Tinta Media: wajah
Tampilkan postingan dengan label wajah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wajah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 September 2024

Wajah Asli Demokrasi



Tinta Media - Masyarakat Indonesia selalu disuguhi berbagai fenomena demokrasi yang mengecewakan dan membuat patah hati. Meski sebetulnya kesalahan dan kejahatan sudah ada sejak dahulu kala, tetapi gempuran rayap yang kian memperlihatkan sisi rapuhnya kayu mulai terlihat jelas sehingga masyarakat lebih mudah mengindra.  

Belum lama ini, masyarakat Indonesia menyaksikan pelanggaran pemerintah terhadap apa yang dianutnya, yakni demokrasi. Polemik tersebut membuat masyarakat geram dan melakukan protes dengan demo yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, bahkan oleh siswa menengah di beberapa wilayah Indonesia. Unjuk rasa dilakukan di gedung DPR sebagai bentuk protes dan mengingatkan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara.

Tagar #PeringatanDarurat menjadi trending topik awal bulan ini dalam menyikapi pelanggaran negara mengenai RUU Pilkada. Protes dan nasihat untuk pemerintah dilakukan di berbagai media sosial, selain unjuk rasa di lapangan. Tidak hanya sekali, unjuk rasa selalu berujung bentrok dengan aparat keamanan di lokasi. 

Pemerintah mengerahkan gabungan TNI-Polri di lokasi unjuk rasa. Terlapor, satu mahasiswa terancam kehilangan penglihatan akibat serangan gas air mata yang dilakukan oleh aparat guna meredam keributan di lokasi. 

Kasus gas air mata ini pernah menggemparkan dunia, terkhusus Indonesia di lapangan sepak bola yang menyebabkan kehilangan nyawa. Serangan yang dilakukan oleh sebagian oknum tidak seharusnya dibalas dengan serangan membahayakan oleh aparat yang berdampak kepada banyak orang. 

Hal demikian membuktikan bahwa sebetulnya demokrasi tidak memberikan ruang kepada rakyat untuk memberikan saran dan kritik atau bisa disebut ‘antikritik’. Selain itu, setelah kejadian unjuk rasa, dilaporkan ratusan mahasiswa hilang atau tidak pulang, alias ditangkap oleh aparat. Ini semakin membuktikan bahwa demokrasi tidak mau dikritik oleh siapa pun, dan barang siapa yang tidak sependapat dengan demokrasi maka akan dihilangkan. 

Padahal, demokrasi memperkenalkan diri dengan sangat elegan, yakni ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Tentu semua mengenal hal itu saat pendidikan di bangku sekolah dasar. Kita tidak pernah dijelaskan mengenai filosofi atau asasnya. Tidak dijelaskan pula bahwa para kapitalis dan oligarki juga termasuk rakyat. Hanya saja, rakyat jelata tidak memiliki uang, kekayaan, dan kekuasaan. Inilah wajah asli demokrasi.

Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kita bedah, satu prinsip ini sudah salah. Rakyat memiliki keterbatasan dalam hal akal. Masing-masing rakyat memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga setiap berganti kepemimpinan, akan lahir hukum yang baru alias tidak paten. Hukum akan dibuat sesuai dengan kepentingan masing-masing, tidak ada batasan dalam hal ini. Sementara itu, akal manusia  terbatas dan harus ada sesuatu di atas akal untuk membatasi segala risiko kerusakan akibat kebebasan akal. 

Demokrasi tidak sering memperkenalkan asasnya, yakni ‘vox populi, vox dei’ yang artinya ‘suara rakyat, suara Tuhan’. Asas ini tidaklah berbeda jauh dari arti demokrasi itu sendiri yang sering kita dengar, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Secara logika dan fitrah, asas ini bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia. Bagaimana manusia bisa disandingkan dengan Tuhan? Asas ini pula yang melahirkan sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan. 

Tuhan adalah Zat yang tidak bisa disandingkan dengan manusia. Secara fitrah, manusia membutuhkan Zat yang lebih tinggi darinya sebagai sandaran hidup. Sekuler ini menjadikan agama hanya sebagai ritual peribadatan semata, dan Tuhan seakan tidak hadir dalam kehidupan di luar ritual ibadah. Sejatinya, manusia tidak bisa dipisahkan dari agama dalam segala hal. 

Dalam demokrasi, sering kali kita mendengar ‘voting’. Namun, tahukah Anda esensi dari kata tersebut? Esensinya, penetapan hukum didasarkan pada voting atau pemilihan suara terbanyak, bukan yang paling benar. Bagaimana seseorang memilih pilot untuk mengemudikan pesawat berdasarkan banyaknya pilihan, bukan berdasarkan keahlian? Akankan pesawat terbang itu aman dan bisa sampai tujuan? Tidakkah kita berpikir bahwa pesawat akan jatuh? 

Dalam voting pula, apabila 99 orang dari 100 orang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan sedangkan hanya 1 orang yang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah lelaki, maka disimpulkan bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan. Sungguh hal ini tidak masuk akal. Inilah yang tidak dijelaskan dalam demokrasi bahwa kekeliruan dalam setiap aspek tidak dapat diterima oleh logika dan akal sehat. 

Maka wajar, jika demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme. Pada praktiknya, penerapan demokrasi-sekularisme telah mengabaikan hak-hak rakyat dan menggantinya dengan kepentingan korporasi. Oleh karena itu, voting dalam demokrasi merupakan hasil seting yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha atas nama oligarki.

Islam menempatkan syariat di atas akal. Kedaulatan berada di tangan syariat. Hanya Allah yang berhak menentukan hukum. Hukum bukan bersandarkan berdasarkan voting, melainkan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Allah adalah Zat yang jauh lebih tinggi dari manusia, yang tidak memiliki batas seperti manusia. Ilmu Allah meliputi segala hal yang ada di bumi, di langit, dan di antara keduanya. 

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat at-Talak ayat 12, yang artinya: 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” 

Sistem Islam memiliki satu mekanisme yang dapat digunakan sebagai solusi atas pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yakni muhasabah lil hukam untuk menjaga agar pemerintah atau negara tetap berada pada syariat Allah. 

Selain itu, ada lembaga yang disebut Majelis Ummah dan Qadli Mazalim. Kedua lembaga ini memiliki fungsi, salah satunya adalah mengawasi jalannya pemerintahan dengan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tolok ukurnya. Apakah pemerintahan berjalan sesuai syariat Allah, atau mulai menyimpang, maka kedua lembaga ini berkewajiban menasihati pemimpin supaya segera kembali kepada syariat Allah. 

Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban dari Allah untuk setiap individu, baik untuk dirinya sendiri, kelompok, masyarakat, ataupun negara. Sebuah sistem yang tidak memiliki batasan dan menjadikan akal sebagai pembuat hukum, maka akan berujung pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan demi mewujudkan hukum yang dibuat sendiri untuk kepentingan diri dan golongannya. 

Sedangkan Islam tidak menempatkan akal sebagai pembuat hukum, sehingga syariat Allah adalah hukum paten yang tidak dapat diubah sesuai dengan kepentingan manusia. Sudah saatnya manusia kembali kepada fitrahnya, yakni diatur oleh Pencipta manusia, bukan diatur oleh hukum buatan manusia.



Oleh: Syiria Sholikhah
Mahasiswi Universitas Indonesia

Kamis, 15 Februari 2024

Wajah Asli dari Konsep Ilusi



Tinta Media - Film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" menghebohkan masyarakat Indonesia. Pasalnya, Film ini berisi data, analisis, bedah, dan kritik terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024. Film besutan sutradara Dandhy Dwi Laksono berdurasi 117 menit ini, sudah ditonton hampir lima juta orang di Youtube pada sehari pertama perilisannya. 

Dalam film ini, dikritik masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Mulai dari soal penyalahgunaan kekuasaan, mobilisasi birokrasi hingga manipulasi politik yang tampaknya telah dianggap sebagai hal lumrah. Tiga pakar hukum tata Negara ditampilkan, masing-masing Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas dan Dr. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dengan harapan meningkatkan kesadaran publik serta demi adanya perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan. 

Ketiga pakar ini menyoroti banyak persoalan, di antaranya data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu yang semakin meningkat. Muncul kecurigaan dana desa tidak digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu. Hal ini juga menimbulkan dugaan penyalahgunaan bantuan sosial dengan menjadikannya sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan. Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal yang dilakukan kepala desa untuk menuntut revisi UU Desa agar anggaran desa ditingkatkan. Persoalan ini pun dinilai sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok. 

Masih soal menggunakan harta milik negara, selain banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik, banyak di antara para pejabat itu yang terindikasi kuat menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Contohnya penggunaan pesawat militer dan mobil dinas untuk keperluan kampanye Pemilu. Padahal dalam Undang-Undang, pejabat negara tidak boleh ikut menjadi tim kampanye politik kecuali terlebih dahulu mengambil cuti serta sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas negara. 

