Tinta Media: smart farming
Tampilkan postingan dengan label smart farming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label smart farming. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Desember 2023

Smart Farming, Solusi Ketahanan Pangan?




Tinta Media - Beberapa waktu lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM), menggelar diskusi panel sebagai upaya menjawab permasalahan terkait perlunya percepatan penerapan standar inovasi berkelanjutan, dalam mendukung ketahanan pangan dan mengatasi perubahan iklim dengan tema “Inovasi dan Tantangan Penerapan Standar Berkelanjutan dan Community Development untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Mengatasi Perubahan Iklim". Dalam diskusinya, ada beberapa faktor yang menghambat produktivitas pangan di Indonesia, salah satunya adalah perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global.

Yang kita rasakan di tahun 2023, bahwa pemanasan global dapat menimbulkan musim kemarau dan musim hujan yang tidak bisa diprediksi, sehingga banyak petani yang mengalami gagal panen.

Adapun penyebab lain berupa peperangan yang terjadi di beberapa negara. Hal ini juga  mengakibatkan sulitnya pendistribusian bahan pangan. 

"Kondisi ini mendorong kita melakukan upaya untuk memperkuat kemandirian produksi pangan dalam negeri dengan memanfaatkan potensi masing-masing, baik dalam menggunakan kearifan lokal ataupun teknologi," ujar Haris Syahbudin selaku Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen Pertanian, Kementerian Pertanian.

Teknologi pertanian modern memang telah direalisasikan di beberapa negara. Teknologi digital ini menggunakan sistem IoT yang diyakini dapat membantu meningkatkan efisiensi produksi dan mitigasi ancaman gagal panen. Selain itu, teknologi IoT ini dapat mendukung pengurangan emisi gas yang memang sedang digaungkan di beberapa negara dengan skema net zero emission. 

Smart farming dipercaya dapat memberikan harapan baru untuk mengahadapi berbagai tantangan yang terjadi dalam produktivitas pangan, seperti keterbatasan lahan, perubahan cuaca, keterbatasan air dan pupuk. Keberlanjutan smart farming ini sangat bergantung pada ketersediaan data (nih data), jaringan internet, lembaga pengelolan, SDM yang memadai, dan juga teknologi-teknologi terbaru. 

Sejalan dengan berbagai manfaatnya, smart farming memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah memerlukan koneksi internet tanpa batas. Ini berarti, masyarakat pedesaan, terutama yang ada di negara berkembang yang mempunyai produksi tanaman masal, akan sangat sulit menerapkan metode pertanian ini. Belum lagi smart farming memerlukan teknologi tinggi yang memerlukan keterampilan teknis dan membutuhkan pengetahuan TIK dan robotik, sementara banyak petani yang tidak memiliki keterampilan tersebut.

Sebenarnya sah-sah saja jika akan memanfaatkan teknologi dalam pertanian karena kita ada di era revolusi industri RI.4.0 yang ditandai dengan teknologi kunci, yaitu internet of things(IoT), big data dan artificial intelligence (AI). Perkembangan dan kemajuan teknologi memang tidak bisa kita hindari. Hanya saja, ibarat pisau bermata dua, revolusi industri hasil dari perkembangan teknologi ini memang bisa menjadi jalan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam berbagai bidang, tetapi bisa juga menjadi alat untuk menghancurkan peradaban manusia. 

Sistem kapitalis yang saat ini diterapkan di seluruh dunia, menjadikan pencapaian materi sebagai tolak ukur. Inilah yang membuat manusia memanfaatkan teknologi untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. 

Smart farming ini sangat identik dengan generasi milenial yang memang diharapkan dapat turut berpartisipasi di sektor pertanian, sekaligus memajukannya. Akan tetapi, generasi saat ini sulit untuk melirik industri pertanian karena dipandang kurang menjanjikan dibandingkan dengan bisnis atau bekerja  kantoran. 

Kehidupan saat ini sangat materialistik sehingga membawa pemahaman pragmatis untuk mencari value chain yang menjanjikan dan keuntungan besar. Sementara, industri pertanian dipandang tidak memiliki value chain yang menjanjikan. Padahal, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris memiliki potensi besar jika ingin memajukan komoditas pangan.

Tanah yang subur dan luas, SDA yang sangat berlimpah dan beragam komoditas pangan, serta banyaknya ahli pangan, menjadi potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, mengapa justru Indonesia sulit untuk menciptakan ketahanan pangan? Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor pangan, baik berupa beras ataupun komoditas pangan lainnya.

Semua persoalan ini sebenarnya tidak lepas dari paradigma sistem dan tata kelola pangan dan pertanian di negeri ini yang dilandaskan pada ideologi kapitalisme.

Dalam kapitalisme, pangan sekadar komoditas ekonomi yang dilihat untung dan ruginya. Padahal, sejatinya sektor pertanian memiliki peran fundamental dalam menjamin ketahanan pangan nasional Indonesia. 

Peran negara yang hanya sebatas regulator dan fasilitator, menjadikan negara tidak hadir dalam pengaturan dan penguasaan rantai pangan nasional. Industri pertanian Indonesia saat ini dipegang oleh korporasi-korporasi besar yang menguasai aspek produksi (lahan, pupuk, dan sarana-sarana lainnya), hingga aspek distribusi. Ini membuat para petani kecil semakin tergusur dan masyarakat sebagai konsumen semakin sulit mendapat pangan yang berkualitas dan murah.  

Dalam hal teknologi pangan semisal smart farming, negara tidak hadir dalam mengatur urusan para petani, mulai dari aspek produksi hingga distribusi, juga aspek penguasaan ilmu dan teknologi pertanian yang terbaru. Pada akhirnya, hal ini didominasi oleh para korporasi besar, karena kekuatan modal mereka sehingga keuntungan hanya berputar di antara mereka saja, tanpa menyentuh kepentingan rakyat atau bahkan negara. Oleh karena itu, teknologi smart farming tidak dapat menjadi solusi dalam menciptakan ketahanan pangan di Indonesia, selama negeri ini masih menggunakan sistem kapitalis neoliberalisme.

Sudah saatnya kita menggunakan sistem hidup yang sahih, yang dapat membangun sektor pertanian secara sungguh-sungguh dan serius, sistem yang melakukan pengaturan urusan rakyat secara sahih. Itulah sistem politik islam.

Politik dalam Islam dipahami sebagai pengaturan urusan umat (rakyat), yang mencakup seluruh kehidupannya. Sistem Islam ini memiliki paradigma sahih yang hanya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, bertanggung jawab dan tulus pada rakyat, menjamin pemenuhan segala kebutuhan rakyat orang per orang, baik kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier, sekaligus juga memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. 

Kekuatan ekonomi dan sistem keuangan yang berbasis emas dan perak dalam penerapan syariat Islam kaffah, menjadikan negara kuat, termasuk dalam menciptakan ketahanan pangan. Pemerintahan seperti ini digambarkan oleh Rasulullah saw  dalam sabda beliau,

"Imam (khalifah) adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)

Pemerintahan dan konsep negara yang dapat mengemban fungsi tersebut hanyalah al-khilafah, sebagai sistem warisan Rasulullah saw. kepada Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan umat Islam berikutnya. Melalui penerapan Islam kaffah, khilafah menciptakan kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan, yang saling menguatkan antara satu bidang dengan bidang yang lain. 

Untuk menghadirkan ketahanan pangan, melalui output dari sistem pendidikannya, khilafah akan memenuhi kebutuhan akan para ilmuwan yang mengembangkan berbagai hal terkait dengan pangan, mulai dari penciptaan bibit unggul, pupuk yang ramah lingkungan, pengairan, hingga pengembangan teknologi alat-alat pertanian dan perkebunan. 

Para petani juga akan dibekali dengan ilmu dan keahlian dalam mengelola pertanian dan perkebunan yang inovatif, termasuk smart farming sehingga dapat menghasilkan komoditas yang melimpah. 

Begitu pun, negara akan menjamin tersalurnya komoditas-komoditas tersebut ke seluruh wilayah negara, melalui distribusi yang ditopang oleh transportasi serta infrastruktur yang memadai.

Islam sangat terbuka dengan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dari banyaknya ilmuwan-ilmuwan muslim pada masa kekhilafahan terdahulu, terutama di masa kemajuan ilmu dan teknologi, yaitu masa Bani Abbasiyah. Selama hal tersebut untuk kemaslahatan umat dan juga tidak keluar dari syariat Islam, dengan landasan ideologi Islam, teknologi akan ada di tangan umat Islam, yang dapat memajukan materi dan memudahkan kehidupan manusia, sebagai salah satu buah dari kebangkitan Islam dan kaum muslimin. 

walahu'alam bishawab.

Penulis: Ira Mariana 
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab