Tinta Media: tapera
Tampilkan postingan dengan label tapera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tapera. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Juli 2024

Tapera Salahnya di Mana?

Tinta Media - Belakangan ini tengah ramai para pengusaha dan buruh menolak diadakannya pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Kebijakan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menekennya. 

Kebijakan ini menuai berbagai penolakan. Pasalnya, peraturan pemerintah ini mewajibkan pemotongan gaji pekerja swasta 2,5% dan 0,5% pungutan dari perusahaan swasta untuk membantu pembelian rumah. Tentu saja hal ini justru semakin menambah beban rakyat. 

Potongan gaji sebesar 3% sebagai pungutan Tapera ini akan menambah deretan panjang potongan gaji karyawan. Pasalnya, hal itu bersamaan dengan potongan yang lainnya, seperti pungutan BPJS kesehatan, pensiun hingga jaminan hari tua, PPH, PPN sehingga sangat terasa mencekik rakyat, baik kelas atas, menengah, ataupun kelas bawah.

Dilansir dari SINDOnews.com (30/5/2024), banyak orang yang mulai penasaran berapa gaji anggota komite dan jajaran komisioner dan deputi komisioner BP Tapera. Gaji para pegawai Tapera diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang honorarium, insentif, dan manfaat tambahan lainnya. Bahkan, dalam setiap bulannya gaji para pegawai BP Tapera bisa mencapai higga Rp43 juta rupiah.

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan bahwa hitungan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera ) sebesar 3% tidak masuk akal. Tidak ada kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung. 

Mengingat Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000. Apakah ada  dalam 20 tahun ke depan rumah dengan harga sekian? (INDOnews.com, 29/5/2024)

Tapera Solusi Tidak Tepat

Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat yaitu program untuk memenuhi kebutuhan rumah setiap orang agar dapat hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan bisa mendapatkan lingkungan hidup yang layak. Diduga, Tapera hanya dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemungutannya setelah kepesertaan berakhir. Namun, bukannya disetujui banyak kalangan, kebijakan ini malah ditentang banyak pihak, dengan alasan:

Pertama, para pekerja dengan deretan potongan gaji semakin panjang, gajinya tidak sebanding dengan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.

Kedua, Tapera sangat berpeluang menjadi lahan baru untuk korupsi. Dengan simpanan yang begitu panjang, tidak ada yang bisa menjamin dana simpanan tetap diam di tempatnya. Apalagi, Tapera yang sifatnya wajib makin membuat masyarakat curiga apalagi dalam pengelolaannya yang tidak jelas.

Ketiga, bukankah setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak, termasuk perumahan? Akan tetapi, mengapa hak itu menjelma menjadi kewajiban yang menuntut masyarakat untuk bekerja keras memenuhi kebutuhannya sendiri, melayani dirinya sendiri? Bukankah tugas negara adalah melayani dan melindungi warga negara? .

Hal ini dikarenakan negara tidak paham tugasnya sebagai pengatur dan pelayan rakyat. Negara hari ini mengusung sistem kapitalisme yang mengukur semua dari untung dan rugi dalam mencari materi. Sehingga, mindset para pemimpin negara adalah bagaimana memfasilitasi rakyat dengan uang rakyat sendiri.

Hal ini tentu berbeda dalam pandangan Islam yang menjadikan rumah sebagai salah satu  kebutuhan pokok yang wajib untuk dipenuhi oleh negara tanpa harus ada pungutan. Hal ini karena negara dalam Islam adalah pengurus rakyat. 

Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari)

Hal ini membuktikan bahwa negara Islam bukan pengumpul dana rakyat. Negara hanya bertugas memenuhi kebutuhan rakyat dengan memberikan kemudahan dalam pembelian tanah dan bangunan dengan harga yang sangat terjangkau atau murah. Negara  juga memenuhi kebutuhan pokok yang lain seperti sandang, pangan dengan menetapkan kebijakan pangan yang murah. Mencari nafkah mudah sebab negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.

