Caleg Gagal, Bersiap Stres?
Tinta Media - Fenomena caleg gagal sungguh membuat miris. Ada yang protes dengan perhitungan suara, ada yang menarik bantuan yang dulu diberikan pada masyarakat, ada yang berakhir di RSJ, bahkan ada yang sampai gantung diri. Ini bukanlah hal yang aneh di negara demokrasi ini.
Seperti diberitakan oleh news.okezone.com ( 25/2/20254), Caleg DPRD Kabupaten Subang membongkar jalan yang sebelumnya dibangun, termasuk menyalakan petasan di menara masjid di Tegalkoneng, Subang. Hal ini dilakukan karena perolehan suaranya anjlok di beberapa titik TPS.
Sementara, mediaindonesia.com (19/2/2024) mengabarkan bahwa seorang tim sukses calon anggota legislatif warga Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di pohon rambutan. Ia mengalami depresi karena caleg yang diusungnya kalah.
Fenomena ini bisa ditebak. sebelumnya, pihak RSUD Otista, Soreang, Kabupaten Bandung sudah menyiapkan 10 ruangan khusus bagi caleg yang kejiwaannya terganggu akibat gagal pada pemilu 2024 (antaranews.com, 27/11/2024).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa:
Pertama, motivasi menjadi caleg bukan bekerja demi rakyat, tetapi sebagai jalan mendapatkan kekayaan, maka akan ditempuh jalan apa pun untuk bisa mendapatkan kekuasaan dan kekayaan tersebut.
Kedua, menjadi caleg perlu biaya kampanye. Tidak sedikit dana dikeluarkan, baik secara pribadi atau kelompok. Terlebih, rakyat yang 'makin pintar', meminta bukti dulu sebelum menjabat.
Misalkan, diberikan bansos atau diperbaiki jalan.
Namun, saat gagal, para caleg merasa pengorbanan yang dikeluarkan sia-sia, bahkan tidak sedikit yang bermodalkan utang, sementara mereka menanggung kekalahan.
Ketiga, para caleg menyiapkan mental menang, tetapi tidak menyiapkan mental kalah. Akhirnya, berujung pada depresi dan bunuh diri.
Demokrasi memang menjadikan kekuasaan sebagai alat penentu kebijakan, sehingga kekuasaan menjadi incaran berbagai kalangan, termasuk para oligarki.
Kekuasaan disebut sebagai alat untuk mengamankan aset, termasuk mengembangkannya. Semua jauh dari nilai-nilai ruhiyah yang dicontohkan dalam sistem Islam yang dibangun Rasulullah saw.
Pertama, dalam Islam, pemilu adalah uslub (cara) dalam memilih pemimpin yang amanah Pemimpin tersebut dipilih untuk melaksanakan perintah Allah Swt., bukan membuat hukum sendiri.
Kedua, dalam Islam, kekuasaan adalah amanah. Setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.
Para sahabat cenderung takut saat diberikan jabatan. Ini karena jabatan adalah penghinaan di dunia juga di akhirat.
Rasulullah saw., bersabda dalam riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar r.a:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban."
Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya kekuasaan itu pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu." (H.R Muslim).
Ketiga, dalam Islam, sistem dan pejabat yang sahih akan melahirkan riayah (pengurusan terhadap rakyat) yang benar. Amanah jabatan dilaksanakan bukan untuk memenuhi tanggung jawab di hadapan manusia saja, tetapi tanggung jawab di hadapan Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Maka, hanya dalam sistem Islamlah, bentukan masyarakat akan dibangun berdasarkan ketakwaan. Baik rakyat atau pejabat, mereka akan saling menolong dalam ketaatan, tanpa diminta, tanpa diberi dana. Semua tertuju pada Rida Allah Swt.
Oleh karena itu, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi sebagai jalan perubahan dan kesejahteraan? Ini bagai mimpi di siang bolong! Wallahu a'lam.
Oleh: Rismayanti, M.M
(Muslimah Peduli Umat)