Selain itu, penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana yang mendukung anaknya sebagai cawapres. Rendahnya independensi lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga disoroti. Lembaga ini sering dianggap hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan tidak bersikap netral serta independen. Dalam hal verifikasi partai politik tertentu misalnya, ada partai yang tidak memenuhi syarat namun tetap diloloskan menjadi peserta Pemilu. Termasuk soal penanganan pelanggaran kampanye yang marak terjadi. 

Independensi MK yang notabene berperan sebagai pengawal demokrasi juga menjadi sorotan. Bagaimana tidak, Ketua MK, Anwar Usman dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon Presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai cawapres. Selain itu, ada dugaan transaksi politik di balik putusan MK ini. 

Semua hal yang disajikan dalam Film Dirty Vote sebenarnya tidak ada yang baru atau mengejutkan. Bagi mereka yang sudah malang melintang dalam mengamati perpolitikan, terutama yang hidup pada masa orde baru, praktik menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok bukan sesuatu yang asing. Pada masa rezim Suharto, usaha melanggengkan kekuasaan ditempuh dengan cara dibuatnya aturan berisi kewajiban setiap pegawai negeri memilih partai penguasa di setiap Pemilu dan penggunaan strategi dwifungsi ABRI. Selain mengurus keamanan dan pertahanan, seluruh jabatan elite dalam politik diisi petinggi ABRI, sehingga mereka loyal kepada Presiden. 

Sebenarnya, apa pun jenis sistem demokrasi yang diterapkan sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi, substansinya tetap sama yakni kedaulatan di tangan manusia yang menjadi pilar dasarnya. Sistem ini tegak atas asas sekularisme (memisahkan agama dari mengatur urusan bermasyarakat dan bernegara). Manusialah yang diberi hak membuat aturan. Satu macam aturan Islam saja jika ingin diterapkan, demokrasi memberi syarat harus ikut dan menang voting dulu, dan itu prosesnya sangat lama. Padahal masih banyak syariat lainnya. Sikap seorang hamba seharusnya sami’na wa ato’na (dengar dan taat) pada perintah menerapkan syariat, bukan malah memberi syarat. 

Jika dalam demokrasi aturan bisa dibuat sesuai selera manusia (elite politik) lewat DPR atau MK, dalam sistem Islam, Khalifah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Khalifah atau pejabat yang melakukan KKN disiapkan hukuman penjara dalam waktu yang sangat lama hingga hukuman potong tangan dan kaki secara bersilangan dan bisa sampai hukuman mati. Berbeda dengan demokrasi, bukan rakyat yang memberhentikan Khalifah dalam sistem Islam. Khalifah akan diberhentikan oleh Qadhi Madzalim jika Khalifah melanggar syariat. 

Ada tiga pilar agar sistem Islam tetap tegak. Pertama, individu-individu muslim yang bertaqwa maupun non-muslim yang taat aturan Negara. Kedua, adanya kelompok yang melakukan kontrol atau amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, Negara yang menerapkan syariat/hukum Islam. Adapun demokrasi, tidak memberi kesempatan untuk penerapan syariat Islam yang bersifat komunal, hanya membolehkan (bahkan seharusnya mewajibkan) sebagian penerapan pada kewajiban individual seperti shalat, haji atau puasa. Akibatnya lahirlah masyarakat yang perasaan, peraturan dan pemikirannya tidak sesuai Islam. Sehingga merekapun dipimpin oleh pemimpin yang tidak bertaqwa dengan ketaqwaan hakiki. 

Oleh karena itu, isi Film Dirty Vote sesungguhnya hanya menunjukkan wajah demokrasi sebenarnya. Pragmatisme sudah menjadi bagian (built in) dari sistem ini. Keuntungan material jadi target utama tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Karakter asli demokrasi adalah sekuler, yakni memisahkan agama dari urusan bernegara. Kedaulatan yang seharusnya di tangan Syara’ (hukum-hukum Allah), dalam demokrasi diserahkan kepada rakyat. Walaupun pada faktanya, yang berdaulat adalah segelintir elite partai politik yang juga tunduk pada kapitalis/oligarki (pemilik modal). Ketergantungan mereka pada kapitalis disebabkan besarnya biaya politik yang dibutuhkan untuk menjabat dalam sistem demokrasi. Akibatnya lahirlah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Kebijakan dibuat hanya didasarkan kepentingan para pemilik modal dan demi mempertahankan jabatan semata.  Hal ini seharusnya membuat kita sadar bahwa persoalan-persoalan yang terjadi, bukan disebabkan oleh pelaksanaan demokrasi yang keliru, melainkan karena konsep demokrasi sesungguhnya memang hanya ilusi belaka. []


Oleh: Sujarwadi Suaib, S.H.I 
(Ketua LBH Pelita Umat Korwil Kepton) 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab