Oleh: Reni Adelina
(Aktivis Muslimah)
Tinta Media -- Permasalahan nasib buruh dari tahun ke tahun menjadi sorotan publik. Rencana penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 menuai protes dari kalangan buruh. Berbagai federasi dan serikat buruh bersiap mogok kerja nasional yang akan digelar pada 6-8 Desember mendatang. Hal ini untuk merespons pernyataan pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang mengatakan bahwa upah pada 2022 hanya naik tipis sebesar 1,09%. Ida mengatakan penyesuaian upah minimum dengan mengacu turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja untuk mengatasi kesenjangan pengupahan antar daerah. Selain itu menurutnya, formulasi pengupahan dengan metode baku diharapkan dapat menjaga stabilitas iklim usaha dalam negeri (Bisniscom, 16/11/2021).
Pertimbangan UMP 2022
Berdasarkan penjelasan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, ada beberapa pertimbangan menaikan tipis upah minimum provinsi (UMP) 2022. Pertama, mempertimbangkan kebutuhan buruh. Kedua, pertimbangan kondisi dunia usaha yang saat ini masih tertekan pandemi Covid-19.
Jika pertimbangan pertama berdasarkan kebutuhan buruh, lantas apakah kenaikan 1,09% memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan para buruh? Melihat kenaikan inflasi dan harga kebutuhan rumah tangga yang semakin meroket, menjadi angan-angan kapan para buruh bisa sejahtera?
Lalu, jika pertimbangan kedua berdasarkan dunia usaha masih tertekan pandemi Covid-19, apakah yang terdampak pandemi hanya para pengusaha saja? Tidak heran, dengan pertimbangan seperti ini, banyak yang beranggapan bahwa kebijakan UMP 2022 tidak berpihak pada buruh. Padahal, yang terdampak pandemi bukan hanya pelaku usaha, tetapi mayoritas masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada pekerjaan.
Fakta seperti ini sangat menyedihkan, apalagi setelah realisasi UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, utamanya para buruh. Sebab, UU tersebut lebih memihak kepada para pengusaha dan merugikan para buruh.
Sebagai contoh, pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, kemudahan perusahaan melakukan PHK, penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa kondisi ini memang cukup berat bagi semua pihak. Bagi pengusaha sendiri, kenaikan upah menjadi beban karena serangan pandemi yang belum pulih. Sedangkan bagi buruh, besaran upah yang kecil cenderung menekan daya beli.
Dilansir dari Tirtoid, 19/11/2021, Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengatakan berdasarkan PP 36/2021, kenaikan UMP 2022 tertinggi adalah di DKI Jakarta menjadi sebesar Rp4.453.724 dari sebelumnya tahun 2021 (Rp4.416.186, 548).Artinya hanya naik sebesar Rp37.538. Sedangkan kenaikan terendah UMP 2022 adalah di Jawa Tengah menjadi sebesar Rp1.813.011 atau hanya naik sebesar Rp14.032 dibanding UMP 2021 (Rp1.798.979, 00).
Akar Permasalahan Pemberian Upah
Problem buruh yang mengakar seolah tak pernah kelar. Sebab, sejak awal penetapan upah minimum sudah keliru. Dalam sistem kapitalisme, upah buruh ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL). KHL adalah tolak ukur atau standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL inilah yang menjadi dasar penetapan upah minimum bagi buruh yang disesuaikan setiap tahun dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yaitu berjalan sesuai dengan tingkat inflasi nasional.
Dengan penetapan seperti ini, upah buruh tidak akan memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Boleh jadi pendapatan tinggi, tetapi pengeluaran juga tinggi karena harga barang dan jasa lebih mahal daripada wilayah yang taraf hidupnya rendah. Ya, beginilah alur pembayaran upah dalam sistem kapitalisme yang tidak berdasarkan perhitungan manfaat tenaga yang diberikan masyarakat. Dalam pandangan sistem bobrok kapitalisme, penetapan upah adalah berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu, sangat jauh dari kesejahteraan.
Sistem Upah dalam Islam
Syariat Islam mengatur dengan jelas akad ijarah antara pekerja dan pengusaha, baik besaran upah kerja, jenis pekerjaan, waktu pekerjaan merupakan akad berdasarkan keridaan dari kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa terpaksa dan rugi.
Islam menetapkan besaran upah buruh berdasarkan manfaat tenaga pekerja, bukan kebutuhan hidup paling minimum. Dalam hal kontrak kerja pun juga harus disepakati bersama baik masalah waktu, upah, tenaga, dan jenis pekerjaan. Semuanya transparan dan tidak kabur. Waktu bekerja juga harus jelas, bersifat harian, bulanan, atau tahunan. Tenaga yang diberikan pekerja juga harus ditetapkan agar pekerja tidak terbebani dengan pekerjaan di luar kapasitasnya.
"Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya" (HR Ad-Daruquthni). Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya" (HR Ibnu Majah dan ath-Thabarani).
Jika terjadi persilihan antara pekerja dan majikan terkait upah, maka didatangkan sebuah pakar untuk menentukan upah yang sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak atau negara juga ambil andil dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Islam akan memastikan bahwa setiap individu sejahtera dengan pembagian distribusi kekayaan secara adil dan merata ke seluruh masyarakat. Negara adalah institusi yang bertanggung jawab memastikan ijarah berjalan sesuai akad antara majikan dan pekerja.
Prinsip pengupahan dalam Islam tidak terlepas dari prinsip dasar ekonomi (muamalah) pada umumnya, yakni asas keadilan dan kesejahteraan. Namun jika dari hasil upah yang diperoleh pekerja belum mencukupi kebutuhan hidupnya, artinya pekerja terkategori fakir, maka berhak untuk mendapatkan zakat yang dikelola dengan baik oleh negara.
Dengan penerapan Islam secara kaffah, kesejahteraan buruh dapat terwujud. Tidakkah kita ingin berada pada sistem Islam dan mencampakkan sistem kapitalisme?
Wallahua'alam