Tugas seorang pemimpin yaitu memberikan kenyamanan bagi rakyat, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam riwayat Muslim. 

Dari ‘Aisyah, Rasulullah ﷺ bersabda, 

“Ya Allah, barang siapa  yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.”

Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tepat ketika sistem Islam dipakai dan diwujudkan dengan sempurna dalam kehidupan. Wallahualam bisawab.


Oleh: Wilda Nusva Lilasari S. M
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 15 Juni 2024

Tapera Menambah Daftar Beban Rakyat


Tinta Media - Peraturan Pemerintah (PP) 21 tahun 2024 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat masih ramai diperbincangkan. Pasalnya, pemotongan gaji 3% yang bersifat wajib bagi pekerja seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, berusia 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar sangat tidak masuk akal.

Faisal Basri, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance mengatakan bahwa program iuran Tapera sangat aneh karena sifatnya wajib bagi semua pekerja. Pekerja yg sudah memiliki rumah tidak mendapatkan manfaat dari program itu. 

Demo buruh menolak Tapera (6/6/2024) dilakukan  di depan istana negara oleh massa Konfederasi  Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan partai Buruh. Presiden KSPI, Said Iqbal menilai bahwa program Tapera menjadikan pemerintah lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah bagi rakyat Indonesia.  

Kewajiban iuran Tapera dari negara semakin menambah beban hidup rakyat. Sebelum program Tapera ini diundangkan, rakyat sudah dibebani dengan iuran-iuran wajib lainnya, seperti iuran BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Pajak penghasilan, dan ditambah dengan beban iuran Tapera.

Tambahan pemotongan gaji semakin memberatkan rakyat di tengah kebutuhan harga bahan pokok yang selalu naik. Rakyat harus memeras pikiran untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Belum lagi biaya transportasi, pendidikan, dan cicilan lainnya. Tidak hanya itu, peserta yang sudah memiliki rumah juga harus membayar iuran program ini.

Memang, dalam sistem kapitalis sekuler, semua dinilai dari kacamata untung dan rugi, bukan halal dan haram. Hasil penerapan sistem kapitalisme menjadikan negara pelayan korporasi, bukan pelayan rakyat. Akibatnya, rakyat terpaksa bergotong-royong memenuhi kebutuhan hunian di tengah impitan ekonomi yang sulit, sehingga negara menjadi abai terhadap pemenuhan kebutuhan papan rakyat. 

Ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara menjadi pelayan rakyat. Negara memastikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dari sisi sandang, pangan, dan papan yang mudah didapatkan dan tidak membebani rakyat. Negara memudahkan akses kesehatan, pendidikan, serta hunian. 

Dalam sistem Islam, negara juga mengatur kepemilikan dan pengelolaan lahan. Individu yang memiliki lahan harus memanfaatkan lahannya, baik yang berjumlah sedikit ataupun banyak. 

Jika didapati individu lalai dalam mengelola lahan kepemilikannya, seperti tidak digunakan atau tidak untuk aktivitas produktif selama 3 tahun, maka negara berhak mencabut kepemilikan tersebut. Aturan syariat atas kepemilikan lahan meminimalkan terjadi aktivitas dominasi lahan oleh segelintir orang yang dapat berdampak pada monopoli lahan yang sering terjadi dalam sistem kapitalis.

Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya." (HR Bukhari)


Oleh: Rinta Rizkya
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 12 Juni 2024

Tapera Tak Ubahnya Pemalakan pada Rakyat


Tinta Media - Saya setuju dengan pernyataan Ono Surono, Ketua DPD Jabar yang mengatakan bahwa Tapera menambah beban  para pekerja, padahal mereka sudah mempunyai kewajiban lain, termasuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Dalam pernyataannya, Ono Surono juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap pekerja membayar iuran Tapera sebesar 2.5% dari gaji yang diterima.  Ia meminta pemerintah untuk tidak memaksakan kebijakan tersebut karena gaji para pekerja yang sedikit akan makin berkurang. Lalu, iuran Tapera sebesar 0.5% yang dibebankan pada pengusaha juga bisa berdampak pada penurunan insentif bagi para pekerja (detikjabar, 30/5/2024 ).

Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) adalah program pemerintah untuk mengadakan kepemilikan rumah bagi pekerja dengan harga murah dan terjangkau, serta bunga yang rendah. Tabungan  akan dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.  

Tapera pertama kali digulirkan tahun 2020 berdasarkan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2020. Pada tahun 2024, Presiden Jokowi mengubah PP 25 /2020 menjadi PP no 21/2024 yang mewajibkan seluruh karyawan ikut penyelenggaraan Tapera (AYOBANDUNG.com, 30/5/2024).

Kriteria pekerja yang harus ikut Tapera adalah usia minimum 20 tahun, sudah menikah, dan memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum daerahnya. 

Golongan pekerja yang otomatis ikut Tapera adalah Pegawai Negeri Sipil, anggota Polri dan TNI, Karyawan BUMN, Karyawan BUMD dan BUMDES, pegawai mandiri, pekerja di sektor informal, dan WNA yang memegang VISA kerja di Indonesia. Dengan demikian, setiap pekerja yang menerima upah, wajib ikut Tapera.

Tapera tidak ubahnya pemalakan oleh pemerintah kepada rakyat karena adanya kewajiban pada setiap pekerja untuk menyetor uang 2.5% gaji. Rakyat tidak diberi pilihan, padahal selama ini sudah ada pemotongan gaji setiap bulannya, seperti BPJS Kesehatan 1%, BPJS ketenagakerjaan JHT  2%, BPJS Jaminan Pensiun 1%, BPJS Jaminan Kematian 0.3% dan BPJS ketenagakerjaan JKK  1.74%. Sekarang akan  ditambah lagi pemotongan untuk Tapera 2.5%. 

Gaji pekerja di Kab. Bandung sesuai UMR saat ini  Rp3.527.967. bila dipotong serentetan iuran itu, maka uang yang diterima pekerja tinggal Rp3.253.261.  Di tengah kondisi serba mahal seperti saat ini, beban para pekerja semakin berat.  Belum lagi biaya untuk makan sehari-hari, biaya pendidikan anak, transportasi, kesehatan, dan lainnya. Maka, pantas bila Tapera mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan. Para pekerja pun menolaknya.

Mirah Sumirat, Ketua Asosiasi Serikat Pekerja menyampaikan kritiknya, bahwa  seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab dan wajib menyediakan perumahan untuk rakyat, bukan main potong gaji pekerja. Tindakan itu sama saja dengan memiskinkan rakyat secara perlahan. 

Muslimah news.net (1/6/2024) menyoroti dana Tapera yang terkumpul dari seluruh pekerja di Indonesia pasti akan besar sekali jumlahnya, bahkan mencapai milyaran rupiah. Hal ini berpotensi menjadi lahan baru korupsi karena masa tabungan akan lama.  Rasanya kecurigaan itu beralasan karena faktanya, pada tahun 2021 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 124.960 pensiunan belum menerima pengembalian dana Tapera yang nilai totalnya mencapai Rp567.5 Miliar  (detikProperti, 3/6/24 ). Ke mana larinya uang nasabah?

Kegaduhan yang ditimbulkan Tapera menunjukkan kepedulian dan kepekaan penguasa sangat minim.  Penguasa telah berbuat zalim kepada rakyat. Angka 2.5% memang terlihat kecil, tetapi bagi pekerja yang gajinya di bawah UMK, gaji utuh saja tidak mencukupi, apalagi kalau dipotong 2.5%.  Seharusnya iuran yang sifatnya menabung tidak dipaksa untuk membayar, apalagi dengan memotong gaji pekerja tanpa izin. Sedangkan negara sendiri belum optimal memberikan pelayanan kepada rakyat. 

