Tinta Media: terorisme
Tampilkan postingan dengan label terorisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label terorisme. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Februari 2024

Barat Tuding Pembela H4m45 dan Tolak Z10ni5 sebagai Teroris dan Antisemit, UIY: Bagian dari Politik Labeling dan Framing



Tinta Media - Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menganggap bahwa politik labeling dan framing yang dilakukan oleh Barat terhadap individu atau kelompok Islam yang membela H4m45 dan menolak Z10ni5 Yahudi sebagai bentuk hipokrisi besar. 

“Tudingan yang sangat tendensius, lebih merupakan sebagai usaha tak terpisahkan dari politik labeling dan framing yang dilakukan oleh Barat terhadap individu atau kelompok Islam sebagai bentuk hipokrisi besar,” ujarnya dalam program Focus to The Point: Gegara Bela H4m45 dan Tolak Z10ni5, Gerakan Lurus ini Disebut Teroris! Selasa (30/1/2024) melalui kanal Youtube UIY Official. 

UIY mengungkapkan setidaknya ada dua hal yang patut dicermati terkait tudingan sebagai teroris dan antisemit, yang dialamatkan Barat terhadap individu atau kelompok Islam, sebagai politik labeling dan framing. 

Pertama, melalui politik labeling dan framing, Barat merasa akan mendapatkan legitimasi dari publik, “Bahwa yang mereka lakukan adalah memerangi teroris, karena itu dia harus disematkan dulu sebagai kelompok teroris, jika kemudian mereka menangkap atau menyerang kelompok ini atau membubarkan, dalam rangka untuk mengambil tindakan terhadap kelompok teroris,” jelasnya. 

Kedua, untuk mendapat dukungan publik. “Bukan hanya publik domestik di mana negara itu mengambil tindakan, tapi juga publik internasional atau publik dunia, biasanya publik dunia itu, dia sudah tidak lagi ingat apakah betul dia teroris atau tidak, yang dia ingat adalah bahwa ini negara sedang memerangi kelompok teroris. Nah, di situlah bahayanya labeling dan framing,” bebernya. 

Ia menjelaskan, jika kembali kepada definisi bahwa teroris itu diartikan sebagai orang atau kelompok bahkan negara yang dalam meraih tujuannya menggunakan kekerasan, mestinya Amerika dan sekutu-sekutunya dianggap sebagai teroris. 

“Orang-orang yang kembali kepada definisi bahwa teroris itu diartikan sebagai orang atau kelompok bahkan negara yang dalam meraih tujuannya menggunakan kekerasan.  Mestinya Amerika dan sekutu-sekutunya dianggap sebagai teroris, karena faktanya banyak sekali melakukan kekerasan dan komisi HAM internasional, menyebut Amerika sebagai negara yang paling banyak menggunakan kekerasan dalam meraih tujuannya.  Seperti invasi Amerika ke Irak, Afghanistan, Vietnam dan sebagainya,” tuturnya. 

Ia mengatakan bahwa Hamas dan Syekh Ahmad Yasin Rahimahullah bukan teroris. “Hamas dan Syekh Ahmad Yasin Rahimahullah itu dianggap sebagai teroris, wong dia itu sedang berjuang untuk meraih kembali haknya membebaskan tanah Palestina dari penjajahan. Bagaimana, orang yang berjuang untuk merebut haknya membebaskan tanah Palestina, tanah yang diberkati, tanah khorojiah dari penjajahan disebut sebagai teroris. Sementara yang menjajah tidak disebut teroris,” ulasnya.

Menurutnya, kelompok-kelompok dakwah Islam itu bukan antisemit, “Sebab Islam memperlakukan Yahudi dengan sangat baik, sejarah panjang membuktikan bahwa Spanyol 700 tahun hidup damai di bawah Islam. Orang Yahudi dan Nasrani menyebut ‘Espanyol in three religion’, Spanyol dalam tiga agama, Karen Armstrong sampai mengatakan the Jewish enjoy their golden age under Islam in Andalusia,” pungkasnya.[] Evi

Senin, 13 November 2023

Dua Catatan Dr Riyan Terkait Pernyataan Kapolri yang Mengaitkan Isu Terorisme pada Tragedi di Palestina



Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. Riyan, M.Ag. memberikan dua catatan terhadap pernyataan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mengaitkan perang antara penjajah Zionis Yahudi dan Hamas di Palestina dapat membangkitkan sel-sel yang terafiliasi dengan teroris di Indonesia. Hal itu disampaikan dalam program Kabar Petang: Stop Kaitkan Isu Terorisme dengan Tragedi di Gaza! Di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (27/11/2023).

"Pertama, catatan saya adalah bahwa kita mesti mengingatkan, teroris yang sesungguhnya itu adalah entitas Zionis penjajah beserta pendukungnya. Dalam hal ini tentu saja kita tahu, ya Amerika dan sekutu-sekutunya," sebutnya.

Sehingga menurut Riyan, harus ditegaskan pula, bahwa Hamas juga rakyat Palestina dan siapapun yang kemudian mendukungnya bukanlah teroris sebagaimana stigma yang dibuat oleh Amerika dan entitas penjajah Zionis Yahudi.

"Karena merekalah justru yang harusnya dijadikan sebagai teroris sesungguhnya. Bahkan teroris dalam skala internasional," tegasnya.

Jadi, Riyan memandang, apa yang disampaikan Kapolri dalam konteks ini jelas merupakan hal yang tidak nyambung.

