Apakah Demokrasi Indonesia Sekotor Itu?
Tinta Media - Di hari tenang film “Dirty Vote” tayang mengungkap dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 yang terstruktur, sistematis, dan masif, yang menguraikan ihwal penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, adanya tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah Demokrasi Indonesia sekotor itu? itu pertanyaan saya ketika selesai nonton film dokumenter Dirty Vote, yang sejak di-upload pada hari Ahad (11/2/2024) film dokumenter tersebut telah ditonton jutaan penonton baik di channel YouTube Dirty Vote maupun di channel PSHK Indonesia.
Banyak fakta yang diungkap pada film dokumenter garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut, dari penjelasan ketiga narasumber yang dihadirkan di situ yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tatanegara, tergambar jelas bahwa sistem demokrasi yang menjadi harga mati bagi setiap pencintanya itu ternyata sedang tidak baik-baik saja.
Poin pertama yang diungkap adalah terkait dugaan kecurangan melalui penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tujuannya tentu agar salah satu kandidat bisa memenangkan pemilu sekali putaran melalui sebaran wilayah, dengan berhasil menang di 20 daerah yang dipimpin PJ Gubernur dan Kepala Daerah tersebut, hal itu dipaparkan jelas oleh Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar di film tersebut, dan jika benar tentu ini merupakan persekongkolan jahat antara penguasa dan pejabat yang ditunjuknya, ini jadi bukti pertama betapa rusaknya sistem demokrasi jika mengacu pada film "Dirty Vote".
Kedua, ada tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, ini jadi kejahatan berikutnya yang dipaparkan di film tersebut, dan sepertinya itu benar karena pernah muncul beritanya pada bulan November tahun lalu tentang deklarasi dukungan dari organisasi yang tergabung dalam Desa Bersatu terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ketiga, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, dari data yang dipaparkan Bivitri Susanti begitu terlihat mencolok jumlah peningkatan bansos menjelang pemilu, dengan berbagai macam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah, bahkan baru bulan Januari sudah menghabiskan dana sebesar 78.06 Triliun untuk bantuan sosial, sehingga diduga kuat ada penyalahgunaan bansos yang dilakukan pemerintah untuk menarik simpati rakyat pada pemilu 2024 agar memilih kandidat tertentu.
Dan terakhir kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang meloloskan kandidat cawapres termuda sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, dan seperti kita ketahui bersama bagaimana dengan mudahnya sebuah peraturan di sistem demokrasi diubah dengan sedemikian rupa untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan.
Lantas jika demokrasi sudah seperti itu, masihkah mengharapkan adanya keadilan dan kesejahteraan?
Oleh: Herdi Kurniawan
Sahabat Tinta Media