5 M
Gencarnya sosialisasi pencegahan Covid-19 dengan 5 M, yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas, ternyata tidak cukup. Upaya ini juga tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang justru dianggap bertele-tele.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menanggapi sikap pemerintah yang acap menggunakan istilah berbeda-beda saat menetapkan kebijakan terkait penanganan Covid-19. Faisal menilai bahwa pemerintah menggunakan istilah yang berbeda-beda, tetapi penerapannya sama, seperti istilah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PSBB transisi, dan micro lockdown. Yang membuat Faisal bertanya-tanya adalah, apakah penggunaan istilah yang gonta-ganti tersebut untuk menghindari bahaya berskala besar yang bertujuan menyelamatkan perekonomian negara?(Tempo.co, 2/3/2021).
Dari fakta di atas, ada indikasi bahwa pemerintah terlalu lamban dan belum cukup serius memberangus virus corona. Di sisi lain, pemberlakuan PPKM telah memberikan peluang bagi asing untuk masuk ke Indonesia dengan mudah.
Sistem Kapitalisme Gagal Atasi Covid-19
Jika saat ini Indonesia masih dilanda pilu dengan adanya virus yang tak kunjung pergi, seharusnya pemerintah bercermin diri dan segera mencari akar permasalahannya, bukan mempertahankan sistem yang justru menambah kepiluan di segala lini kehidupan.
Sistem kapitalisme memberikan peluang agar yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Apa pun bisa dijadikan bahan komoditi untuk diperjualbelikan. Misalnya pengadaan alat PCR yang terbilang tidak murah, yaitu berkisar Rp275.000. Penyediaan alat ini sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan kepada individu rakyat Indonesia. Juga berbagai sarana lain seperti vaksin, layanan kesehatan, dan sebagainya. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem kapitalisme gagal atasi Covid-19 karenajustru semakin meningkat kasusnya.
Sistem Islam Satu-satunya Harapan
Sistem Islam adalah sistem yang luar biasa. Sejarah emas telah mencatat kegemilangan sistem Islam dalam menyelesaikan banyak problematika umat, tak terkecuali penanganan virus.
Rasulullah saw. adalah suri tauladan terbaik yang telah memberi contoh bagaimana menangani virus menular. Dalam Syarah Riyadhush Shalihin Jilid V, dijelaskan bahwa penyakit tha'un adalah penyakit menular, di mana penyakit ini pernah dialami Rasulullah saw. Beliau mencontohkan ada tiga cara dalam mengatasinya,
Pertama, berdiam diri di rumah. Rasulullah memerintahkan umatnya pada saat diserang wabah penyakit menular agar berdiam diri di rumah. Hal ini untuk mencegah terjadinya penularan dan menularkan ke pihak luar, berdasarkan hadis berikut, yang artinya:
"Dari Siti Aisyah ra, ia berkata, 'Ia bertanya kepada Rasulullah saw. perihal tha'un, lalu Rasulullah saw. memberitahukanku, 'Zaman dulu tha'un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha'un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan rida ilahi seraya menyadari bahwa tha'un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid." (HR. Ahmad).
Kedua, melakukan lockdown, yaitu tidak mendatangi tempat atau wilayah terjadinya wabah dan tidak meninggalkan tempat atau wilayah terjadinya wabah. Sebagaimana hadis berikut, yang artinya:
"Dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah, Umar bin Khattab ra. menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.' Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh." (HR Bukhari dan Muslim).
Dan ketiga, mencari pengobatan dan mengharapkan rida Allah Swt. Setiap penyakit yang diturunkan Allah akan ada obat yang juga disediakan oleh-Nya, berdasar pada hadis berikut, yang artinya:
"Diceritakan Abu Huraira, Rasulullah saw. mengatakan, "Tidak ada penyakit yang Allah Swt. ciptakan, kecuali Allah Swt. telah menciptakan obatnya." (HR. Bukhari).
Selain itu, dilarang untuk berputus asa dan selalu berharap rida Allah sebagai bentuk keimanan bahwa yang mampu menghentikan wabah ini adalah Allah Swt. Pun adanya tanggung jawab besar yang diemban dan dijalankan oleh pemerintah, seperti menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan secara gratis karena sistem Islam menjamin dan memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat tanpa menyusahkan yang lain. Maka, sudah seyogyanya kita beralih dan meyakini bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya harapan kita untuk mengentaskan virus Covid-19 yang kini melanda negeri. Wallahu'alam bishawab.