"Bagaimana mungkin pelaku teroris yang sesungguhnya yaitu entitas Zionis dan didukung oleh Amerika serta sekutu-sekutunya itu malah justru kemudian dianggap sebagai sesuatu yang baik. Dalam konteks ini bahwa seolah-olah yang salah itu adalah Palestina dan juga para pejuang-pejuangnya," herannya.

Kedua, Riyan melanjutkan, masyarakat harus dipahamkan betul bahwa akar masalah daripada persoalan Palestina ini adalah penjajahan.

"Penjajahan yang dilakukan oleh entitas  Zionis Yahudi  yang didukung oleh Amerika dan juga negara-negara sekutunya," terangnya.

Ia pun meyakini, bahwa perjuangan rakyat Palestina dan siapapun yang kemudian mendukungnya tidak ada hubungannya dengan terorisme.

Riyan lantas menilai, berita isu tentang terorisme adalah sebuah pengalihan permasalahan negara, karena menurutnya, hal itu senantiasa muncul ketika banyak sekali terjadi kasus-kasus besar persoalan yang lain, terutama yang terjadi di negeri ini.

" Ya misalnya seperti sekarang kita lihat, banyak pihak mengkritik adanya dinasti politik yang dilakukan oleh keluarga Presiden. Maka kemudian, kita tidak tahu tiba-tiba ada isu terorisme," pungkasnya. [] Muhar

Rabu, 08 November 2023

Pengamat: Perjuangan Rakyat Palestina Tidak Ada hubungannya dengan Terorisme


 

Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. Riyan, M.Ag. mengatakan perjuangan rakyat Palestina tidak ada hubungannya dengan terorisme.
 
“Perjuangan rakyat Palestina dan siapapun yang mendukungnya, tidak ada hubungannya dengan isu terorisme,” tuturnya di Kabar Petang: Stop Kaitkan Isu Terorisme dengan Tragedi di G4z4! Melalui kanal Youtube Khilafah News, Selasa (7/11/2023).
 
Teroris sesungguhnya, ucapnya, adalah entitas Yahudi yang telah menjajah Palestina beserta negara-negara pendukungnya.

“Saya memandang ini sebenarnya justru maling teriak maling. Entitas Yahudi mengakui bahwa mereka membayar buzzer secara internasional untuk merekayasa opini dunia bahwa sesungguhnya seolah-olah mereka itu adalah korban sedangkan para pejuang Palestina, Hamas termasuk di dalamnya itu seolah-olah itu adalah teroris. Ini fitnah keji!” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Kamis, 02 November 2023

Aktivis: Jihad Tidak Identik dengan Terorisme


 
Tinta Media - Aktivis Muslimah, Iffah Ainur Rochmah menegaskan bahwa jihad tidak identik dengan terorisme.
“Jangan pernah membayangkan jihad yang akan dilakukan di Palestina ataupun di wilayah-wilayah lain adalah tindakan yang bisa diidentikkan dengan terorisme,” tuturnya di acara Muslimah Talk: Seruan Jihad, Solusi atau Ancaman Bagi Dunia? Di kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (28/10/2023).
 
Ia berargumen, jihad di dalam Islam itu dilekatkan dengan sambungannya yaitu fisabilillah yakni berperang di jalan Allah sehingga dalam pandangan Islam jihad terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi manusia.
 
“Tuntunan jihad berasal dari Allah. Bagaimana Allah menuntun mereka yang berjihad itu mulai dari niatnya, tata caranya, fakta-fakta yang akan dihadapi harus direspon bagaimana,  apa saja larangan-larangan yang harus dijauhi, dan seterusnya,” bebernya.
 
Mengutip pendapat  Syekh Taqiyuddin An-Nabhani  dalam kitab Asy-Syaksiyatul Islamiyah Jilid II, Iffah mengungkapkan bahwa yang dimaksud jihad adalah mencurahkan semua energi, kemampuan dan sumber daya, untuk berperang dijalan Allah.
 
“Baik perang secara langsung yakni mereka yang menjadi tentara, ataupun dengan bantuan harta, dengan bantuan pemikiran, perbekalan, strategi, dan seterusnya. Termasuk dengan lisan maupun tulisan yang itu langsung menggerakkan mereka untuk melakukan perang melawan musuh-musuh Allah,” imbuhnya.
 
Oleh karena itu, Iffah tegas mengatakan, jihad yang diidentikkan dengan terorisme  sebagaimana digaungkan oleh dunia internasional adalah kebohongan yang nyata.
 
“Kaum muslimin ketika melaksanakan jihad mereka tetap harus terikat kepada hukum-hukum syariat,” tegasnya.
 
Iffah menambahkan,  kalau hari ini warga Palestina menyeru jihad, maka yang diluar Palestina yang memahami nash-nash syariat harus menyuarakan hal yang sama sebagai solusi atas Palestina.
 
“Jangan kita membiarkan opini internasional membawa kaum muslimin menerima meja-meja perundingan sebagai solusi untuk pendudukan Yahudi  Zionis di Palestina,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Selasa, 12 September 2023

Masjid Tempat Memulai Peradaban Bukan Terorisme

Tinta Media - Tersebar berita bahwa badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme. Harusnya BNPT tidak berkaca dari negara-negara luar.

