Tinta Media: polemik
Tampilkan postingan dengan label polemik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label polemik. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Kebocoran Pajak Menambah Polemik dalam Negeri



Tinta Media - Setelah kasus korupsi Tata Niaga PT Timah Tbk (TINS) terungkap beberapa bulan lalu dengan nilai kerugian mecapai Rp2,71 triliun, kini muncul 
polemik baru di tengah masyarakat yang tidak kalah mencengangkan. Polemik tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp300 triliun. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Bidang Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yusuf Ateh memperoleh data 300 pengusaha 'nakal' yang mengemplang pajak tersebut. Mereka adalah para pengusaha kebun sawit yang melakukan okulasi liar terhadap hutan yang berjumlah jutaan hektar.
(CNBC 12/10/2024).

Sebanyak 300 lebih pengusaha nakal tersebut dinyatakan belum membayar pajak kepada pemerintah. Mereka memiliki utang pajak senilai Rp300 triliun terhadap negara.

Ini sangat ironi dan menjadi polemik baru di dalam negeri. Bagaimana tidak, para pengusaha yang notabene adalah para elit kapitalis pemilik modal, nyatanya malah membuat negeri ini bangkrut, dan menambah kemunduran perekonomian.

Para elit kapitalis ini diberi hak pengelolaan lahan (HPL), juga pengelolaan kekayaaan alam secara bebas. Hal ini menjadikan koorporasi semakin kuat mencengkeram negeri ini. Sehingga, kerusakan akan semakin meluas. Contohnya penebangan hutan secara liar  demi mengganti tanaman hutan yang heterogen menjadi homogen. 

Dengan liberalisasi ekonomi, masyarakat diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk berekspresi, termasuk dalam hal pengelolaan lahan. Inilah wajah asli dari sistem kapitalis yang diemban oleh negeri tercinta ini, yaitu sistem yang menimbulkan kerusakan.

Ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam membatasi perbuatan manusia dengan hukum syara', yaitu hukum yang berasal dari Allah yang digunakan untuk mengatur manusia.

Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik umum (milkiyah am). Jadi, tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Pengelolaannya diserahkan kepada negara. Contohnya hutan. Negaralah yang berhak mengelola dan hasilnya akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.

Khalifah (pemimpin dalam Islam) akan melakukan kontrol terhdap masyarakat dan memberikan sanksi yang tegas pada pelaku pelanggaran sehingga tidak mengulangi perbuatannya.

Khalifah akan bersungguh-sungguh dalam memimpin rakyat, membawa kepada kemakmuran dan senantiasa mengarahkan masyarakat untuk tunduk terhadap hukum syara' (syariat).

Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 50, yang artinya:

"Apakah (hukum) jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik, dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Jadi, Allahlah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Jika yang dijalankan adalah hukum buatan manusia, maka akan terjadi kerusakan dalam segala lini kehidupan. Allahu a'lam bishawwab.




Oleh: Sarinah
Sahabat Tinta Media

Rabu, 30 Oktober 2024

Polemik Gaji Minim Hakim



Tinta Media - Ribuan hakim di Indonesia sepakat mengambil cuti bersama. Aksi para hakim mengambil cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 ini bukan tanpa alasan, melainkan bentuk protes terstruktur dalam menuntut kenaikan gaji yang dianggap minim. Para hakim menilai gaji dan tunjangan yang diterima sudah tidak sebanding dengan beban serta tanggung jawab yang amanahkan. Gaji minim para penegak hukum itu tak kunjung naik beberapa tahun terakhir.

Dilansir dari nasional.tempo.co pada 05-10-2024, hakim di Indonesia tidak mendapatkan kenaikan gaji beserta tunjangan sejak 12 tahun terakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. Padahal, pekerjaan seorang hakim bukanlah pekerjaan ringan. Setiap keputusan mereka memengaruhi kehidupan masyarakat secara umum dan bagi orang yang terlibat dalam masalah yang ditangani pada khususnya. Itulah posisi hakim yang sangat penting bagi penegakan hukum. 

Begitu pentingnya peran hakim, sehingga di dalam struktur birokrasi pemerintahan mereka dikategorikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pangkat yang berbeda-beda sesuai jenjang karier. Ironinya, meski posisi hakim penting dan strategis dalam sistem hukum, tetapi mereka tidak menikmati kesejahteraan finansial yang memadai. 

Hal tersebut dikuatkan dengan sebuah survei internal di kalangan hakim yang mengungkap sebagian besar dari para hakim merasa tunjangan dan gaji yang diterima tidak mencerminkan tanggung jawab moral dan profesional yang mereka jalankan. Terus, melambungnya harga-harga kebutuhan hidup semakin membuat mereka terhimpit.

Kesulitan para pemegang keputusan diketahui setelah terdapat laporan ada hakim yang terpaksa mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentu saja keadaan tersebut bisa menimbulkan kekhawatiran terhadap integritasnya dalam menegakkan hukum. Kemungkinan menerima suap untuk memenangkan perkara yang salah menjadi terbuka. Sungguh, ekonomi yang sulit bisa menambah beban berat dalam menjaga integritas tanpa adanya dukungan finansial yang layak dari negara.

Dampak Aksi Cuti Bersama Hakim

Aksi cuti bersama ribuan hakim pasti akan menimbulkan dampak terhadap pelayanan masyarakat, khususnya dalam hal peradilan. Selama masa cuti bersama tersebut, banyak kasus yang seharusnya segera diproses menjadi terhambat. Hal ini tentu mengecewakan mereka yang sedang mencari keadilan.

Sebagai contoh, terdakwa kasus pidana yang sesungguhnya tidak bersalah harus menjalani masa tahanan lebih lama karena sidangnya ditunda. Padahal, mereka bisa segera bebas setelah hakim memberikan keputusan tidak bersalah berdasarkan bukti dan saksi-saksi pendukung. 

Jadwal sidang juga pasti banyak yang tertunda sehingga berdampak pula pada kerja pengacara dan jaksa. Penjadwalan ulang sidang tentu juga memengaruhi banyak hal termasuk jadwal menghadirkan saksi-saksi dalam suatu kasus. 

Dilema Gaji Minim Hakim

Kondisi ekonomi secara umum yang mengalami kesulitan sesungguhnya menjadi dilema bagi para hakim dalam menjalankan aksi sebagai protes tuntutan kenaikan gaji. Dari satu sisi, hakim yang secara status sosial dianggap terhormat, sedang memperjuangkan kenaikan tunjangan, sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Bahkan, tuntutan kenaikan gaji para hakim mungkin dipandang sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi rakyat.

Di sisi lain, hakim juga bagian dari aparatur negara yang juga memiliki kebutuhan hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya. Tingginya biaya hidup tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh para hakim. Oleh karenanya, tuntutan para hakim sebenarnya wajar dan tidak boleh dipandang sebagai aksi egois, melainkan bentuk protes terhadap ketidakadilan yang juga mereka rasakan dalam struktur birokrasi negara.

Hakim dalam Negara Islam

Hakim (qadhi) dalam negara Islam juga memiliki peran yang sangat penting. Hakim bertugas menyelesaikan setiap perselisihan di masyarakat dengan hukum-hukum syara'. Amanah besar ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.  Di dalam Islam, prinsip keadilan merupakan salah satu nilai yang paling mendasar. Seorang hakim bertanggung jawab besar untuk menegakkannya.

Allah telah memerintahkan penetapan hukum yang adil sebagaimana terdapat dalam surah An-Nisa' ayat 58, yang artinya: 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat tersebut menekankan bahwa tugas hakim adalah menegakkan keadilan berdasarkan amanah yang diberikan Allah. Maka, seorang hakim harus bekerja karena perintah Allah dan tetap menjaga integritas dan keadilan, terlepas dari tantangan finansial yang sedang dihadapi.

Dalam sejarah Islam, para hakim mendapatkan gaji memadai dari baitul mal. Hal ini untuk memastikan mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa tergoda oleh materi. Ambil contoh, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab, beliau memperhatikan serius kesejahteraan para hakim agar mereka bisa bekerja dengan adil dan bebas dari tekanan ekonomi.

Jadi, sesunggunya tuntutan para hakim dengan aksi cuti bersama tidaklah bertentangan dengan prinsip keadilan dalam negara Islam. Mereka juga layak hidup sejatera sebagaiman masyarakat pada umumnya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tuntutan kenaikan gaji harus seiring dengan peningkatan kinerja hakim dalam menjalankan tugas. Negara wajib mengontrol kinerja dan kesejahteraan para hakim, jangan sampai gaji yang minim memengaruhi keputusan hakim pada suatu perkara. Wallahu'alam bishawab.


Oleh. R. Raraswati
(Sahabat Tintamedia)

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab