Ziswaf: Bentuk Ketaatan kepada Allah, Bukan Penguasa
Tinta Media - Bulan Ramadan adalah bulan penuh keutamaan. Salah satunya adalah dilipatgandakan pahala. Oleh karena itu, setiap umat Islam berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan dengan mengharap rida dari Allah Swt. Umat mempersembahkan amal terbaik mereka dengan berbagi kepada sesama, misalnya dengan zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf).
Momen inilah yang membuat Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengajak dan mendorong masyarakat terutama kalangan ASN dan non-ASN untuk mengeluarkan ziswaf. Beliau yakin bahwa ziswaf punya potensi besar dan menjadi sumber daya besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Hal ini disampaikan saat sosialisasi Instruksi Bupati Bandung 2/2024 tentang optimalisasi zakat, infak dan sedekah profesi ASN dan non-ASN di lingkungan Pemkab Bandung, melalui Badan Amil Zakat (Baznas) di Gedung Korpri, Senin (18/03/2024). Beliau juga mengungkapkan bahwa saat ini rendahnya kesadaran masyarakat untuk zakat dan pengelolaan zakat yang belum optimal menjadi kendala.
Tingginya ruhiyah umat Islam di bulan Ramadan tentu menjadi momen tepat untuk meluncurkan program ziswaf ini. Namun, jangan sampai antusiasme umat untuk memaksimalkan ketaatan di bulan suci ini malah dimanfaatkan oleh penguasa. Khawatirnya, dorongan ziswaf kepada masyarakat terkhusus ASN dan Non-ASN menjadikan pemerintah berleha-leha dan abai terhadap kewajibannya untuk menyejahterakan umat. Ini karena sesungguhnya yang harus menanggung beban kesulitan masyarakat yang tidak mampu adalah tugas negara atau penguasa, bukan ASN dan non-ASN.
Negara tidak boleh mengandalkan zisfaw dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Apalagi, faktanya sebagian besar masyarakat negeri ini berada dalam garis kemiskinan. Bukan karena rendahnya kesadaran mereka untuk berzakat dan sedekah, tetapi karena impitan ekonomi yang membuat sebagian masyarakat muslim tidak mampu mengeluarkan zakat dan sedekah. Jangankan untuk membayar zakat dan sedekah, untuk mengisi perut pun susahnya setengah mati.
Mirisnya, permasalahan kemiskinan ini terus berlarut-larut dan merembet ke mana-mana tanpa ada solusi pasti dari penguasa. Seharusnya negara mampu menyejahterakan umat dengan hasil kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, bukan hanya mengandalkan ziswaf dari masyarakat.
Sayangnya, sistem demokrasi kapitalisme yang diemban negeri ini membuat negara menyerahkan pengelolaan SDA ke tangan asing dan aseng, sehingga tidak mampu membiayai kebutuhan rakyat. Alih-alih membuat program ziswaf untuk menyejahterakan rakyat, padahal rencana ini sarat akan asas manfaat, bukan untuk kemaslahatan bersama.
Jika negara benar-benar peduli terhadap rakyat, harusnya melakukan pengelolaan maksimal terhadap SDA secara mandiri sehingga lapangan kerja terbuka lebar untuk rakyat. Alhasil, tidak akan ada rakyat yang kesulitan untuk mengeluarkan zakat dan sedekahnya.
Inilah bukti ketika sistem demokrasi kapitalisme dijadikan landasan untuk mengelola suatu negara. Maka, yang terjadi dalam sistem ini adalah tidak adanya keseriusan negara atau penguasa dalam meriayah (mengurusi) rakyat. Penguasa memilih para pemilik modal yang jelas-jelas memberikan keuntungan materi secara langsung.
Penguasa membiarkan masyarakat berjuang sendiri menghadapi kesulitan, karena mereka hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Jadi, sampai kapan pun kesejahteraan rakyat hanya sebatas angan-angan saja, jika sistem ini masih bercokol di negeri ini.
Selain itu, mengenai pengelolaan zakat yang belum optimal, pemerintah harus segera berbenah. Ini karena pengelolaan zakat harus betul-betul dilakukan dengan amanah, tepat sasaran, dan transparan, tanpa meninggalkan celah tindak korupsi, agar kesejahteraan masyarakat bisa terwujud. Tentunya dengan mengambil aturan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Berbeda dengan sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyat, termasuk mengatur masalah ziswaf. Masyarakat yang hidup dalam Daulah Islam tentu paham betul dengan perintah dan larangan Allah Swt. Salah satunya dalam hal membayar zakat dan bersedekah. Masyarakat akan memiliki kesadaran penuh bahwa dengan mengeluarkan zakat bagi yang mampu tidak akan membuat harta berkurang, justru akan membawa keberkahan bagi si pemberi dan penerimanya.
Allah Swt. berfirman yang artinya,
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebulir yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa pun yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (TQS. Al Baqarah 2: 261)
Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu lagi didorong untuk beramal saleh, karena penerapan syariat Islam secara kaffah membuat setiap umat Islam dengan penuh keikhlasan menyisihkan sebagian harta untuk membantu saudara yang tidak mampu sebagai bentuk ketaatan dan mengharap rida Allah Swt. bukan karena keterpaksaan atas dorongan penguasa.
Apalagi pada bulan Ramadan, seluruh umat Islam berlomba-lomba dan melakukan kebaikan, memberikan amal terbaiknya untuk berbagi kepada sesama, seperti zakat, infak, dan sedekah. Oleh sebab itu, agar pengelolaan zakat ini bisa optimal, maka harus dikelola oleh negara agar tepat sasaran dan merata, sehingga bisa meringankan kesulitan masyarakat yang tidak mampu.
Tentunya pengelolaan zakat ini harus sesuai hukum syara', tidak boleh dilakukan asal-asalan karena zakat adalah amanah yang harus dilakukan secara transparan, tidak boleh ada manipulasi data demi meraup keuntungan, seperti dalam sistem kapitalisme.
Dalam Islam, zakat dikumpulkan di baitul mal, termasuk juga hasil SDA, ghanimah, dan jizyah yang dipungut dari kafir zimmi. Seluruh pendapatan negara digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Proses pengelolaan zakat pun harus dilakukan dengan cara yang sigap dan disiplin, seperti yang Rasulullah contohkan, tidak pernah menunda penyaluran zakat. Misalnya, setiap kali zakat diterima pagi, maka sebelum siang sudah disalurkan kepada masyarakat. Jika zakat diterima siang hari, maka sebelum malam sudah disalurkan. Tidak ada zakat yang tersisa dan dilakukan secara transparan.
Begitu pula amil yang diberi tugas harus amanah, jujur, dan akuntabel. Maka, hanya dalam Islam, pengelolaan zakat bisa dilakukan dengan optimal sehingga perekonomian negara menjadi stabil, kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin bisa teratasi.
Maka dari itu, negara harus menerapkan sistem Islam sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat. Saatnya kita kubur sistem demokrasi kapitalisme yang menyengsarakan rakyat dan menggantinya dengan sistem sahih, yaitu Islam.
Wallahualam.
Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media