Berita ini membuat kaum muslimin terkejut dan menolak. Sebagaimana diketahui, Indonesia negara dengan populasi mayoritas muslim. Artinya semua masjid akan diawasi oleh pemerintah, seakan-akan dijadikan sebagai tempat kriminalisasi dan terorisme. Ironis, predikat muslim terbanyak justru menjadikan kaum muslimin terfitnah dan tertuduh. Menjadikan mereka sebagai sosok monster yang menakutkan. Ini menunjukkan negara sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya rumah ibadah yang seharusnya umat beribadah dengan tenang justru harus dikontrol dan diawasi.

Berawal dari Sistem Kapitalisme

Berawal dari pemikiran bahwa hidup di dunia hanya berdasarkan materi, sehingga muncul usulan pengontrolan tempat ibadah. Kecintaan mereka terhadap harta, tidak ingin Islam bangkit, sehingga mereka membuat usulan yang merugikan umat muslim di negara ini. Inilah sistem kapitalisme dan demokrasi yang membuat umat Islam semakin hancur dan terpercah belah.

Lalu, masihkah memuja sistem demokrasi yang hanya mengantarkan umat Islam pada kehinaan dan kehancuran? Belum cukupkah umat Islam dihina dan ditindas? Belum cukupkah hal tersebut menjadi pengingat? Sudah saatnya sistem kapitalisme dihilangkan dan diganti dengan kepemimpinan Islam yang jelas-jelas akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.

Masjid Tempat Memulai Peradaban.

Tidak ada tempat lain kecuali masjid yang digunakan untuk memulai peradaban ini. Rasulullah sendiri, ketika hijrah dan sampai di Madinah, beliau langsung membangun masjid. Beliau membangun masjid sebagai sentral negara, tempat berkumpulnya kaum muslimin dan disanalah semua masalah diselesaikan.

Bahkan sosok Muhammad Al Fatih yang menaklukkan Konstantinopel melakukan hal yang sama, yaitu mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. Berikutnya ia langsung menggunakan masjid tersebut untuk shalat Jumat.

Dari sinilah membuktikan pentingnya masjid bagi kaum muslimin. Masjid tidak hanya digunakan untuk ibadah saja, bahkan lebih dari itu, masjid merupakan sentral negara di mana masjid digunakan sebagai tempat berkumpulnya umat muslim. Di masjid lah umat Islam menyelesaikan berbagai masalah. Maka dari itu, tidak pantas sebuah masjid diawasi dan dikontrol. Apalagi dituduh menjadi sarang radikalisme. Sungguh, ini fitnah yang paling kejam bagi umat muslim.

Kewajiban Umat Muslim Memakmurkan Masjid

Tidak ada yang diwajibkan menjaga dan memakmurkan masjid selain umat Islam. Karena sesungguhnya masjid adalah tempat sentral kaum muslimin. Dan orang kafir tidak pantas memakmurkan masjid karena mereka sendiri mangakui bahwa mereka adalah kafir. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 17-18, yang artinya,"Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah mudahan mereka termasuk orang orang yang mendapat petunjuk."

Oleh karena itu, sebuah keanehan nyata apabila umat muslim sendiri tidak bisa memakmurkan masjid apalagi menuduhnya sebagai sarang terorisme. Karena sesungguhnya muslim sejati adalah mereka yang memakmurkan masjid.

Tentunya kemakmuran masjid ini akan diterapkan ketikan khilafah bangkit, di mana masjid ini akan menjadi sentral negara kaum muslimin dan tempat berkumpulnya kaum muslimin. Oleh karena itu mari Bersama-sama memakmurkan masjid untuk tegaknya khilafah sebagaimana telah dikabarkan Rasulullah.

Allahu a’lam bish showab.


Oleh: Azzaky Ali (Santri kelas X UBS Al-Amri)

Kamis, 07 September 2023

KAMI: Isu Intoleran, Radikalisme, Terorisme Tertuju pada Islam


 
Tinta Media - Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Adhi Masardi menilai, isu intoleran, radikalisme, terorisme selalu ditujukan pada Islam.
 
“Isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme, sejak Orde Baru, selalu tertuju pada Islam,” tuturnya dalam diskusi online : Isu Moderasi Diangkat di tengah Korupsi Meningkat dan Kedaulatan Disikat (Cina), Ahad (3/9/2023) di kanal YouTube Media Umat.
 
Isu-isu tersebut, menurutnya, disiapkan oleh Amerika untuk menguasai negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim yang kaya akan energi.
 
“Indonesia mempertahankan isu terorisme untuk menyerang Islam. Hal ini karena menguntungkan bagi kekuasaan. Demikian halnya, dengan kelompok-kelompok yang mengkritisi pemerintah, maka akan dituding macam-macam, dicari pasal-pasal menebar kebohongan, dan dituduh provokasi. Ini memang harga yang harus kita bayar untuk memberikan kesadaran politik kepada masyarakat,” pungkasnya. [] Ikhty

Jumat, 13 Januari 2023

Gus Uwik: Narasi Radikalisme dan Terorisme adalah Agenda Barat

Tinta Media - Peneliti Pusat kajian Peradaban Islam Gus Uwik membenarkan jika narasi radikalisme dan terorisme adalah agenda Barat dengan tujuan yang jelas yaitu perang pada Islam.

“Narasi radikalisme dan terorisme adalah agenda Barat dengan tujuan yang jelas yaitu perang pada Islam,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Kamis (12/1/2023).

Setelah war on terrorism (WoT), ia menyatakan kini umat Islam disibukkan dengan war on radicalism (WoR). “Sejak kapan? Bisa dirunut ke belakang ketika pada tahun 2003 terbit dokumen Rand Corporation berjudul, “Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies”. Dokumen ini berisi kebijakan AS dan sekutunya atas Dunia Islam. Intinya, mempeta-kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai pola untuk mencegah kebangkitan Islam,” bebernya.

Menurutnya , setidaknya ada empat agenda dan strategi pecah-belah yang termaktub dalam kedua dokumen tersebut? 

Pertama, upaya umat Islam untuk kembali pada kemurnian ajaran, setelah periode keterbelakangan dan ketidakberdayaan Dunia Islam yang panjang dianggap sebagai ancaman bagi Barat, terhadap peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban).

Kedua, agar tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global.

Ketiga, karena itu diperlukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan. “Mereka membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan syariat Islam; (2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan; mereka berpegang pada substansi ajaran Islam tanpa peduli pada formalisasinya; (3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas; (4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam sekular yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara,” urainya.

Keempat, terhadap tiap kelompok ditetapkan strategi masing-masing. “Sasaran utamanya adalah bagaimana menghadapi kaum fundamentalis, yaitu: menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan ketidak-akuratannya; mencegah menunjukkan rasa hormat dan pujian atas perbuatan kekerasan kaum fundamentalis, ekstremis dan teroris; kucilkan mereka sebagai pengganggu dan pengecut, bukan sebagai pahlawan; mendorong para wartawan untuk memeriksa isu-isu korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran kaum fundamentalis dan kaum teroris; mendorong perpecahan antara kaum fundamentalis,” ungkapnya.

Untuk menyukseskan agenda ini, lanjutnya, Barat mengembangkan apa yang disebut War on Radicalism (WoR). Barat tahu gagasan kembalinya peradaban Islam yang dibentuk melalui penerapan syariah secara kaaffah tidak akan pernah benar-benar bisa dihilangkan dari benak umat Islam. Termasuk soal Khilafah. “Mereka tahu, itu semua adalah ajaran Islam, dan telah menjadi bagian dari sejarah Dunia Islam yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Melawan itu semua bagaikan menghalangi terangnya siang dan gelapnya malam. Tak mungkin. Namun, mereka juga tidak mungkin membiarkan. Tidak mungkin juga terang-terangan menyerang Islam sehingga harus dibungkus dengan sebuah istilah yang lebih dulu dicitraburukkan. Itulah radikal dan radikalisme Islam,” ujarnya.

Gus Uwik juga menyampaikan Barat mengatakan radikalisme adalah akar dari terorisme. Semua pelaku teroris berpaham radikal. Radikalisme sama bahayanya dengan terorisme. “Jadi, memerangi terorisme (war on terrrorism) harus disertai memerangi radikalisme (war on radicalism). Soal apa definisi radikalisme, tak penting. Seperti juga terorisme, nyaris tanpa definisi. Penguasalah yang mendefinisikan. Termasuk yang menentukan siapa yang radikal dan siapa yang bukan,” imbuhnya.

Atas nama memerangi radikalisme, ia menjelaskan kini hal itu menjadi senjata ampuh untuk menghalangi dakwah, khususnya dakwah politis – ideologis, menyingkirkan lawan politik dari mimbar-mimbar umat, termasuk sangat efektif menjadi alat untuk mempersekusi siapa saja yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh penguasa. “Jadilah war on radicalism topeng atau mask, dipakai oleh kaum islamophobia yang sudah lama gerah melihat perkembangan dakwah Islam yang memang sangat marak sejak beberapa dekade terakhir,” ucapnya.

Gus Uwik mencontohkan ada pejabat tinggi pengidap islamofobia yang seolah mendapat peluang, terang-terangan mengatakan bahwa radikalisme di kampus sudah berkembang sejak tahun 80-an, dan kini sudah merambah ke sekolah-sekolah dari sekolah menengah hingga sekolah dasar.

“Jadi jelas, itu agenda barat. Dan banyak yang membebek bahkan mengasongkannya. Sungguh sangat disayangkan," pungkasnya.[] Erlina

Kamis, 12 Januari 2023

Kaitkan Radikalisme dan Terorisme dengan Islam, Pengamat: Jelas Logika Rapuh dan Berbahaya

  Tinta Media - Menanggapi tudingan dari pihak tertentu yang menggolongkan beberapa web Islam ke dalam daftar situs web pro radikal dan teroris, Pengamat Politik Internasional Umar Syarifuddin mengatakan, jelas logika ini rapuh dan berbahaya.

  "Mengaitkan radikalisme dengan Islam dan mengaitkan dengan terorisme jelas logika yang rapuh dan berbahaya," ujarnya kepada Tinta Media Senin (9/1/2023).

  Ia melanjutkan, rapuh karena istilah radikal masih belum jelas definisinya, apalagi disepakati. Sama dengan terorisme, istilah ini tidak lebih merupakan narasi propaganda yang digunakan secara sepihak berdasarkan kepentingan masing-masing."Yang terjadi saat ini, istilah radikal lebih diarahkan kepada umat Islam dan ajaran Islam. Ini berbahaya karena merupakan propaganda sistematis untuk membangun citra jelek Islam dengan ajarannya yang mulia," tegasnya.

  Umar heran, bagaimana mungkin umat Islam membenci ajaran Islam yang merupakan agamanya sendiri, seperti mengkriminalkan kewajiban penegakan syariat Islam secara totalitas. Padahal, tindakan tersebut jelas untuk kepentingan musuh-musuh Islam yang tidak ingin umat Islam menjalankan ajaran Islam. Musuh-musuh Islam sangat mengerti penerapan Syariah Islam secara totalitas didalam naungan khilafah termasuk ajaran jihad fi Sabilillah untuk melawan penjajah, mengancam agenda-agenda penjajahan mereka di dunia Islam.

