Ekonomi Sulit, Lapangan Pekerjaan Kian Sempit
Tinta Media - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi melaporkan bahwa 11 warga dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, diduga terjebak dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan disekap di Myanmar. Menurut Jejen, mereka awalnya ditawari pekerjaan sebagai tenaga administrasi atau pelayan investasi di bidang mata uang kripto di Thailand. Namun, akhirnya mereka dibawa ke Myawaddy, Myanmar, dan dipaksa menjadi penipu daring (scammer). (Antara News, 11-09-2024)
Lapangan pekerjaan yang semakin menyempit membuat warga harus berpikir lebih keras untuk mendapatkan mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Dalam situasi ekonomi yang sulit, banyak orang berusaha mencari peluang kerja di sektor-sektor yang mungkin sebelumnya tidak mereka pertimbangkan. Namun, meskipun berhasil mendapatkan pekerjaan, sering kali upah yang diterima tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan dan tidak mencerminkan standar hidup yang layak.
Ketidakadilan dalam sistem pengupahan ini semakin menambah beban, mendorong banyak orang untuk mencari alternatif lain demi memastikan keluarga mereka tetap bisa bertahan hidup.
Saat menerima informasi mengenai peluang pekerjaan dengan upah yang jauh lebih besar, banyak orang dengan semangat membabi buta mengejar kesempatan tersebut, meskipun terdengar mustahil. Dalam kondisi yang terdesak, keinginan untuk meningkatkan taraf hidup sering kali membuat mereka mengabaikan analisis yang lebih mendalam tentang informasi yang diterima. Tanpa melakukan pengecekan secara holistik, mereka terjerumus ke dalam keputusan yang berisiko.
Banyak pejuang rupiah yang rela meninggalkan sanak keluarga dan kenyamanan rumah di tanah air, berpindah ke luar negeri dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang menawarkan imbalan finansial yang lebih baik. Namun, mereka sering kali tidak menyadari bahwa perjalanan ini bisa membawa tantangan besar, termasuk eksploitasi dan ketidakpastian, yang bisa mengancam kesejahteraan.
Maka, tidak heran jika warga yang diupah secara tidak wajar berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi, termasuk risiko perdagangan manusia. Situasi ini membuat mereka mudah terjebak dalam jerat sindikat yang menawarkan janji-janji manis tentang pekerjaan dengan imbalan tinggi, tetapi sebenarnya berpotensi terjerumus ke dalam praktik yang melanggar hak asasi manusia.
Hal ini menandakan bahwa negara telah gagal total dalam menyejahterakan kehidupan warga negara. Ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja yang layak membuat mereka terjerumus ke dalam siklus eksploitasi yang lebih dalam, yang semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi mereka.
Islam sebagai pandangan hidup yang sempurna memiliki paradigma yang khas. Dalam Islam, pekerja akan mendapatkan upah yang pantas sesuai dengan apa yang ia kerjakan. Antara pekerja dan pemberi kerja terikat dengan perjanjian (akad) mengena jenis pekeraan, upah, waktu kerja, dll. Dengan begitu, roda perekonomian berjalan dengan adil karena rida dan ikhlas menjadi pondasi ikatan antara pekerja dan pemberi kerja.
Negara dengan sistem Islam melantik orang yang ahli tentang pengupahan. Dengan begitu, antara pemberi kerja dan pekerja tidak berbuat sewenang-wenang. Selain itu, negara memberikan jaminan papan, pendidikan, sandang, pangan, keamanan, dan kesehatan. Negara menjamin semua kebutuhan tersebut, sehingga masyarakat tidak perlu berpikir untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Fakir miskin akan mendapatkan bantuan zakat sampai mereka keluar dari kemiskinan.
Jika masyarakat masih berpihak kepada sistem kapitalisme, tenaga mereka akan terus diperas tanpa ampun dan upah yang didapat pun tidak setara. Ini akan menimbulkan ketidakadilan karena kapitalisme selalu berpihak kepada pemilik modal, para pekerja hanya dianggap instrumen belaka. Karena itu, solusi secara komperhensif agar para pekerja mendapatkan keadilan bahkan bisa mendapat lebih dari itu adalah dengan menerapkan aturan Islam.
Oleh: Shira Tara
Sahabat Tinta Media