Tinta Media: suara
Tampilkan postingan dengan label suara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suara. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Februari 2024

Kenaikan Gaji ASN untuk Menaikkan Kinerja atau Suara?



Tinta Media - Di tengah tingginya gelombang PHK saat ini pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan gaji ASN. Padahal Presiden Jokowi telah meneken peraturan tentang kenaikan gaji PNS, PPPK , TNI serta Polri sebesar 8 %. Ini tertuang di dalam peraturan Nomor 10 tahun 2024 tentang penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negara Sipil menurut peraturan pemerintahan Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan kedelapan belas Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS ke dalam gaji pokok. 

Apa sebenarnya yang menjadi alasan naiknya gaji ASN? Apakah kenaikan gaji ini di berikan untuk meningkatkan kinerja para ASN atau sebagai strategi untuk mendulang suara bagi pasangan Capres-Cawapres tertentu? Sudah bukan rahasia lagi kenaikan gaji ASN demi mendulang suara di pemilu adalah cara lama dan sudah berlangsung sejak orde baru, karena sudah bisa di prediksi hasil akhir perolehan suara dari kalangan mereka. 

Kebijakan ini ibarat kebijakan populis yang sarat dengan konflik kepentingan di tengah tahun politik. Di sistem kapitalis yang berasas manfaat segala sesuatu yang di anggap bermanfaat pasti akan di ambil meski harus menghalalkan segala cara. Dan kebijakan kenaikan gaji ASN di tetapkan pasti berdasarkan asas manfaat pula. Mengingat beberapa tahun ke belakang tidak adanya kenaikan sama sekali. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang penentuan upah pekerja berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pihak pengontrak kerja dengan besaran upah yang di sebutkan sehingga keduanya terikat dengan upah tersebut. Jika keduanya tidak sepakat atas suatu besaran upah, maka besaran upah tersebut ditentukan menurut para ahli di pasar umum/bursa terhadap manfaat kerja tersebut. 

Negara yang menerapkan Islam secara kaffah yang memakai sistem ekonomi Islam memiliki politik ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dan jaminan kesejahteraan tidak hanya melalui gaji tetapi adanya jaminan kebutuhan pokok. Jaminan layanan kesehatan serta jaminan pendidikan dan semua ini menjadi tanggung jawab negara. 

Yuk kita optimalkan gerak kita untuk segera meraih kemenangan Islam. Karena hanya Islam yang mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya dan yang mampu memberikan solusi yang tepat. 

Wallahu'alam bi ash-shawab



Oleh: Ummu Arkaan
Sahabat Tinta Media 

Senin, 12 Februari 2024

Bansos: Alat Politik untuk Memenangkan Suara atau Solusi untuk Kemiskinan?



Tinta Media - Presiden Jokowi telah memberikan berbagai bantuan sosial (bansos) sejak akhir tahun lalu, seperti bantuan pangan berupa beras 10 kg, BLT El Nino Rp 200 ribu per bulan, dan BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan. Menurutnya, bansos tersebut bertujuan untuk menguatkan daya beli masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah, di tengah kenaikan harga pangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.
(detik.com 2/2/2024) 

Kendati Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemberian bansos sama sekali tidak berkaitan dengan keuntungan politik bagi paslon tertentu dalam Pemilu 2024 dan sudah melalui persetujuan mekanisme dari DPR dan dana APBN. Namun, penyaluran bansos tersebut dianggap sebagai alat politik untuk memenangkan suara dalam Pemilu. 

Hal itu bisa di katakan wajar terjadi, akibat sebagian orang beranggapan bahwa pemberian bansos merupakan cara untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Oleh karena telah banyak pihak-pihak yang mencoba memanipulasi penyaluran bansos dengan memprioritaskan penerima bansos yang akan memberikan dukungannya pada calon tertentu dalam pemilihan. 

Hal ini menunjukkan bahwa dalam era demokrasi, kekuasaan dianggap sebagai sumber tujuan yang harus diperoleh dengan segala cara. Sebagai sistem politik yang menganut kebebasan, segala peluang akan dimanfaatkan. Namun, pada kenyataannya sistem ini jelas-jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. 

Kemiskinan merupakan masalah kronis di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar permasalahan. Mereka harus memahami bahwa memberikan bantuan sosial (bansos) saja sepanjang waktu tidak akan memberikan perubahan besar. Terlebih lagi, semakin banyak bantuan sosial yang diberikan menjelang pemilihan umum, semakin meresahkan masyarakat karena bantuan tersebut cenderung disalahgunakan oleh sejumlah orang. 

Di sisi lain, kesadaran politik yang rendah, rendahnya pendidikan, dan kemiskinan yang menimpa, membuat masyarakat berpikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan pasti lebih membutuhkan bantuan dan saat bantuan tersebut diberikan, maka mereka akan cenderung menaruh harapan dan akan tergantung pada pemberi bantuan tersebut. Masyarakat juga akan cenderung menjadi pemilih yang mudah dipengaruhi atau bahkan dibeli dengan pemberian bantuan sosial. 

Maka jika kita bertanya, mungkinkah kesejahteraan bisa didapatkan dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini? Tentu saja tidak. Karena demokrasi cenderung mendukung kekuatan kapitalis yang mempromosikan liberalisasi pasar dan perdagangan bebas, sehingga mengabaikan kelompok yang lebih lemah. Itulah mengapa kemiskinan masih tinggi secara relatif dan sulit untuk diatasi, sebab negara selalu tunduk pada kekuatan pasar. 

Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan paradigma Islam. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan rakyat satu per satu. Selain itu, pemimpin dalam Islam adalah raa'in atau pengurus urusan umat sehingga harus aktif mencampuri kehidupan rakyatnya, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan. Melalui berbagai mekanisme yang sejalan dengan metode Islam untuk mencapai keberhasilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, melalui sistem ekonomi Islam. 

Keunggulan sistem ekonomi Islam terlihat  dari pengaturan dan pemisahan kepemilikan harta secara jelas, pengelolaan harta dengan mengutamakan pembelanjaan wajib, sunnah, dan mubah, distribusi kekayaan secara adil tanpa penimbunan, memajukan sektor riil yang tidak eksploitatif, menciptakan mekanisme pasar internasional yang adil tanpa intervensi harga dan memberikan sanksi ta'zir pada pemanfaatan harta haram, dan menerapkan mata uang berbasis emas dan perak sebagai alat tukar internasional yang universal. Semua ini bertujuan mencapai kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan. 

Islam pun mengajarkan bahwa segala bentuk kekuasaan adalah amanah, dan penguasa harus bertanggung jawab di hadapan Allah SWT. Dalam artian, penguasa wajib mengurus rakyat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, negara juga harus mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam, termasuk dalam memilih pemimpin. Hal ini bertujuan agar rakyat memiliki kesadaran atas kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang menjalankan amanah dan jujur, jelas akan lebih berkualitas, karena keimanannya dan takwa kepada Allah SWT, serta memiliki kompetensi sebagai bekal dalam memimpin tanpa perlu pencitraan agar disukai rakyat. 

Oleh karena itu, dalam rangka mengentaskan kemiskinan, negara perlu memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sebab salah satu faktor rendahnya kesadaran politik adalah kurangnya pendidikan dan informasi yang benar. Dengan pendidikan yang layak dan berkualitas, masyarakat akan lebih mudah memahami situasi politik dan lingkungannya. Ini akan meningkatkan kesadaran politik mereka dan membuat mereka lebih mudah untuk memilih calon pemimpin yang kompeten dan berkualitas. 

Dalam kesimpulannya, keberhasilan sebuah negara tidak hanya dinilai dari kekuatannya dalam perekonomian saja, namun juga dinilai dari kualitas kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu memahami situasi politik dan berbagai persoalan yang tengah di hadapi bangsa, salah satunya kemiskinan. Sedangkan sebagai seorang pemimpin, penting untuk memiliki kepekaan sosial dan menjalankan amanah dengan kejujuran serta mengutamakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan serta berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan. 

Dan sebagai umat muslim, penting untuk kita mengutamakan nilai-nilai ini dalam berpolitik dan mengambil keputusan yang selaras dengan ajaran Islam. Dengan menerapkan Islam secara kaffah, maka kita akan menjadi generasi yang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada di Indonesia. 

Wallahu'alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Senin, 01 Januari 2024

Ketika Suara Orang Waras Setara dengan ODGJ


Tinta Media - ODGJ diberi hak untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Artinya, suara orang waras disamakan dengan suara  ODGJ. Hal tersebut di sampaikan oleh ketua KPU di Jakarta. 

Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan teknis keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024, khususnya pemilih ODGJ. 

“Kalau dulu ada ketentuan bahwa ada orang yang sedang terganggu jiwanya tidak diberikan hak pilih, tetapi di undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," kata Hasyim kepada awak media di kantornya, Menteng, Jakarta. (Viva.co.id, Kamis, 21/12/2023) 

ODGJ adalah orang yang terkena gangguan mental. Artinya, ada masalah dengan kejiwaannya. Dengan kondisi demikian tentu orang tersebut tidak bisa berpikir dengan baik dan jernih, sangat aneh jika diberi hak nyoblos untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Yang lebih aneh lagi, kenapa keluar  keputusan yang tak masuk akal seperti itu? 

Pertama, politik demokrasi kapitalisme yang saat ini diterapkan asasnya adalah sekularisme, tidak terikat dengan aturan agama. Aturan yang dijalankan lahir dari manusia dengan jalan kesepakatan, tidak ada lagi halal atau haram, benar atau salah. Tentu saja aturannya bisa berubah setiap waktu dan tarik ulur sesuai kepentingan para pembuatnya. Wajar jika kemudian yang benar dianggap salah atau yang jelek di anggap baik. 

Kedua, menjadikan suara bak dewa. Tanpa suara, tidak akan didapatkan kursi kekuasaan. Maka, jalan apa saja akan ditempuh agar suara bisa dikantongi. Para pelaku demokrasi tidak memakai pertimbangan. Yang dipentingkan adalah bagaimana tujuan tercapai, meski sering menabrak rambu yang mereka buat sendiri. ODGJ dimanfaatkan demi mendulang suara, sungguh keanehan yang nyata. 

Ketiga, meskipun ada pendapat ODGJ tidak selalu orang gila karena bisa jadi stres ringan dan masih bisa berpikir, maka harus ada dokter atau ahli yang bisa menentukan apakah mereka pada saat itu sehat atau tidak sehingga bisa memberikan suaranya. Namun, hal ini masih menyisakan pertanyaan, apakah si ahli bebas kepentingan sehingga bisa mengeluarkan rekomendasi bahwa ODGJ tersebut bisa atau tidak memberikan suara. 

Terlepas dari keanehan di atas, seharusnya yang difokuskan adalah kenapa banyak orang yang terkena gangguan mental atau ODGJ? 

ODGJ harus diurus oleh negara, mengingat kebutuhan mereka sangat banyak dengan biaya yang tidak sedikit. Negara tentu berkepentingan untuk menyembuhkan ODGJ serta menutup celah agar tidak ada lagi  masyarakat yang terkena gangguan mental karena tugas pemimpinlah membuat rakyat hidup sehat dan tenang. 

Namun, mungkinkah semua itu terlaksana, mengingat saat ini ada pemimpin, tetapi seperti tidak ada? Setelah meraih jabatan, para penguasa hanya memperhatikan pengusaha yang memodali mereka sewaktu mencalonkan diri menuju kursi kekuasaan. Hasilnya, rakyat berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Beban hidup yang sudah berat, ditambah harga kebutuhan pokok setiap tahun terus melonjak tak terkendali tentu membuat masyarakat mudah stres, depresi, hingga terkena gangguan mental atau menjadi ODGJ, bahkan banyak yang bunuh diri, ngeri. 

Tidak ada kebaikan yang dirasakan masyarakat dengan penerapan sistem ini. Masyarakat diperhatikan hanya lima tahunan menjelang pemilu demi mendulang suara. Setelah itu, mereka ditinggalkan begitu saja. Tentu orang waras tidak mau disamakan dengan ODGJ, karena yang akalnya sehat sudah muak dengan sistem demokrasi penyebab semua kerusakan ini. Bisa jadi, yang masih mau menerima adalah mereka yang terkena gangguan jiwa.
Alllahu a’lam.

Oleh: Umi Hanifah 
(Aktivis Muslimah Jember)

Senin, 25 Desember 2023

Pemilih Jadi Raja dan Ratu Sebab...



Tinta Media - Narator MMC menyebutkan dalam sistem politik demokrasi, pemilih menjadi raja dan ratu sebab suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu. 

"Suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu," tuturnya dalam tayangan Serba-Serbi MMC: "ODGJ Diberi Hak Nyoblos?  melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (23/12/2023). 

Narator menyebutkan pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapatkan suara terbanyak. "Tak heran menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah," ujarnya. 

Ia mengungkapkan pada awalnya pemilu di negeri ini tidak memasukkan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) sebagai pemilih berdasarkan undang-undang Pemilu. 

"Undang-undang tersebut menyatakan ada enam syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih salah satunya adalah tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya," bebernya. 

Narator mengulas bahwa menjelang pemilu 2019  mahkamah konstitusi atau MK menegaskan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan bertentangan dengan konstitusi, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen. 

"Keputusan MK inilah yang menjadi pedoman bagi KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih," simpulnya. 

Kekuasaan Dalam Islam Hanya Menerapkan Syari'at 

Narator mengatakan dalam Islam, bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana untuk menerapkan hukum-hukum syariat sebab kedaulatan hanya ada di tangan Al-syari' sebagai pembuat hukum Allah subhanahu wa taala. 

"Sistem politik Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin atau khalifah," ungkapnya. 

Lanjut, menurutnya Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan di antaranya seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan Islam. 

"Telah menetapkan metode baku pengangkatan pemimpin sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung hanya merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin," imbuhnya. 

"Setelah mahkamah mazalim menetapkan calon khalifah yang lolos verifikasi mereka tentu harus orang yang berakal bukan ODGJ," pungkasnya.[] Muhammad Nur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab