Tips Agar Dakwah Aman dari Jeratan Hukum
Tinta Media - Penerapan sistem demokrasi kapitalis sekuler telah membuahkan berbagai problem yang menimpa umat Islam. Sejatinya solusi dari berbagai problem itu ada pada dien yang mereka peluk. Tapi karena tidak ada dakwah efektif, menyebabkan sebagian besar kaum Muslim tidak faham bahwa solusi berbagai persoalan yang terjadi ada pada agama mereka.
Disinilah urgensi dakwah di tengah umat untuk membangkitkan kesadaran umat agar umat memahami bahwa agama mereka, agama yang paripurna, agama yang mampu menyelesaikan setiap problem manusia. Serta mendorong umat untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam.
Di sisi lain dakwah yang kita lakukan seringkali berhadapan dengan aturan negara semisal UU ITE yang tak jarang menjerat para pengemban dakwah berurusan dengan masalah hukum.
Penting bagi para pengemban dakwah baik dakwah melalui tulisan, atau video mengetahui cara bagaimana mengemas konten dakwah agar aman dari jeratan hukum.
Terkait dengan jeratan hukum, Undang-undang ITE yang sering digunakan untuk menjerat hukum adalah pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 1 terkait berita hoax, dan pasal 28 ayat 2 terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Bagaimana agar kita aman dari jeratan pasal 27 ayat 3 terkait dengan penghinaan dan atau pencemaran nama baik? Saat kita ingin mengkritisi sistem demokrasi yang melahirkan pemimpin korup misalnya, maka kritisi tindakannya. Jangan mengkritisi individu atau icon individu tersebut sebagai pejabat pemerintah. Jika kita mengkritisi individu atau icon jabatan dia apalagi menyebut nama dan melampirkan foto atau videonya, ini berpotensi terjerat UU ITE.
Termasuk dalam hal ini adalah mempersonifikasi foto seseorang dengan sesuatu yang buruk, misal menyebut seseorang disandingkan dengan binatang yang menampilkan kesan merendahkan.
Kemudian Pasal 28 ayat 1 terkait berita hoax. Berita hoax ini intinya tidak terjadi, tapi seolah-olah terjadi. Misal saat terjadi ledakan bom, kemudian kita katakan bahwa itu rekayasa, tanpa kita menghadirkan bukti bahwa itu rekayasa. Bahkan kita tidak tahu fakta sebenarnya. Ini akan menjadi problem. Bisa jadi perkataan ‘rekayasa’ itu akan menyeret kita dituduh sebagai pelaku atau bagian dari pelaku. Oleh karena itu wajib hati-hati dalam mengungkapkan kalimat, menulis kalimat dan melakukan analisis.
Pasal 28 ayat 2, tentang ujaran kebenciaan berdasarkan SARA. Kata kuncinya ujaran kebencian. Apa batasannya? Tidak ada batasannya. Yang tercakup dalam ujaran kebencian adalah menghina, menuduh, menghasud, memfitnah, menjelek-njelekkan. Misal perkataan yang ditujukan pada seseorang dengan mengatakan ‘dasar bodoh, dungu’ dan sebagainya.
Bagaimana kalau kita membedah ajaran Islam tapi kalau dibedah akan ada ketersinggungan dengan agama lain. Maka cara yang paling aman adalah menyampaikan dalilnya terdapat dalam al-Qur’an surat berapa, ayat berapa, lalu sebutkan bunyinya dan sertakan tafsir dari para ulama yang kredibel terkait ayat tersebut. Hal yang sama berlaku untuk hadits.
Hal lain yang tak kalah pentingnya meski tidak terkait dengan UU ITE adalah saat menyampaikan pesan dakwah baik lisan, tulisan atau video kita harus memposisikan diri sebagai penyampai konten sekaligus sebagai pendengar, pembaca atau pemirsa. Saat kita memposisikan sebagai pembaca atau pendengar akan bisa menilai tulisan atau ucapan kita apakah sudah menggunakan kata-kata yang tepat atau tidak. Dengan begitu kita akan mudah mengedit konten dakwah yang kurang tepat dalam pengungkapannya.
Bagi yang suka dakwah melalui tulisan, jangan tergesa-gesa dalam menyiapkan konten tulisan hingga tidak sempat mengecek ulang apa yang kita tulis. Sebaiknya endapkan dulu beberapa saat, baru dibaca ulang, serta mengedit yang diperlukan. Ketergesa-gesaan mengirim tulisan dengan harapan segera dimuat seringkali menyebabkan banyak kesalahan, baik konten, pemilihan diksi atau cara penulisan yang benar. Sehingga bisa jadi ini yang membuat tulisan kita justru tidak layak publish.
Hindari menulis ketika sedang dalam keadaan marah atau galau. Karena menulis dalam keadaan emosi membuat conten tulisan menjadi tidak rasional dan menimbulkan problem yang bisa jadi membuat kita berurusan dengan hukum.
Dalam menulis gunakan diksi atau pilihan kata yang tidak menghina, tidak mengejek, tidak menyudutkan, tidak memprovokasi, tidak mengajak kepada kemaksiatan atau kejahatan. Pemilihan diksi yang buruk bukan hanya memungkinkan terkena kasus hukum tetapi syariah juga melarangnya.
Wallahu a’lam bi showab.
Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media