Pemaksaan ikut Tapera ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan sistem kapitalisme hanya ingin mengumpulkan uang rakyat, sedang peruntukan dan pengelolaannya tidak jelas, kapan dapat rumahnya, di mana lokasinya, berapa jarak dari tempat kerja, dsb. 

Negara hanya sekadar regulator, tidak peduli dengan sulitnya hidup rakyat. Tapera adalah bentuk lepas tangan negara dalam membantu rakyat untuk memiliki tempat tinggal. Rakyat dipaksa saling menanggung beban, seperti BPJS. Rakyat yang tidak sakit membiayai yang sakit. Pemerintah hanya mengatur jalurnya saja.

Berlainan dengan Sistem Islam, pemimpin (khilafah ) akan hadir memberi layanan sebaik mungkin karena tugasnya adalah mengurus urusan rakyat (raa'in), bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Rasulullah saw. bersabda,

"Imam  adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR Bukhari).

Dalam Islam, rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Maka, sudah seharusnya pengadaan perumahan rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah (khilafah), tanpa adanya iuran wajib. Semua ditanggung negara. Khilafah bukan bertindak sebagai pengumpul dana rakyat, melainkan bertugas memenuhi kebutuhan rakyat.

Islam mewajibkan khilafah membantu rakyat untuk memiliki tempat tinggal dengan cara:

Pertama, menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga setiap kepala keluarga mempunyai pekerjaan atau penghasilan.

Kedua, khilafah melarang praktik ribawi dalam kepemilikan rumah dan menghilangkan kepemilikan lahan yang luas oleh swasta/ korporasi, karena khilafah akan mengutamakan kepemilikan lahan untuk rakyat yang mampu mengelolanya. 

Ketiga, baitul maal akan membantu rakyat dengan subsidi bagi kepemilikan rumah.

Sungguh, hanya dengan sistem Islam hidup rakyat terjamin. Rakyat memiliki rumah tanpa memberatkan rakyat yang lain. Khilafah berperan sebagai raa'in yang adil dengan tujuan meraih rida Allah Swt. Wallahu alam bisshawab.


Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media

Selasa, 11 Juni 2024

Pengamat: Ada Mobilisasi Dana Rakyat melalui Tapera oleh Pemerintah?


Tinta Media - Menanggapi kebijakan pemerintah yang mewajibkan seluruh pekerja mengikuti program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), Pengamat Ekonomi Syariah Ustazah Nida Sa'adah, SE.Ak., MEI., menduga ada mobilisasi dana dari rakyat oleh pemerintah.

"Kalau bahasa yang digunakan pemerintah terkait latar belakang kebijakan Tapera adalah ketersediaan rumah, sementara rakyat yang sudah memiliki rumah juga harus ikut program ini, maka diduga dengan jelas bahwa ada kebutuhan pemerintah untuk memobilisasi dana dari masyarakat," tutur Ustazah Nida kepada Tinta Media, Jumat (07/06/2024).

Terlebih, lanjutnya, badan pengelola Tapera jelas-jelas dari pemerintah, yaitu Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, pejabat dari Otoritas Jasa Keuangan, dan juga profesional. "Jadi, terlihat jelas bahwa pengelola dana Tapera ini adalah pemerintah," ungkapnya.

Ustazah Nida Sa'adah mengatakan, ketika suatu negara berencana untuk menarik banyak pungutan selain pajak yang sebetulnya sudah sangat memberatkan bagi masyarakat, ini bisa menjadi indikator bahwa ada masalah dalam sistem keuangan negara itu, sehingga membutuhkan banyak pemasukan dari sumber-sumber yang lain

Ketika ditanya bagaimana perspektif Islam terhadap situasi ini, Ustazah Nida Sa'adah menjelaskan bahwa ada banyak hal yang bisa diurai, pertama dari aspek sistem keuangan negara.

"Kalau kita menggunakan sistem syariat Islam, niscaya keruwetan sistem Tapera ini tidak akan pernah terjadi," ujar Ustazah Nida.

Ustazah Nida juga menjelaskan bahwa dalam sistem keuangan negara Islam yang dipraktikkan dalam sistem kenegaraan Rasulullah, dilanjutkan dengan para khalifah sepeninggal beliau, serta menggantikan posisi beliau sebagai kepala negara dengan meneruskan penerapan Islam secara kaffah, ada model keuangan negara yang disebut dengan Baitul Mal.

Dalam sistem keuangan Baitul Mal ini, pungutan yang dibebankan kepada masyarakat atau rakyat dari negara khilafah Islam tidak ada. Kalaupun ada, penarikan harta dari rakyat betul-betul dengan mekanisme bahwa harta itu memang berlebih dari income yang dimiliki oleh masyarakat.

"Jadi, ia memang tidak membutuhkan harta itu. Misalnya, penarikan harta zakat mal dengan mekanisme nishab. Maka, siapa pun yang mencapai batas nisab dan tidak membutuhkan harta itu karena berlebih, maka bisa dialokasikan untuk yang lain. Jadi, tidak pernah terjadi dalam sistem keuangan Baitul Mal, income yang sudah kecil harus dipotong lagi dengan berbagai pungutan oleh negara," papar Ustazah Nida.

Dalam kesempatan itu, Ustazah Nida Sa'adah juga mengungkapkan kekhawatirannya. "Kalau suatu negara semakin banyak memberlakukan pungutan kepada rakyat, berarti memang ada masalah dalam sistem keuangan negara itu."

Perspektif Islam yang kedua, menurut Ustazah Nida terkait persoalan Tapera ini adalah dari sisi  mekanisme transaksinya. Menurut Ustazah Nida, Tapera, meskipun namanya tabungan perumahan rakyat, tetapi mekanismenya sama persis dengan sistem asuransi. Dalam sistem ini, rakyat atau peserta program diminta membayar sejumlah tertentu secara rutin dan bersifat wajib. Dana itu nantinya bisa dicairkan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ini sama persis dengan mekanisme asuransi, sekalipun diberi nama tabungan.

“Asuransi sendiri kalau dibahas dari sudut pandang Islam hukumnya adalah haram. Belum lagi di dalam asuransi itu dikenakan tingkat suku bunga. Berarti di situ juga ada riba. Jadi, ada haram dari aspek asuransinya dan haram dari aspek pemberlakuan riba di dalam transaksi itu. Dalam kacamata Islam, ini adalah jenis akad transaksi yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim karena melanggar mekanisme transaksi akad syari'ah," jelas Ustazah Nida.

Perspektif Islam yang ketiga, menurut Ustazah Nida adalah ditinjau dari strategi pemenuhan kebutuhan pokok di dalam Islam.  Maka, banyak literatur sistem ekonomi Islam yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, dalam hal ini berarti rumah. Ini sama sekali berbeda dengan program tapera.

Ustazah Nida menjelaskan bahwa mekanisme yang diberikan Islam terkait perumahan ini ada dua.

Pertama, mekanisme ekonomi. Mekanisme ini hanya diberlakukan bagi orang yang mampu untuk masuk ke dalam sektor ekonomi dengan cara bekerja. Yang paling penting di sini, masyarakat harus memahami bahwa kewajiban bekerja dalam Islam hanya diberikan kepada laki-laki, sedangkan perempuan kewajibannya adalah mendapatkan nafkah, bukan bekerja.

Jadi, bagi siapa pun laki-laki yang mampu, dalam arti tidak ada hambatan secara fisik, usianya tidak sangat uzur, masih survive dan mempunyai kekuatan fisik, berarti dia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan mendasar.

Kedua, mekanisme non-ekonomi. Berbagai kebutuhan pokok untuk bisa membangun rumah, seperti kayu, besi, paku, genteng, termasuk tanah dan lain sebagainya, diatur dengan regulasi Islam sehingga bisa didapatkan dengan sangat murah. Bahkan, itu bisa didapatkan dari pemberian negara, misal tanah.

Negara akan memberikan tanah secara gratis bagi rakyat yang betul-betul membutuhkan. Dengan begitu, alokasi income-nya bisa dipakai untuk membeli kayu dan lain-lain dengan harga yang sangat murah.

"Jika berbicara kayu, berarti kita berbicara pohon dari hutan. Bicara tentang besi, paku, aluminium, dll. berarti kita sedang berbicara tentang bahan tambang yang jika dikelola sesuai dengan Syariat Islam, maka harga jualnya semata-mata untuk menutupi biaya produksi, tidak boleh mengambil profit dari pengelolaan barang tambang itu," papar Ustazah Nida.

Menurutnya, mendapatkan rumah dengan regulasi ekonomi yang ditata dengan Syariat Islam sangat mudah dan murah. Masyarakat tidak membutuhkan waktu puluhan tahun untuk memiliki sebuah rumah, termasuk tanah untuk dibangun rumah di atasnya

"Dari sini bisa dilihat bahwa problem besar terkait sulitnya mendapatkan rumah adalah karena sistem ekonomi yang dijalankan di dalam negeri yang mayoritas muslim ini tidak menggunakan sistem ekonomi Islam yang berasal dari Allah Pencipta semesta alam," terangnya.

Ia menilai kesalahan besarnya adalah karena berbagai bahan dasar untuk membuat rumah tidak dikelola dengan Syariat Islam. Kondisi ini diperparah dengan sistem politik bernegara yang juga tidak menggunakan Syariat Islam, sehingga ketika negara mengurusi urusan rakyat, perspektif yang dipakai adalah bagaimana menyediakan kebutuhan masyarakat layaknya hubungan antara pembeli dan penjual, bukan sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Harusnya, pemerintah atau penguasa melayani apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.

"Jadi, ada mekanisme berupa subsidi murni dari negara bagi rakyat yang memang sangat tidak mampu, bukan diminta menabung. Solusinya adalah mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar melalui i'tha' atau pemberian dari sistem keuangan negara Baitul Mal," ungkapnya.

Terakhir, ketika ditanya tentang bagaimana seharusnya sikap masyarakat menghadapi persoalan-persoalan Tapera ini, Ustazah Nida menjelaskan, karena akadnya melanggar syariat, yaitu ada model asuransi dan ada penerapan riba meski namanya tabungan, maka secara fiqih hukumnya tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim.

"Seharusnya kita bersikap sebagaimana sikap seorang muslim, yaitu tidak melanggar aturan Allah. Bahkan, jika di situ ada kemungkaran atau hal yang bertentangan dengan syariat, maka wajib bagi kita untuk menyuarakan kezaliman itu," pungkasnya.[] Ida Royanti

Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat atau Taktik Pencekik Rakyat?



Tinta Media - Jangan salahkan sebagian besar umat apabila memandang kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini bukan solusi untuk menyelesaikan akar masalah, tetapi justru membuat masalah semakin banyak cabangnya. 

Belum lama ini pemerintah membuat kebijakan atau keputusan terkait tabungan perumahan untuk rakyat yang disingkat dengan Tapera. Benarkah Tapera merupakan tabungan perumahan untuk rakyat, atau hanya taktik dari pemerintah zalim dalam menguras uang rakyat dengan dalih tabungan?

Tapera dimaksudkan untuk pengadaan rumah bagi masyarakat yang belum mempunyai rumah. Dana ini dikumpulkan dari pemotongan gaji para pegawai negeri atau PNS dan para pekerja buruh pabrik, PNS TNI/polri. Kisaran iuran Tapera yang dipotong sebesar 3% persen dari pendapatan setiap kepala keluarga. 

Secara hitungan matematis, mekanisme ini tidak masuk akal sehat. Seperti yang dilansir oleh Sindo news, Rabu (29-05-2024), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti hitungan iuran peserta Tapera tidak akan mampu mencukupi buruh untuk memiliki rumah saat pensiun atau di-PHK. 

Sebagian masyarakat atau umat menilai kebijakan ini bukanlah solusi tepat untuk mengatasi persoalan rumah layak huni bagi masyarakat. Adanya tabungan bersama ini justru menimbulkan masalah baru yang semakin mencekik perekonomian rakyat yang sudah morat-marit. 

Jauh sebelum Tapera, kita mengetahui bahwa pemerintah telah melahirkan kebijakan menggunakan uang masyarakat untuk bidang kesehatan yang disebut BPJS. Apakah iuran tersebut sudah berjalan sesuai harapan masyarakat? 
Tidak kalah pentingnya, apakah potongan dari upa buruh, PNS, TNI, dan lainnya untuk menabung ini sudah sesuai Syari'at Islam?

Umat Islam sudah semakin cerdas, pandai dalam berpikir, dan mengambil keputusan. Ini terbukti dengan adanya berbagai macam penolakan dari beberapa pihak. Meskipun mereka belum seratus persen memahami Islam secara kaffah, umat manusia khususnya umat Islam sejatinya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Di sinilah perlunya pemahaman Islam yang secara menyeluruh. 

Umat perlu dipahamkan bahwa Islam tidak hanya mengatur soal ibadah salat, zakat, puasa, kurban, ataupun haji saja. Islam itu luas. Urusan WC saja diatur, apalagi soal kesehatan, kebersihan, pendidikan, perekonomian, kewarganegaraan, keamanan, dan lain sebagainya.

Kita sebagai umat Islam wajib menaati aturan hakiki yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Aturan ini terdapat dalam Al-Qur'an, hadis Nabi, ijma' sahabat, dan kias. Aturan atau kewajiban ini juga berlaku bagi para pemimpin negeri. 

Dalam kepengurusan negaranya, pemerintah juga wajib menaati aturan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai konsekuensi keimanan yang diyakini. Sebagai masyarakat, kita wajib menaati pemerintah selama mereka juga taat akan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah , 

Sebagai seorang muslim, kita juga wajib untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Baik dan benar di sini bukan berdasarkan pemikiran manusia yang memperturutkan hawa nafsu, melainkan berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari kalamullah. 

Allah Swt. berfirman, yang artinya:

"Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang zalim." TQS Al-Maidah ayat 47.

Dalam surat An Nisa Allah Swt. juga berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah dan taatilah Rasulullah (Muhammad) serta Ulil Amri yang berkuasa di antara kalian." TQS an-Nisa' ayat ke 59. 

Ini sejalan dengan penjelasan imIman asy-Syaukani rahimakumullah yang berkata, 

"Ulil amri adalah para imam, para sultan, para qadhi (hakim), dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar'i, bukan kekuasaan bangsa thaghut." (asy-Syaukani Fath al-Qadiir, 1/556)

Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyiapan dan penyediaan rumah untuk rakyat dengan murah sebagaimana program kesehatan, dan ketersediaan pangan. 

Dalam ajaran Islam, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah kewajiban bagi negara untuk mewujudkannya. Pemimpin adalah pelayan, pelindung, dan perisai umat. 

Rasulullah saw. telah bersabda, yang artinya:

"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung atas rakyat yang diurusnya." HR Al-Buchori.

Islam telah terbukti nyata mampu menjaga, melindungi, dan mengurus semuanya selama seribu tiga ratus tahun lamanya. Dalam Islam, menjadi rahmat seluruh alam bukan hanya di negeri-negeri Arab saja. Akan tetapi, syariat Islam telah berhasil ditegakkan dan menjangkau dua pertiga bumi/dunia. Segala bentuk kezaliman dapat diantisipasi atau diminimalisir terjadinya, yaitu dengan sanksi yang juga mampu memberikan efek jera. Dengan pendidikan berbasiskan islamiah sesuai metode Rasulullah, umat terjaga, terlindungi dan terhindar dari pemikiran sekuler yang tidak melibatkan aturan Islam dalam kehidupan. Wallahu alam bissawab


Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab