Tinta Media: tidak
Tampilkan postingan dengan label tidak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tidak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Februari 2024

Tak Cukup Hanya Golput



Tinta Media - Pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024 menyisakan euforia dan disforia bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Euforia bila calonnya menang, sebaliknya disforia jika ternyata calonnya kalah. Hasilnya? Terjadilah pergantian presiden dan wakil presiden. Akan tampil pula wajah-wajah baru menduduki kursi legislatif. Terjadilah sirkulasi kekuasaan. 

Lalu, apakah pergantian pemimpin berpengaruh pada nasib rakyat? Tampaknya tidak. Buktinya belum genap satu pekan sejak terunggul berdasarkan quick count berbagai lembaga survei, paslon 02 (Prabowo-Gibran)  menyatakan bakal memangkas anggaran subsidi BBM untuk merealisasikan program unggulan yang mereka janjikan, termasuk makan siang gratis dan susu gratis, CNN Indonesia (16/2/2024).

Apakah rakyat merasa ‘diakali’? Tentu saja! Hal ini karena dalam persepsi sebagian besar pemilih paslon 02, mereka akan dengan mudah mendapatkan makan siang gratis dan susu gratis tersebut tanpa kompensasi apa pun. Rakyat yang buta politik dan berpikiran pragmatis mungkin tidak mengerti bahwa janji-janji saat kampanye belum tentu dengan mudah dapat direalisasikan oleh paslon. 

Meski paslon 02 berdalih bahwa program ini adalah program strategis guna mengurangi kemiskinan serta mengatasi ketimpangan ekonomi, tetapi masalahnya adalah terletak pada idealisme apa yang melatarbelakangi mereka menjanjikan hal itu. Ini penting karena terkait tujuan luhur yang ingin dicapai oleh negara. 

Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memandang bahwa kebutuhan hidup manusia hanya sebatas needs (kebutuhan) dan goods (alat pemuas kebutuhan). Maka, di kala rakyat miskin lapar, di situlah bantuan sosial (bansos) dan janji pemberian makan gratis digaungkan. Ini kemudian terbukti berhasil mengerek elektabilitas paslon 02. 

Namun, sebelum program-program yang dijanjikan terealisasi, rakyat terlebih dahulu harus menelan pil pahit rencana kenaikan harga Pertalite dan gas elpiji 3 kg. 

Wakil Ketua TKN 02 Eddy Soeparno pada Bloomberg menegaskan bahwa tidak sembarang orang bisa membeli Pertalite dan elpiji 3 kg.

Jadi, subsidi energi dikurangi untuk memberi makan siang gratis. Di sini tampak jelas rakyat dirugikan. Ini karena program makan gratis akan dilakukan bertahap hingga 2029 dan diperuntukkan bagi kalangan tertentu. Sedangkan kenaikan harga BBM dan elpiji akan dilaksanakan di awal dan untuk seluruh rakyat. 

Intrik-intrik politik dan kecurangan dalam pemilu sesungguhnya telah jelas terbaca oleh banyak kalangan. Karenanya, orang-orang yang telah sadar akan hal ini lebih memilih tidak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka menjadi golput (golongan putih) di antaranya karena tidak meyakini bahwa pemilu dapat menghasilkan perubahan yang hakiki. 

Hal ini karena sesungguhnya perubahan hakiki mustahil diraih di dalam sistem yang terbukti bobrok. Jadi, kalau mau melakukan perubahan, harus tahu dahulu tujuannya. Dari situ barulah dapat dirancang visi dan misinya, yaitu naik kendaraan apa untuk menuju tujuan.

Jika mobil sudah mogok karena sangat bobrok, maka harusnya ditinggalkan, ganti dengan mobil yang baru. Bukan tetap dengan mobil mogok, tetapi memimpikan sampai tujuan. 

Demokrasi ibarat mobil bobrok yang meniscayakan negara hanya menjadi instrumen kepentingan bisnis para korporat. Ini terbukti dari banyaknya keputusan politik yang mengabdi pada pemilik modal (oligarki), bukan pada rakyat. Karenanya, wajar jika sebagian rakyat memilih golput. Contohnya pada Pemilu 2014, pemilih golput mencapai 58.610.000 orang, nyaris menyamai perolehan pemenang Pemilu saat itu (70.633.576 suara).

Sepatutnya rakyat menyadari betul bahwa kita adalah pemilik kekuasaan, karena kita adalah pihak yang memilih pemimpin. Namun, yang banyak tidak dipahami adalah bahwa kedaulatan (penetapan hukum dan peraturan negara) bukan di tangan kita, bukan pula di tangan pemimpin. Penentu peraturan adalah Allah Swt. 

“Innil hukmu illa lillah.” (QS al-An’am:57)

Maka, pemilu yang hanya memilih pemimpin, tetapi tidak mengganti sistem negara dari demokrasi yang bobrok menjadi sistem Islam yang cemerlang tentu hanya akan menghasilkan kondisi yang sama. 

Maka, terserah pada kemauan rakyat, ingin meraih perubahan hakiki atau tetap dalam kondisi terpuruk. Satu hal yang pasti, kemauan tersebut butuh persatuan dan tekad yang kuat. Jika rakyat lemah dan masih tercerai-berai oleh kepentingan masing-masing, jangan harap kondisi akan berubah. Jadi, golput harus disertai dengan mengubah sistem agar aktivitas golput bisa menjadi solusi. []

Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik

Kekuasaan dan Islam Tidak Boleh Dipisahkan


Tinta Media - Pesta demokrasi yang sudah digelar adalah pesta akbar yang begitu dinantikan oleh orang-orang yang ingin duduk di panggung kekuasaan. Kita bisa lihat, saat itu, antusiasme tidak hanya terlihat dari para paslon, tetapi juga masyarakat yang ikut mendukung dan memeriahkan setiap acara yang dibuat oleh para paslon.

Dukungan pun datang dari para tokoh ulama. Ada yang mengatakan bahwa semua orang memiliki hak demokrasi yang sama pada pemilu 2024. Bahkan, sejumlah tokoh ulama di Kabupaten Bandung bersepakat untuk mendeklarasikan calon presiden dan wakil presiden tertentu dan mengampanyekan di wilayahnya.

Di tengah suasana pemilu saat ini, para calon penguasa memang mencari dukungan kepada setiap lapisan masyarakat, mulai dari rakyat bawah hingga kalangan atas, tak terkecuali yang paling diincar adalah para tokoh ulama. Karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, maka bisa dipastikan bahwa sosok ulamalah yang paling berpengaruh. 

Oleh sebab itu, pesantren-pesantren menjadi tempat favorit yang kerap dikunjungi ketika musim pemilu. Seperti biasa, berkedok 'menjaga silaturahim' menjadi alasan para pengejar kekuasaan untuk menemui para pemimpin pondok pesantren. Tak lupa, dana untuk pesantren pun menjadi bagian dari rangkaian kampanye untuk mendapatkan dukungan dari para ulama. 

Inilah kenapa banyak ulama yang ikut berkampanye. Buah busuk sistem sekuler kapitalisme sudah merusak pemahaman umat Islam. Karena itu, kalangan ulama yang seharusnya mampu membawa umat kepada jalan yang diridai Allah, malah ikut menjerumuskan umat pada pesta demokrasi yang jelas-jelas jauh dari syariah.

Apalagi jika yang diusung adalah dari kalangan yang track record perilakunya sangat tidak baik, terutama yang memusuhi Islam. Sejatinya musuh-musuh Islam sampai kapan pun menyimpan kebencian terhadap Islam. Apakah sosok seperti ini pantas dijadikan pemimpin dari sebuah negeri yang mayoritas penduduknya muslim? 

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, aktivitas cari muka saat ini lumrah dilakukan oleh para calon penguasa. Mereka tebar janji, gratis ini itu, suguhkan kartu ini itu, sebagai iming-iming agar masyarakat terbuai dan mendukung mereka. Padahal, nyatanya itu hanya bahasa pemilu saja. 

Dalam sistem ini, cara-cara meraih kekuasaan sering kali menghalalkan segalanya. Ini karena akidah yang diemban di negeri ini adalah memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Orientasi mereka hanya pada dunia semata. Pada akhirnya, ketika kekuasaan sudah di tangan, mereka lupa dengan janji-janjinya. Rakyat pun kembali dilupakan dan dibiarkan melanjutkan penderitaan yang tiada akhir. 

Para penganut ideologi ini selalu mempropagandakan demokrasi sebagai sistem yang terbaik yang mampu menjamin kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan, dan keadilan. Padahal, realitasnya kemakmuran hanya dirasakan oleh oligarki saja, bukan rakyat kecil.

Ini karena sesungguhnya yang berdaulat dalam sistem ini adalah para elite politik yang mengatasnamakan wakil rakyat. Lagi dan lagi, rakyat kecil menjadi korban ketidakadilan sistem demokrasi yang mengklaim bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Nyatanya, semua itu hanya ilusi semata.

Berbeda halnya dalam sistem Islam, kekuasaan dan Islam tidak bisa dipisahkan, jika dipisahkan maka akan membahayakan pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Maka dari itu, Islam mempunyai beberapa syarat menjadi seorang pemimpin negara, di antaranya yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin negara.

Selain itu, dalam Islam, begitu penting mengetahui karakter seorang pemimpin. Tidak hanya sekadar terlihat baik, muda, pintar, berwibawa, ramah, alim ataupun gemoy, tetapi harus betul-betul dilihat dari ketakwaan kepada Allah Swt. 

Kemudian, apakah kelak kekuasaannya akan digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya atau sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt?

Rasulullah saw. bersabda,

"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR.al-Bukhari).

Peradaban mencatat bahwa Islam mempunyai pemimpin yang menjadi sosok panutan terbaik sepanjang masa. Beliau adalah Rasulullah saw. Beliaulah yang kemudian menjadi suri teladan para pemimpin Islam sepeninggal beliau. Bahkan, Islam selama 13 abad lamanya menjadi mercusuar dunia. Ini karena karena sistem pemerintahannya yang luar biasa mampu meriayah seluruh umat yang hidup dalam daulah Islamiyah.

Maka dari itu, menjadi seorang pemimpin amatlah berat tanggung jawabnya. Amanah yang diemban bukan hanya sekadar menjaga rakyat, tetapi juga menjaga Islam agar tetap tegak sebagai satu-satunya ideologi yang harus diterapkan. Inilah kenapa kekuasaan tidak boleh dipisahkan dari Islam.

Sudah saatnya kita sebagai kaum muslimin berjuang untuk menegakkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan Islam, rakyat bisa sejahtera dan terbebas dari belenggu ketidakadilan dan kemiskinan yang disebabkan oleh sistem rusak, yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Wallahualam.



Oleh: Neng Mae
(Sahabat Tinta Media)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab