Seniman Dilarang Bicara Politik, FDMPB: Ruang Kritis Rakyat Sipil Makin Sempit
Tinta Media - Kedatangan polisi yang meminta Butet Kartaredjasa untuk menandatangani surat pernyataan dan komitmen untuk tidak berbicara soal politik dalam pentas teaternya menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, menunjukkan bahwa ruang kritis rakyat sipil semakin sempit dan pertanda negeri sedang tidak baik-baik saja.
“Para seniman dan rakyat penikmat seni sudah merasakan ketidaknyamanan dalam rezim atau sistem, mulai bersuara kemudian menyinggung sosial politik dan dibungkam. Itu menunjukkan bahwa ruang kritis rakyat sipil semakin sempit dan pertanda bahwa negeri kita sedang tidak baik-baik saja dan sudah mulai parah,” ungkapnya dalam Kabar Petang: Loh! Butet “Dibungkam” Bicara Politik di Pentas Teater? Melalui Khilafah News Youtube Channel, Senin (11/12/2023).
Menurut Ahmad, jika karya sastra dengan bahasa konotatif majas yang bicara, berarti itu sudah parah. “Kalau sastra yang bicara berarti itu sudah parah, karena umumnya menggunakan bahasa-bahasa konotatif atau majas yang tidak bisa langsung dipahami. Sudah menakutkanlah kalau kemudian bicara kritik tapi tetap ingin mengungkapkan ya pakai puisi aja gitu kan akhirnya,” jelasnya.
Menurutnya, berbeda dengan para ilmuwan atau cendekiawan yang berbicara apa adanya. “Dengan menggunakan bahasa denotasi secara saintifik rasional gitu,” tambahnya.
Menurut Ahmad, kritik mempunyai dua macam substansi, yakni berfungsi sebagai perhatian dan untuk perbaikan.
“Kita lihat substansi dari kritik itu ada dua, yang pertama adalah sebuah perhatian, seperti perhatian orang tua dalam memberikan masukan-masukan kepada anak atau anak kepada orang tua dengan cara-cara yang baik, itu sebenarnya adalah sebagai tanda perhatian tanda kasih sayang. Substansi kedua adalah perbaikan, sebenarnya namanya kritik itu kan tidak boleh sembarangan," bebernya.
Ahmad menilai kritik juga harus berargumen yang berbasis ilmu, harus konstruktif, harus lebih baik dari kondisi hari ini dan itu kan sebenarnya ada pertimbangan-pertimbangan intelektualnya.
"Maka penguasa yang berbesar jiwa itu justru mendengarkan suara rakyatnya, mempertimbangkan pikiran rakyatnya. Bahkan sepahit apa pun yang namanya kritik seperti minum jamu, walaupun pahit tapi kan sehat. Jadi seperti itulah kritik, bukan tentang kebencian tapi sebaliknya kritik itu tentang perhatian dan kasih sayang,” pungkasnya. [] Evi