Tinta Media: sertifikasi
Tampilkan postingan dengan label sertifikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sertifikasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Oktober 2024

Gaduh Sertifikasi Halal



Tinta Media - Keadaaan hari ini semakin tidak baik-baik saja. Setiap hari kita disuguhi beragam informasi yang tidak mengenakkan. Salah satunya, hal yang jelas-jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, justru dilegalkan, seperti miras atau minuman keras. Beragam nama minuman keras kini muncul lagi di permukaan.

Nama-nama minuman keras dalam video yang beredar belakangan ini seperti tuyul, tuak, “wine”, dan “beer” mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementrian Agama (Kemenag). Padahal, aturan yang ada menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak boleh mendaftarkan sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi, kenyataannya justru masih ada produk yang menggunakan nama-nama yang bertentangan dengan syariat dan mendapatkan sertifikasi halal. (Kumparannews.com, 03/10/2024).

Hal ini ternyata ditemukan juga oleh pihak investigasi bidang fatwa MUI. Mereka merasa kecolongan mengapa BPJPH mengeluarkan label halal pada produk-produk minuman keras tersebut. Disebutkan bahwa BPJPH melakukan proses sertifikasi tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dari bidang fatwa MUI. (wartabanjar.com 01/10/2024).

Jebolnya sistem urutan pemeriksaan produk-produk yang beredar di masyarakat ini membuktikan bahwa pengawasan dari pihak instansi terkait tidak ketat. Hal ini dipicu oleh kepentingan sebagian oknum yang ingin usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil usahanya. Mereka tidak mempertimbangkan kerugian yang bisa berdampak luas di tengah-tengah masayarakat umumnya dan penikmat, terutama generasi muda khususnya. 

Gaduhnya masalah ini sangat berkaitan erat dengan sistem kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme sudah sangat mengakar sekarang dan penguasa sangat berperan di dalamnya. Mereka sengaja mengadu domba umat. 

Umat dibuat bingung dengan langkah penguasa ini, sedangkan penguasa hanya mementingkan pendapatan yang gampang diraih daripada efek negatif yang akan timbul.  

Labelisasi halal di sistem kapitalisme ini tidak menyertakan persyaratan penamaan produk, tetapi hanya dilihat bahan atau zat yang terkandung di dalamnya, apakah memenuhi bahan-bahan yang halal atau tidak. Hal ini justru memicu kerancuan yang membahayakan bagi masyarakat. Apalagi, karena kapitalisasi, labelisasi halal bisa saja diperjualbelikan.

Lain halnya jika aturan Islam diterapkan. Islam datang membawa aturan yang super lengkap. Walaupun sekadar penamaan produk, Islam juga mengaturnya. Ini karena penamaan sesuatu adalah hal yang baik. 

Sesuatu yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula.  Bahan-bahan yang ada di dalam suatu produk pun juga diatur dalam Islam. Jadi, produk menjadi halalan thayyiban. Umat tidak bingung dan rancu dalam pemilihan produk. Islam jelas mengatur mana yang haram dan mana yang halal. 

Mengenai sertifikasi kehalalan sebuah produk, ini merupakan kewajiban dari sebuah institusi negara. Negara melakukan tugasnya melalu lembaga yang berwenang atau qadli yang ditunjuk untuk mengawasi peredaran produk-produk di pasar atau pusat perbelanjaan. 

Bahkan, qadli juga melakukan pengawasan sampai ke tempat produksi, yaitu ke pabrik pembuatannya untuk melakukan pengecekan sampai ke bahan-bahan pembuatnya. Qadli juga mengawasi distribusi produk agar sampai ke umat atau masyarakat luas tanpa adanya kecurangan dan penipuan. 

Itulah peran sebuah negara. Negara menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam mengatur rakyat. Sudah pasti umat akan tenteram, aman, dan tidak was-was dengan produk-produk yang akan dikonsumsi karena sudah pasti halal dan thayib. Wallahua’lam.




Oleh: Endang Marviani 
(Aktivis Muslimah)

Rabu, 14 Februari 2024

Perlindungan Sertifikasi Halal Tugas Negara, Bukan Objek Dagang



Tinta Media - Pada era globalisasi saat ini, sertifikasi halal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi umat Islam, tetapi juga telah menjadi standar dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan hingga kepada pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mulai mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan memiliki sertifikat halal.

Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan wajib untuk mengurus sertifikasi tersebut paling lambat 17 Oktober 2024. Aqil menegaskan bahwa semua pedagang, termasuk mereka yang beroperasi dalam skala usaha mikro dan kecil, harus memproses sertifikasi halal untuk produk mereka. Mereka yang terbukti tidak memiliki sertifikat halal akan menghadapi hukuman.

Menurut Aqil, hukuman yang dikenakan bisa beragam, mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, sampai penghentian distribusi produk di pasaran. Penerapan sanksi ini mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 mengenai Pengaturan Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang diwajibkan memiliki sertifikat halal pada akhir tahapan pertama pada bulan Oktober.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan mentah, bahan tambahan pangan, dan bahan bantu untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. 

Kami mendorong para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH, paling lambat 17 Oktober 2024.

Aqil juga menjelaskan dalam pernyataannya bahwa peraturan sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Artinya, produk makanan, baik yang diproduksi oleh usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro seperti pedagang kaki lima, semuanya sama-sama terikat kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan regulasi.(tirto.id, 3/2/2024)

Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalis

Terdapat dua jenis tarif dalam proses sertifikasi halal, yakni tarif pelayanan utama yang mencakup sejumlah aspek seperti sertifikasi halal untuk, barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, pelatihan auditor dan supervisor halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan supervisor halal dan tarif pelayanan penunjang yang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, bahkan kendaraan bermotor. 

Tarif yang berlaku berkisar antara Rp300.000 hingga Rp12.500.000, sedangkan tarif perpanjangan berkisar antara Rp200.000 hingga Rp5.000.000.  Besarnya tarif tergantung pada jenis usaha yang bersangkutan.(liputan6.com, 2/2/2024).

Untuk mendukung usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah memulai program pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS sejak 2 Januari 2024. Para pemilik usaha dapat mendaftar melalui tautan khusus yang disediakan oleh Kemenkop UKM dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan.

Langkah ini, walaupun berniat baik dalam menjamin konsumsi yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi menimbulkan beberapa dilema. Proses pengurusan sertifikat halal yang berbiaya menjadi beban baru bagi pelaku usaha kecil seperti PKL. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak Januari 2023 untuk 1 juta layanan, jumlah tersebut terasa sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PKL yang mencapai sekitar 22 juta di seluruh Indonesia. Selain itu, sertifikat ini memiliki masa berlaku, memaksa pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi ulang secara berkala.

Belum lagi komersialisasi dalam jaminan halal tercermin dari tarif layanan sertifikasi yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk produk barang dan jasa usaha mikro kecil (UMK) sebesar Rp300 ribu, dengan tambahan biaya pemeriksaan produk halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) hingga maksimal Rp350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan mencapai Rp650 ribu.

Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp8 juta, terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp5 juta dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3 juta. Belum lagi jika sertifikat halal kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. Situasi ini menunjukkan bahwa negara sedang menjadikan jaminan halal sebagai objek komersialisasi untuk usaha rakyat.

Perspektif Islam

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: 168)

Di sinilah perlunya peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat untuk hadir. Sertifikasi halal seharusnya menjadi salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat, mengingat bahwa kehalalan merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan komersialisasi, segala sesuatu sering kali dijadikan objek dagang, termasuk jaminan atas kehalalan produk.

Islam memberikan panduan bahwa negara harus bertindak sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam melindungi akidah atau agama. Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan jaminan halal secara gratis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Produk yang halal tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik manusia di dunia, tetapi juga memiliki implikasi spiritual yang berdampak pada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”  (HR. Al-Bukhari)

Untuk mewujudkan perlindungan sertifikasi halal sebagai tugas negara, sistem pemerintahan Khilafah dapat menjadi contoh. Dalam sistem ini, negara akan mengedukasi para pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar pentingnya halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. Pendidikan tentang kehalalan produk tidak hanya akan meningkatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga akan mendorong praktik bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Lebih lanjut, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal untuk seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi beban biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang kaki lima atau pelaku usaha kecil lainnya. Layanan sertifikasi halal oleh pemerintah harus disertai dengan proses birokrasi yang cepat dan mudah agar dapat diakses oleh semua pelaku usaha tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab