Tinta Media: rekening
Tampilkan postingan dengan label rekening. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rekening. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

Pakar Fikih Kontemporer: Haram Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah Di Bank Syariah



Menjawab pertanyaan tentang hukum menerima hadiah dari rekening wadiah di Bank Syariah, Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menyampaikan keharamannya.

“Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (22/2/2024).

Ustadz menjelaskan, hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. “Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh),” jelasnya.

Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah saw:

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً
“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

USAJ sebutan Ustadz Shiddiq, juga menyampaikan dalil lainnya, sabda Rasulullah saw. :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah saw. :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

“Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal,” tegasnya.

Perubahan Akad

Perubahan akad wadiah (titipan) di bank syariah menjadi pinjaman (qardh), menurut USAJ, karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti/argumen sebagai berikut; 

*Pertama*, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. “Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut,” jelasnya mengutip dari ‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42.

*Kedua*, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

“Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan tafrīth atau ta’addiy,” paparnya mengambil dari ‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42.

Diterangkan pula dari Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

“Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, adalah riba,” pungkasnya.[] Raras

Senin, 26 Februari 2024

Hukum Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah di Bank Syariah



Tanya :
Tinta Media - Assalamu'alaykum. Ustadz mau tanya. Saya titip uang ke BSI (Bank Syariah Indonesia) dengan akad wadiah murni. Nah pas BSI ulang tahun saya dikasih Rp 25.000. Halal tidak itu Ustadz? (Ratna, Lampung).

Jawab :
Wa ‘alaykumus salam wr . wb.

Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut. Hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh). Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah SAW :

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal.

Adapun mengapa akad wadiah (titipan) di bank syariah itu berubah menjadi pinjaman (qardh)? Hal ini karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti atau argumen sebagai berikut; 

Pertama, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).

Kedua, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan _tafrīth_ atau ta’addiy. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Karena akad wadiah di bank syariah itu tidak memenuhi kriteria wadiah dalam syariah, maka akad wadiah di bank syariah itu sebenarnya tidak mungkin dipertahankan lagi sebagai wadi’ah (titipan) secara syariah, melainkan sudah berubah sifat menjadi akad pinjaman (qardh). 

Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, sesungguhnya adalah riba. Wallāhu a’lam.

Bandung, 22 Februari 2024

Oleh: KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Referensi :
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab