Semarang Charter, Solusi ataukah Polusi bagi Masalah Kemanusiaan?
Tinta Media - Kementerian Agama baru saja selesai menggelar perhelatan tahunan sebagai ajang mempertemukan ratusan intelektual internasional muslim untuk membahas masalah keagamaan, tepatnya dimulai tanggal 1 hingga 4 Februari 2024 kemarin. Gelaran Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-23 tahun 2024 ini bertujuan merumuskan solusi dari berbagai permasalahan kemanusiaan global. Sedangkan tema yang diangkat adalah “Redefining The Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice and Human Rights Issues” demi mencapai kedamaian, keadilan dan saling menghormati antarsesama. Tema ini masih sesuai dengan filosofi lahirnya AICIS yakni sebagai wadah amplifier moderasi beragama tingkat nasional hingga internasional.
Salah satu tokoh agama dari Indonesia, Elga J. Sarapung menyampaikan bahwa AICIS 2024 ini adalah aksi konkret dan tak hanya berkutat pada pemikiran dan teori saja. Dia bahkan berharap, melalui AICIS 2024 akan ada aksi konkret dalam mengatasi krisis-krisis HAM, kedamaian dan keadilan. Namun pertanyaannya, benarkah demikian adanya? Ataukah umat Islam umumnya dan para intelektual muslim khususnya justru terjebak sendiri oleh ketidakjelasan teori ‘Human Rights (HAM), Peace(Perdamaian), Justice (Keadilan) yang sengaja diusung dalam gelaran yang dianggap bergengsi ini?
Sebagaimana diketahui, AICIS ada karena proyek moderasi di negeri-negeri muslim harus makin besar dan masif. Sejak ditabuhnya genderang perang melawan terorisme yang bermetamorfosis menjadi moderasi beragama. Maka, bukan Islam yang digadang-gadang sebagai jalan keluar dari berbagai problem keagamaan. Melainkan Islam menjadi objek yang dituduh sebagai sumber masalah. Maka, jalan yang diambil adalah harus menjauhkan Islam dari problem tersebut. Dan sebagai gantinya, umat Islam harus menerima dan mengambil perjuangan HAM, perdamaian, dan keadilan sebagai jalan keluar. Inilah tujuan moderasi yang diinginkan.
Moderasi Justru Jadi Polusi
Moderasi beragama atas nama HAM, perdamaian dan keadilan yang digaungkan sebagai solusi atasi masalah kemanusiaan global hanya narasi tipu-tipu yang hakikinya justru menjadi polusi kemanusiaan. Bisa kita lihat dari sembilan butir Piagam Semarang sebagai hasil dari pertemuan AICIS 2024 ini. Pertama, yakni tentang keyakinan, tradisi dan praktik keagamaan di seluruh dunia yang begitu kaya, beragam. Ini tidak bisa ditafsirkan secara monopolitik. Jadi, masing-masing perlu mengenali dan menghormati keragaman ini sebagai sumber kekuatan dan pemahaman dalam merespons krisis kemanusiaan. Begitu jelas, bagaimana nasionalisme dan ketiadaan satu institusi kepemimpinan Islam hari ini telah membuat umat Islam terombang-ambing dalam menafsirkan ‘keberagaman’. Padahal masalah kemanusiaan ini lahir dari ‘kacaunya’ pemahaman tentang keberagaman.
Kedua, terkait menghadapi krisis kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini. Komunitas agama-agama harus bersama-sama memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat untuk meringankan penderitaan, membangun solidaritas, dan menciptakan keadilan dan kesetaraan. Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin pelayanan terbaik mampu diberikan, sementara standar kemanusiaan masih dikendalikan oleh negara penjajah global Amerika Serikat dengan ideologi kapitalismenya. Berkacalah pada masalah Palestina. Siapa di balik kejahatan Zionis di sana?
Ketiga, menjadikan keharusan ajaran agama agar ditafsirkan dan diterapkan dengan cara-cara yang sejuk dan moderat demi melindungi martabat setiap individu. Maka diperlukan advokasi untuk menjaga hak asasi manusia dan keadilan sosial di setiap elemen kehidupan manusia. Padahal faktanya, semakin moderat suatu bangsa atau negeri, maka semakin jauh nilai kemanusiaan yang terjaga dan terealisasi. Karena agama yang sejatinya ada untuk memanusiakan manusia. Sedangkan moderasi adalah upaya untuk semakin menjauhkan bangsa dan negeri ini dari agama.
Keempat, untuk menghindari sedikit mungkin terjadinya konflik sosial, ekonomi bahkan politik. Maka, para pemimpin dan lembaga agama harus secara aktif terlibat dialog antar agama, membina pemahaman dan kerja sama yang utuh sebagai jembatan empati antarsesama umat manusia. Sayangnya, ajakan akan butuhnya dialog antar agama justru malah merusak keyakinan umat Islam terhadap kebenaran agamanya. Dan menuduh bahwa agama adalah sumber dari konflik sosial, ekonomi dan politik yang ada.
Kelima, kesadaran akan hubungan yang tidak bisa dilepaskan antara agama, kemanusiaan, dan lingkungan. Dibutuhkan komitmen untuk mempromosikan segala praktik berkelanjutan yang berkontribusi pada pengelolaan lingkungan hidup dan kesejahteraan planet serta penghuninya. Seharusnya poin ini menjadi catatan kritis terkait peran agama yang dimandulkan akibat sekularisme berbaju moderasi beragama. Maka, tidak ada kamusnya bahwa moderasi itu adalah solusi konkret.
Keenam, mengajak komunitas agama dan keyakinan berkomitmen dan melakukan kerja nyata memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban masifnya kejahatan dan kebrutalan terhadap sesama manusia. Dari ajakan ini membuktikan bahwa dunia dan bangsa ini seakan lupa bahwa kejahatan dan kebrutalan terhadap manusia hari ini adalah buah kejamnya ideologi Barat yang tidak manusiawi. Maka, kerja nyata yang harusnya dilakukan adalah mengenyahkan ideologi tersebut secara bersama-sama.
Ketujuh, komunitas agama-agama dan keyakinan berkomitmen untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan yang berkelanjutan bagi masyarakat tanpa memandang agama dan keyakinan untuk menghindari berulangnya konflik. Di poin ini membuktikan bahwa para intelektual muslim yang menjadi peserta AICIS menerima tuduhan jika agama adalah sumber konflik. Ironis sekali!
Kedelapan, dalam rangka menjauhkan diri dari sentimen dan provokasi yang dapat merusak hubungan sosial antar sesama umat manusia. Komunitas agama dan keyakinan butuh mempromosikan penggunaan teknologi secara bijak. Di poin ini, justru mereka telah menampakkan kelemahan dalam meyakini bahwa Islam adalah pemersatu terbaik sepanjang jaman peradaban manusia ada di planet ini.
Kesembilan, mengajak para pemimpin agama-agama dan keyakinan berkomitmen untuk mendorong terbentuknya kepemimpinan moral yang dapat menumbuhkan kepercayaan dalam komunitas masing-masing dan masyarakat yang lebih luas. Dari poin ini, tergambar jelas betapa jauhnya umat, tak terkecuali tokoh umat dari gambaran institusi kepemimpinan ideologis yang bersifat global, pemersatu hakiki umat manusia. Tidak lain dan tidak bukan adalah kepemimpinan Islam bernama Khilafah Islamiyah.
Islam, Menyatukan dan Memanusiakan Manusia
Walhasil, dari sembilan butir atau poin dari Piagam Semarang di atas dan sanggahan atasnya. Bisa disimpulkan bahwa memang sudah saatnya umat ini kembali dalam persatuan yang kokoh dan tak mudah dicerai berai. Dan jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah kembali berpegang teguh pada tali agama Allah, bukan yang lain, bukan juga moderasi beragama yang tertuang di dalam 'Semarang Charter'. Solusi masalah kemanusiaan telah ada sejak Rasulullah Saw. diutus dengan Islam.
Adapun aktualisasi dari solusi ini dimulai sejak tegaknya Daulah Islam pertama di Madinah. Islam menyatukan berbagai ras, suku bangsa dan agama tanpa sedikit pun menimbulkan polusi beragama yang justru menjauhkan Islam sebagai solusi tunggal masalah kemanusiaan. Karena Allah sendirilah yang memberikan jaminan bahwa Islam itu menyatukan. Saatnya menjadi umat yang satu. It is time to be one ummah. Wallaahu a’alam
Oleh: Yulida Hasanah
(Muslimah Peduli Generasi dan Perempuan)