Oleh: drh. Lailatus Sa'diyah
Tinta Media --Polemik salah data bansos terus berulang, ditambah realita penyaluran di lapangan sering kali tak berjalan mulus. Itulah potret bantuan sosial di Indonesia.
Mensos Tri Rismaharani mendapati ada 31.324 ASN yang berada di 34 provinsi menerima bantuan sosial dari pemerintah. Data tersebut menunjukkan sebagian besar ASN yang menerima bantuan adalah ASN aktif. Ada yang berprofesi sebagai dosen, tenaga medis dan lainnya.
Mensos mengatakan, seharusnya orang yang mendapatkan pendapatan rutin dari pemerintah tidak diperkenankan mendapat bansos. Mirisnya, salah satu penerima bansos tersebut ada yang tinggal di kawasan elit Jakarta.
Mensos menambahkan bahwasanya yang berhak mendapatkan bansos adalah warga miskin dan tidak mampu sesuai dengan kriteria penerima bantuan sosial, sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.05/2015.
Tidak Sesuai Realitas
Wawan Suyatmiko, Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) menyatakan bahwa permasalahan penyesuaian data kerap terjadi ketika pemberian bansos. Ketidakakuratan itu dikarenakan dua faktor.
Pertama, data tidak terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan di KTP. Kedua, kurang ada keseriuasan terkait proses verifikasi dan validasi data yang dilakukan negara. Belum lagi ada beberapa kasus yang mengarah pada praktik penyelewengan dana oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam menyalurkan bansos, Kemensos masih menggunkaan DTKS 2015 (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Namun, faktanya data tersebut tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Data yang ada masih harus disempurnakan melalui updating data lapangan. Hal ini bisa dilakukan mulai mendata ulang dari tataran RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, hingga Kabupaten.
Perlu sangat diperhatikan permasalahan yang kerap terjadi dalam basis data, yakni inklusion dan eksklusion error. Inklusion error adalah kesalahan akibat yang terdata bukan warga miskin. Sedangkan, Eklusion error merupakan kesalahan data berupa belum terdaftarnya warga miskin. Eklusion error di tengah krisis pandemi lebih berbahaya.
Bansos telah berulang kali disalurkan kepada masyarakat. Namun, hingga saat ini permasalahan terkait data masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena pemerintah memandang remeh dalam meriayah masyarakat yang membutuhkan.
Sejatinya, adanya kesalahan dalam penyaluran bansos sangat melukai hati rakyat. Mereka yang notabene mampu justru mendapatkan bantuan, sedangkan masih banyak rakyat tidak mampu berharap datangnya bantuan dari pemerintah.
Bukan untuk Kepentingan Rakyat
Fakta menunjukkan anggaran bansos dari pemerintah sangat terbatas, sedangkan calon penerima jauh lebih banyak. Hal ini dikarenakan pemerintah salah menentukan prioritas kebijakan. Pemerintah lebih fokus mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang tidak lebih urgent dibandingkan menyelamatkan hidup rakyat. Belum lagi SDA milik publik yang saat ini sebagaian besar dikelola oleh asing. Liberalisasi berbagai sektor kepemilikan umum terus menggurita, mengakibatkan pemasukan negara semakin kecil. Hal ini menambah deret panjang nilai merah pemerintah atas tanggung jawabnya kepada masyarakat. Padahal, jika SDA tersebut dikelola dengan baik oleh negara dan hasilnya dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat, bukan ilusi jika kesejahteraan akan terwujud.
Kesejahteraan rakyat tidak pernah terwujud akibat kesombongan manusia yang tidak mau menerapkan aturan Allah dan lebih memilih kapitalisme. Padahal, sistem pemerintahan Islam memiliki pengaturan yang sahih terkait permasalahan bansos.
Jaminan Sisten Islam
Sistem pemerintahan Islam dalam naungan khilafah memandang bansos adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara, bagaimanapun kondisinya, apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.
Negara berkewajiban memampukan kepala keluarga agar setiap individu yang ada di bawah perwaliannya terpenuhi kebutuhan pokoknya, baik itu sandang, pangan, papan. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan serta keamanan, negara sendiri yang wajib menjamin terpenuhinya.
Pemerintahan dalam Islam memosisikan dirinya sebagai pelayan rakyat dan penjamin kemanan rakyat dari segala marabahaya. Rasulullah saw. dalam hadisnya menyampaikan:
"Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu‘aim).
Sehingga kebijakan yang dikeluarkan pun akan sepenuhnya berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan kapitalisme, kebijakan yang dikeluarkan cenderung hanya menguntungkan para kapital, bahkan tidak perduli jika harus menjadikan rakyat sebagai tumbal keserakahan mereka.
Begitu pula orang-orang yang menjadi unjung tombak pelaksanaan program pemerintahan adalah orang-orang yang amanah dan takut kepada Allah Ta'ala, sehingga kecil potensi terjadi penyelewengan kebijakan, apalagi sampai tega mengambil hak rakyat.
Begitu menyejahterakan dan menentramkan ketika aturan Islam kaffah diterapkan. Dorongan ketaatan kepada Allah menjadikan setiap muslim bersikap baik kepada orang di sekelilingnya.
Terlepas dari kemanfaatan yang akan kita dapatkan, sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita kembali kepada penerapan aturan Sang Khalik, sebagai konsekuensi keimanan. Penerapan Islam secara menyeluruh hanya bisa terwujud di bawah nangungan Khilafah Rasyidah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqoroh (208) :
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."