Waspada, Kemiskinan Ekstrem Semakin Mengancam Generasi!
Tinta Media - Kemiskinan ekstrem, atau kemiskinan absolut tengah melanda dunia. Merujuk pada definisi yang dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemiskinan ekstrem adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia, seperti makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan informasi. Kondisi (kemiskinan) ini tidak hanya bergantung pada pendapatan, tetapi pada ketersediaan jasa. Kondisi ini juga berdampak pada kehidupan generasi yang ada.
Setidaknya, terdapat 1,4 miliar anak di seluruh dunia yang saat ini tidak memiliki akses pelindungan sosial apa pun. Mengutip dari laman kumparan.com (15/02/24), ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun berdasarkan data dari lembaga PBB dan badan amal Inggris Save the Children.
“Secara global, terdapat 333 juta adan yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi,” kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi, dikutip dari Antara, Kamis (15/2).
Tak adanya akses perlinsos ini menyebabkan anak-anak rentan terkena penyakit, gizi buruk, dan terpapar kemiskinan.
Kemiskinan ekstrem yang melanda dunia, termasuk Indonesia merupakan satu dari sekian banyak masalah yang menghantam umat saat ini. Pemerintah Indonesia sendiri memperkirakan di penghujung masa pemerintahan Presiden Jokowi, yakni tahun 2024 ini, bisa terjadi lonjakan kemiskinan secara drastis. Hal ini dikarenakan basis perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global berbeda dengan yang digunakan pemerintah selama ini.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan bahwa selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal, secara global sudah US$ 2,15 PPP per hari.
Suharso menjelaskan bahwa dengan basis perhitungan itu saja pemerintah harus mengentaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai nol persen pada 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya.
Sementara itu, bila basis perhitungan orang yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem dengan perhitungan secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya. Dikutip dari cnbcindonesia.com (15/07/23)
Fakta di atas menjadi bukti bahwa negara saat ini telah gagal menjamin kesejahteraan masyarakat dan generasi. Padahal, negara ini adalah negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA), tetapi sayangnya potensi SDA yang ada tidak mampu menyejahterakan rakyat akibat salahnya sistem aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, umat butuh solusi tepat untuk keluar dari kemiskinan sistemik ini.
Akibat Penerapan Ekonomi Liberal
Kemiskinan ekstrem yang masih menjadi problem dunia menandakan adanya persoalan sistemik yang sedang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Kemiskinan yang disebabkan permasalahan ekonomi hanya masalah cabang. Adapun yang menjadi akar masalah dari seluruh problematika umat saat ini adalah akibat digunakannya sistem kapitalisme yang berdiri di atas asas sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Manusia merasa bebas membuat aturannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Kemiskinan yang ada saat ini merupakan hasil penerapan ekonomi liberal, yang memberikan kebebasan bagi para pemilik modal untuk menguasai kekayaan SDA. Harta yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, saat ini justru masuk ke dalam kantong para oligarki. Adanya keberpihakan negara sebagai pembuat aturan kepada para kapitalis merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem ini. Negara dalam kapitalisme hanya menjadi regulator demi kepentingan pemilik modal.
Sistem ini juga menjadikan negara mengabaikan peran dan kewajibannya terhadap rakyat. Tiadanya jaminan kebutuhan dasar menjadikan hidup masyarakat dan generasi semakin sulit. Alhasil, masyarakat dan generasi saat ini mengalami problematika kehidupan yang begitu kompleks, termasuk dengan adanya masalah kemiskinan ekstrem. Dampaknya, anak akan mengalami banyak problem kehidupan yang akan berpengaruh pada nasib dunia pada masa yang akan datang. Ditambah lagi, perlindungan sosial negara hari ini ibarat tambal sulam ala sistem ekonomi kapitalisme, yang tak akan membuat generasi sejahtera.
Lihatlah, banyak terjadi pengangguran, kemiskinan, generasi bergizi buruk, biaya pendidikan, dan layanan kesehatan yang mahal! Akibatnya, tingkat kriminalitas pun meningkat. Hal ini menjadi bukti bahwa negara telah gagal menjamin kesejahteraan rakyat.
Islam Menjamin Kesejahteraan Umat
Islam bukan hanya sekadar agama ruhiyah semata, melainkan juga sebagai sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan segala permasalahan generasi, termasuk kemiskinan ekstrem yang mengancam. Islam memiliki sistem kehidupan praktis yang dapat diterapkan dalam sebuah institusi negara yang bernama Khilafah. Khilafah akan memberikan jaminan kesejahteraan pada rakyat, termasuk dalam sistem ekonomi.
Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan kehidupan dengan agama, Islam justru menjadikan hukum-hukum Allah sebagai sumber hukum dalam membuat aturan di setiap aspek kehidupan. Dalam sistem ekonominya, Khilafah akan menggunakan sistem ekonomi Islam, menerapkan konsep kepemilikan sesuai syariat, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Dalam Islam, individu tidak boleh menguasai harta kepemilikan negara (seperti usyur, jizyah, kharaj, ghanimah, dan sejenisnya) dan kepemilikan umum (misalnya SDA).
Tak ada istilah privatisasi SDA, ataupun penguasaan SDA oleh individu atau korporasi sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekular. Ini karena kaum muslim diperbolehkan berserikat dalam tiga hal, sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad,
"kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api."
Negara akan mengelola SDA secara mandiri yang hasilnya akan dimasukkan ke dalam pos kepemilikan umum di baitul mal. Pos tersebut diperuntukkan bagi kepentingan rakyat, misalnya membangun infrastruktur, menjamin layanan kesehatan, dan pendidikan sehingga rakyat bisa menikmatinya secara cuma-cuma.
Selain itu, pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara juga memungkinkan tersedianya lapangan pekerjaan bagi para laki-laki, sehingga tak ada istilah pengangguran yang disebabkan tidak ada lapangan pekerjaan.
Begitu pun sebaliknya, negara Khilafah tidak boleh melarang individu mengembangkan hartanya. Individu dibolehkan melakukan berbagai bisnis, baik di bidang pertanian, peternakan, maupun di bidang ekonomi yang dibutuhkan masyarakat. Khilafah juga akan menggunakan mata uang dinar-dirham yang distandarkan pada emas. Ini yang akan menjadikan mata uang dalam Khilafah tetap stabil.
Adanya kemandirian negara Khilafah dalam sistem ekonomi akan membuatnya kuat berdiri sendiri tanpa perlu mengekor pada kebijakan ekonomi negara mana pun di luar Khilafah. Mekanisme inilah yang membuat ekonomi dalam Islam kuat terhadap potensi krisis.
Dengan begitu, Khilafah juga akan menjamin kebutuhan dasar masyarakat dengan sebaik-baiknya karena Khalifah berfungsi sebagai pengurus seluruh urusan umat (ri'ayah suunil ummah).
Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang artinya:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al Bukhari)
Oleh karenanya, negara Khilafah wajib bertanggung jawab mengurus seluruh urusan umat. Di antaranya, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang mudah diakses, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya. Dengan begitu, masyarakat dan generasi akan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.
Demikianlah mekanisme Khilafah dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan ekstrem yang mengintai generasi. Namun, itu semua hanya akan terealisasikan ketika syariat Islam diterapkan dalam bingkai negara Khilafah Islamiyah. Oleh karenanya, memperjuangkan penegakannya adalah sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)