Umar menyayangkan kalau pemerintah terjebak dalam propaganda radikalisme menuju terorisme. Bila ini terjadi, berarti pemerintah sudah tunduk kepada kepentingan asing dan membuka front terbuka memusuhi ajaran Islam dan umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini."oleh karena itu, penting sekali memahamkan dan menyadarkan masyarakat akan adanya penyesatan opini terhadap istilah radikal oleh pihak yang tidak ingin melihat umat Islam bangkit secara ideologi dan menggantikannya dengan ideologi kapitalisme -sekulerisme yang sekarang masih mendominasi negeri-negeri kaum muslimin.

  Ancaman Nyata

  Sistem kapitalisme, menurut Umar, merupakan ancaman nyata dan riil. Termasuk ekonomi neoliberal. Sistem kapitalisme secara dan sistematis telah menyusahkan rakyat. Kebijakan neoliberal dengan cara mengurangi subsidi lewat instrumen liberalisasi ekonomi telah menambah beban rakyat. Sistem neoliberal yang dianut negeri ini juga telah menjadi jalan eksploitasi bagi kekayaan alam Indonesia oleh swasta. Privatisasi dengan alasan investasi dan pasar bebas telah merampas kekayaan tambang minyak, emas, batubara, hutan dan air yang merupakan milik rakyat."Kekayaan alam yang seharusnya merupakan berkah bagi rakyat dikeruk oleh perusahaan swasta nasional maupun asing untuk kepentingan segelintir orang," bebernya.

  Umar menegaskan, sistem kapitalistik tidak mampu menyatukan rakyat. Hal ini terbukti dengan lepasnya Timor -Timor karena alasan menentukan nasib sendiri sebagai hak demokrasi. Bukan hanya itu, Papua dan beberapa wilayah lain akan terancam lepas dengan alasan hak demokrasi menentukan nasib sendiri."Dengan praktik sistem kapitalisme, negara dililit hutang yang jumlahnya sudah mencapai tingkat menghawatirkan. Keamanan rakyat dalam sistem sosial juga tidak terjamin dengan baik. Sistem kapitalisme - liberalisme justru menyuburkan berbagai kejahatan dan kemungkaran," pungkasnya.[] Yupi UN

Selasa, 20 Desember 2022

Pletak-pletuk Gorengan Lama, Menyasar Ajaran Islam?

Tinta Media - Gerah, inilah yang penulis rasakan atas tuduhan berulang yang menyasar ajaran Islam yang mulia. Tuduhan ini sering kali dikaitkan dengan isu terorisme. Padahal, framing ini muncul dari Barat yang secara historis membenci penerapan Islam kaffah. 

Musuh Islam sangat paham jika sistem Islam kembali diterapkan dalam bingkai khilafah, maka cengkeraman mereka terhadap penguasaan sumber daya alam, perekonomian, politik, pendidikan, budaya, dan hukum tak bisa lagi diintervensi asing maupun swasta. 

Begitu juga dengan kebebasan pribadi, jika diatur sesuai syariat Islam, maka mereka tidak bisa mengikis kekritisan generasi muda terhadap kezaliman yang mendominasi dunia. 

Kita merujuk pada metode dakwah Rasulullah saw. yang tak pernah memakai kekerasan, apalagi membunuh. Beliau mulai dari tatsqif (pembinaan), berinteraksi dengan umat, dan penerimaan kekuasaan. Dakwah beliau dan para sahabatnya dibalas cacian tak jarang siksaan fisik dari kaum musyrikin Quraisy. 

Kejadian yang sama juga turut dirasakan pengemban dakwah hari ini. Sejarah membuktikan beberapa daftar genosida paling mengerikan yang pernah ada, yaitu invasi penaklukan Mongol abad ke-13. Sebanyak 60 juta hingga 100 juta korban dan holocaust Nazi Jerman tahun 1941 sampai tahun 1945 korban mencapai 7 hingga 11 juta. Jelas pembantaian atau teror ini bukan dari kaum muslimin. 

Kita bisa melihat kasus yang terjadi di Palestina. Tanahnya dirampok oleh kaum zionis Israel dengan siasat licik bersama Inggris dan menyisakan sedikit wilayah bagi kaum muslimin di sana. 

Di Suriah, penduduk dibantai oleh rezim Bashar Al-Assad, padahal mereka melawan karena geram dengan kezaliman yang dirasakan. Sayangnya, para pelaku beserta penguasanya tak pernah berlabel teroris. 

KKB Papua dicap kriminal bersenjata dengan jumlah korban yang banyak tanpa belas kasihan. Penghinaan terhadap Rasulullah saw. dengan mudah dilakukan oleh pembenci Islam. Ketika kaum muslimin membela diri, malah dicecar dengan alasan melanggar hak asasi manusia. 

Lebih menggemaskan karena isu terorisme digoreng setiap kali menjelang akhir dan awal tahun, serta menjelang Ramadan. Seakan mereka yang mengamalkan Islam kaffah akan membawa keburukan pada negeri mana pun. 

Saya turut prihatin melihat berita yang berseliweran di sosial media, tak sedikit yang memberitakan kerusakan generasi, sementara dakwah Islam hadir untuk menangkal pemikiran rusak. Sayangnya, dakwah dipandang sebagai kanker oleh kalangan umat Islam sendiri. 

Kasus Sambo harusnya menjadi pelajaran jika sesama anggota Polri saja dengan mudahnya memalsukan, bahkan menghilangkan bukti kejadian perkara, maka hal serupa juga bisa menimpa masyarakat biasa. Lucunya, isu terorisme seperti bom bunuh diri menjadi cerita klise, tetapi menimpa umat Islam saja. 

Jelas, ini menimbulkan islamophobia pada penganutnya. Ajaran Islam semakin dikerdilkan. Demi tersemat pujian toleran, seorang muslim rela menggadaikan akidahnya sendiri dengan mengucapkan atau membantu perayaan agama lain, padahal nonmuslim tak pernah punya masalah  dibantu atau tidak. 

Tak jarang isu terorisme juga seakan mengalihkan deretan kasus korupsi pejabat. Tuduhan ini tidak sesuai realita rakyat dengan masalah yang menonjol terkait pemerataan ekonomi. Mereka yang minim edukasi karena keterbatasan pendidikan sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Begitu juga dengan yang berpendidikan tinggi. Inilah yang menambah angka kemiskinan. 

Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, ditambah ancaman kelaparan, gizi buruk, pergaulan bebas, kasus HIV, kesehatan yang dikomersialkan, serta pendangkalan akidah semakin memperburuk kondisi negeri ini. Semua lini kehidupan jelas saling berkaitan kerusakannya. 

Wahai saudaraku, mereka yang selama ini dituduh teroris, faktanya menjadi korban teror, baik di negeri mayoritas ataupun minoritas muslim. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh diam, sebab opini dakwah Islam harus terus digaungkan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. ketika beliau difitnah sebagai tukang sihir, orang gila, dan lain-lain. Kelak umat akan melihat siapa yang memperjuangkan kebenaran dan siapa yang loyal pada kebatilan demi materi semata.

Oleh: Nurjannah
Sahabat Tinta Media

TERORISME, MODERASI AGAMA DAN KONTROVERSI PENGESAHAN RKHUP

Tinta Media - Jum'at Sore lalu (9/12) antara pukul 15.45 sd 17.15 WIB, penulis berkesempatan berdiskusi memenuhi undangan Cak Slamet dari PKAD (Surabaya). Tema yang diangkat 'Bomber Bandung Bawa Berkas Protes RKUHP, Ada Apa ??!!'.

Memang agak aneh, teroris dikaitkan dengan RKUHP. Biasanya narasi soal terorisme tak pernah dikaitkan dengan produk legislasi nasional, karena memang mereka tidak punya kepentingan dengan itu.

Tapi dalam kasus bom Astana Anyar, Bandung ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan langsung mengatakan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung meninggalkan pesan yang memprotes RKUHP yang baru saja disahkan DPR RI. Meski dengan 'Cover' temuan ini pun masih didalami polisi. (08/12).

Sementara itu, pihak Istana melalui Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardhani juga langsung mengaitkan aksi protes KUHP dengan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. 

Penulis sendiri dalam diskusi Dialogika (Bogor, Sabtu, 10/12)  bersama DR Muhammad Taufik, SH MH dan Aziz Yanuar, SH MH, menegaskan bahwa dalam mengamati peristiwa terorisme ini, harus dibedakan mana fakta mana opini. Beberapa tela'ah logika kritis dibawah ini bisa menjadi rujukan, misalnya:

Pertama, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, sementara nomenklatur 'Bom Bunuh Diri' adalah opini. Darimana kita bisa menyimpulkan itu bom bunuh diri?

Apakah, karena pelaku sendiri, bom meledak dan  pelaku ikut menjadi korban, lalu disimpulkan itu bom bunuh diri? Bagaimana, kalau ternyata pelaku tidak mengetahui dirinya membawa bom, misalnya hanya membawa tas atas perintah seseorang, lalu ada bom yang diledakkan melalui remote control?

Kedua, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, bom terkait protes pengesahan RKUHP adalah opini. Sebab, darimana dapat diketahui itu motifnya memprotes RKUHP sedangkan pelakunya mati? Padahal, motif baru dapat diketahui setelah memeriksa keterangan pelaku. Beda kasusnya, kalau pelaku bisa dihidupkan kembali, lalu di BAP polisi dan ditanya motifnya.

Lagipula, aneh saja ada motor hanya dengan tempelan solasi menggantung, ada poster terkait RKUHP, lalu bom dikaitkan dengan protes terhadap RKUHP.

Siapa yang menjamin, tempelan RKUHP itu ditempel pelaku? Atau bahkan, siapa yang menjamin foto motor yang beredar adalah foto motor pelaku? Bahkan, hingga identitas yang beredar adalah identitas pelaku?

Ketiga, satu-satunya dasar kepercayaan publik bahwa bom Astana Anyar adalah bom bunuh diri dan terkait dengan protes pengesahan RKUP adalah karena pernyataan itu dikeluarkan resmi dari polisi. Namun, sekali lagi, pertanyaannya, apakah keterangan polisi dapat dipercaya?

Pada tragedi duren tiga yang lalu, publik dicekok'i informasi dari polisi telah terjadi peristiwa tembak menembak antara Bharada E dan Brigadir J dan berakhir dengan tewasnya Brigadir J. Tapi kemudian, ternyata peristiwa sesungguhnya adalah pembunuhan berencana yang didalangi oleh polisi berpangkat bintang dua, bahkan menjabat Kepala Divisi Propam Mabes Polri.

Apa jaminannya, apa yang terjadi di duren tiga tidak terjadi pada kasus bom Astanaanyar Bandung?

Kembali ke diskusi PKAD, penulis tertarik dengan pernyataan Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto, yang menekankan bahwa terorisme harusnya diterapkan pada perbuatan bukan pikiran. Faktanya, narasi radikalisme dalam isu terorisme telah membuat migrasi kriminalisasi pemikiran yang distempeli dengan radikal, dan dijadikan dalih memerangi terorisme.

Pak Soleman juga tak sependapat dengan ide moderasi agama. Karena ide ini seolah menuduh agama adalah biang terorisme, sehingga harus dimoderasi.

Dalam diskusi tersebut, Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto juga banyak mengkritik materi RKUHP yang sulit dimengeri awam. Pasal-pasalnya dibuat sangat obscuur. Beberapa topik seperti soal pasal zina, pasal penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara (DPR, Kepolisian, MPR), pasal makar, pasal paham yang bertentangan dengan pancasila, dikritik habis oleh punawirawan Jenderal TNI AL mantan Kabais ini.

Sayangnya, Komjen Purn. Susno Duadji tidak bisa membersamai karena pas ada kegiatan lain sehingga izin kepada panitia.

Penulis sendiri juga sangat menyayangkan Polri yang terlalu gegabah mengaitkan teror bom Astananyar dengan protes RKUHP. Sebab, hal itu telah menimbulkan stigma seolah yang menolak pengesahan RKUHP adalah kelompok teroris seperti pelaku bom Astana Anyar.

Lagipula, banyak tuduhan polisi dalam isu terorisme yang tak terbukti di pengadilan. Namun, polisi tak peduli dengan dampak atas tuduhan itu.

Misalnya saja di kasus yang penulis tangani yakni Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung Al Hamat. 

Pada saat ditangkap Densus 88, ketiga Ustadz dituduh melakukan tindakan terorisme. Bahkan, juga dituduh terlibat pendanaan terorisme, melalui modus mengumpulkan dana infak dan shodaqoh dari kotak-kotak amal. Saat itu, sejumlah kotak amal disita dan dijadikan barang bukti.

Saat persidangan, tidak ada dakwaan pendanaan terorisme. Kotak-kotak amal yang disita densus 88 tidak pernah dihadirkan dimuka persidangan. Tuntutan Jaksa juga bukan pasal melakukan tindakan teror (pasal 7 jo 15 UU Terorisme). Namun, hanya menuntut dengan pasal 13 c UU Terorisme terkait menyembunyikan informasi terorisme.

Pertanyaannya, apakah Polri setelah salah kemudian memberikan klarifikasi atas kesalahan mereka menyita kotak amal infak sedekah umat Islam yang tidak terkait terorisme? Apakah Polri meminta maaf kepada umat Islam karena penyitaan atas kotak amal, infak dan shodaqoh itu berdampak pada ketakutan umat Islam untuk beramal karena takut disalahgunakan untuk pendanaan terorisme?

Sekali lagi, kita semua harus cermat dan kritis menyikapi isu terorisme. [].


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pakta Sunt Servanda)

https://youtu.be/1QMh2qEHIGE

Catatan Hukum Akhir Pekan, Kritik atas kengototan Pemerintah & DPR mengesahkan RKUHP



Sabtu, 29 Oktober 2022

Ahmad Sastra Ungkap Tujuan di Balik Isu Narasi Radikalisme dan Terorisme

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menilai isu narasi radikalisme dan terorisme adalah agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik.

“Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut (radikalisme dan terorisme) dengan tujuan agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (27/10/2022)

Ia mencontohkan pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir. 

“Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah ayat 51, kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212,” ucapnya. 

Dari peristiwa 212 ini kemudian muncul respons negatif dari berbagai pihak termasuk media massa. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam. 
“Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran, dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam, hal ini tak mungkin terbantahkan,” tuturnya. 

Ia mengungkapkan bahwa seiring perkembangan, istilah radikal atau radikalisme merupakan istilah politik, bukan agama sehingga istilah ini dimaknai dengan kepentingan politik penguasa. 

“Kata radikal dan moderat merupakan proxy war, ghozwul fikr atau perang istilah dengan tujuan devide et impera, politik adu domba Barat atas umat Islam, padahal dalam pandangan Islam dituntut menjadi muslim yang bertakwa dan kaffah. Sejatinya radikal kata yang netral, berubah konotasinya menjadi negatif karena dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik,” ungkapnya. 

Isu radikalisme dan terorisme jika dilihat dari korbannya justru sebagian besar adalah negeri muslim, kelompok muslim, dan orang yang beragama Islam. 

“Irak dan Afganistan menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika dengan alasan yang dibuat-buat. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris, sebaliknya Israel yang nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan,” bebernya. 

Ia membenarkan perkataan seorang jurnalis Australia John Pilgers bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada perang menggunakan alasan terorisme. 
“Bisa di analisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam,” ucapnya. 

Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya dapat ditelusuri jejaknya, bersumber dari laporan dokumen yang berjudul Mapping The Global Future oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika (National Inteligent Council/NIC). 
“Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020an,” katanya. 

Pertama, Dovod World yakni kebangkitan ekonomi Asia. China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. 
“Kedua, Pax Americana di mana dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh Amerika Serikat,” ujarnya. 

Ketiga, A New Caliphate, yakni kebangkitan kembali khilafah Islam. Khilafah Islam adalah pemerintahan global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. 
“Dan keempat, Cycle of Fear, yaitu lingkaran ketakutan. Dari sinilah (keempat hal tersebut) sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula,” ucapnya. 

Menghadapi perang pemikiran ini maka sebagai umat Islam yang berakal harus terus berdakwah menjelaskan ajaran Islam yang baik dari Yang Maha Baik dan untuk kebaikan negeri ini. 
“Umat juga perlu dijelaskan ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme, menanamkan kesadaran politik agar umat tidak terjebak dalam konstalasi politik internasional,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa pentingnya membina umat dengan pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan ghozwul fikr sebab saat ini terjadi pertarungan yang tidak seimbang.

“Penting juga menyadarkan masyarakat untuk memilih sistem yang baik dan benar dalam melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, dan umat Islam harus memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 08 Agustus 2022

Isu Terorisme Mewarnai Tahun Politik


Tinta Media - Lagi-lagi isu terorisme kembali mencuat menjelang tahun politik. Penangkapan teroris kembali menjadi perbincangan hangat. Masyarakat yang semula tenang setelah sekian lama tak mendengar isu terorisme, kini kembali terusik.

Seperti yang diberitakan oleh Detik.com (22/7/2022), Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap sebanyak 17 tersangka teroris di wilayah Aceh hingga Riau. Sepuluh di antaranya katanya merupakan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan tujuh lainnya merupakan jaringan Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Sampai saat ini aksi terorisme di Indonesia selalu dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI).

Menjelang Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang, pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan lagi kewaspadaannya terhadap serangan teroris. Biasanya, tahun-tahun politik seperti saat ini dianggap menjadi kesempatan jaringan teroris membuat rencana untuk menunjukkan eksistensi. Mereka memandang bahwa pemilu adalah perhelatan yang mengundang banyak perhatian masyarakat dan aparat keamanan. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melancarkan aksi mereka. 

Hal ini seperti yang disampaikan oleh pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar pada media Kompas (24/7/2022), ”Tahun-tahun sekarang juga sangat berbahaya. Kalau di tahun-tahun politik, sumber daya kepolisian sudah tergerus ke banyak isu persiapan pemilu sehingga dikhawatirkan polisi lengah dan para teroris ini tak terpegang. Jadi, harus ditingkatkan kewaspadaannya karena agak riskan.” 

Pemilu dalam Wadah Sistem Demokrasi

Sudah menjadi agenda rutin 5 tahunan masyarakat Indonesia melakukan pesta demokrasi. Agenda ini melibatkan semua pihak yang memiliki hak untuk dipilih dan memilih calon penguasa. Dengan  adanya pelaksanaan pemilu, demokrasi dianggap sebagai sistem yang menjamin kebebasan warganya. 

Padahal, seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan pemilu ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama untuk kampanye dan membentuk tim sukses. Tidak mungkin calon penguasa bisa mandiri untuk membiayai kampanye maupun mahar politik. 

Maka, sudah menjadi rahasia umum jika banyak calon penguasa menggandeng para pemilik modal yang tak lain adalah pengusaha. Tentu ada konsekuensi yang mereka berikan. Salah satunya adalah balas jasa ketika mereka sudah berhasil meraih kekuasaan. Para penguasa nantinya akan membuat peraturan yang pro terhadap para kapital, serta memberikan kemudahan-kemudahan lain yang mereka dapatkan. 

Para penguasa juga disibukkan dengan berbagai cara untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Ini yang menjadi sebab kenapa di indonesia, kasus korupsi tidak pernah ada habisnya.

Kedudukan yang mereka dapatkan tidak digunakan untuk kepentigan rakyat. Padahal, dari suara rakyatlah mereka mendapat kekuasaan. Rakyat hanya dibutuhkan ketika mendekati pemilu saja dengan beragam janji manis. Namun, setelah mendapatkan kekuasaan, mereka lupa dengan janjinya. 

Begitu pun menjelang tahun politik ini, penangkapan teroris menjadi isu strategis. Tujuannya adalah untuk menggiring pemahaman bahwa kelompok Islam yang ingin menegakkan syariat Islam sangat berbahaya dan bukan merupakan pilihan yang tepat untuk memimpin dalam pemerintahan saat ini. 

Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi kapitalis tidak akan memberikan tempat bagi umat Islam. Sistem demokrasi adalah sistem yang rusak dan tidak layak untuk dijadikan sebagai jalan untuk membawa perubahan yang hakiki dan tidak akan membawa pada kebangkitan. 

Kepemimpinan dalam Islam

Masyarakat seharusnya menyadari bahwa saat ini kita butuh pemimpin dan sistem yang bisa menyelesaikan semua permasalahan. Namun, hanya pemimpin  yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. 

Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Rasulullah bersabda," Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya." (HR. Muslim)

Di dalam Islam, ada hal yang wajib dilaksanakan oleh seorang pemimpin, yaitu menjadikan keimanan sebagai pondasi atas segala tindak-tanduknya. Artinya, ketika ia memimpin, seluruh aktivitasnya akan bersandar pada Islam semata, termasuk seluruh kebijakan yang ditetapkan sehingga mengantarkan pada kesejahteraan rakyat. 

Tentunya, agar syariat Islam bisa dijalankan dengan baik, maka sistem pemerintahan yang digunakan haruslah yang sesuai, yaitu sistem pemerintahan Islam. 

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Yanik Inaku
Anggota Komunitas Setajam Pena



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab