Tinta Media: pidana
Tampilkan postingan dengan label pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pidana. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Maret 2023

PRESIDEN RUSIA DIPERINTAHKAN UNTUK DITANGKAP OLEH MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

Tinta Media - Beredar informasi di media bahwa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) menerbitkan surat penangkapan untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Pengadilan menuduhnya bertanggung jawab atas kejahatan perang. 

Menanggapi hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut;

Pertama, bahwa Mahkamah Pidana International (ICC) selama ini tidak pernah berani mengeluarkan perintah penangkapan kepada Presiden Amerika Serikat, Inggris dan Negara sekutu atas tindakan kejahatan perang terhadap Afghanistan dan Irak. Atas nama demokrasi dan HAM, Amerika Serikat dan Inggris melakukan pembunuhan terhadap sipil, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, ribuan orang meninggal dunia termasuk anak-anak dan wanita serta tak terhitung jumlah muslimah yang diperkosa;

Kedua, bahwa ICC seperti macan ompong yang tidak memiliki keberanian untuk mengadili presiden Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya. Penulis berkali-kali membuat laporan kepada ICC terkait Irak, Afganistan, Palestina, Rohingya, Suriah, Uyghur semua laporan tersebut tak jelas ujungnya;

Ketiga, bahwa benar apa yang dinyatakan seorang lawyer muslim dari Inggris yaitu Mr. Abu Dawud, "Semua hukum internasional dibuat dan diterapkan secara selektif untuk mengistirahatkan hegemoni barat atas dunia termasuk negeri-negeri muslim." pernyataan tersebut disampaikan pada acara International Muslim Lawyers conference (IM LC) yang diselenggarakan oleh LBH Pelita Umat.

Wallahualam bishawab

IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT dan President of the IMLC /International Muslim Lawyers Community

Kamis, 22 Desember 2022

ANALISIS YURIDIS ATAS PUTUSAN PN JAKARTA TIMUR: PERKARA USTADZ FARID AHMAD OKHBAH DKK

I.   Prolog

Tulisan ini sebagian besar diambil dari keterangan tertulis penulis sebagai Ahli Teori Hukum Pidana guna kepentingan pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada perkara Ustadz Farid Ahmad Okhbah, Ustadz Zain An-Najah dan Ustadz Anung Al-Hamat. Ketiganya didakwa dengan Pasal 15 Jo Pasal 7 atau Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya cukup disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).
 
Penuntut Umum kemudian menuntut ketiganya dengan mengacu pada dakwaan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan tuntutan 3 (tiga) tahun penjara. Pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan tuntutan Penuntut Umum.

II. Analisis Putusan Pengadilan
 
Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Ketentuan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan adanya perbuatan dengan unsur memberikan “bantuan” atau “kemudahan” terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan cara “menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme”. Dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.

Konstruksi Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan bahwa adanya 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu setiap orang yang “dengan sengaja” memberikan bantuan dan memberikan kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Jika diperbandingkan mengenai cara pemberian kemudahan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP sebagai berikut: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Menjadi pertanyaan penting terkait dengan pemenuhan unsur Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yakni kesengajaan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum dan Majelis Hakim? Dalam membuktikan kesengajaan sebagai tanda konkrit kesalahan (mens rea), maka harus diuraikan secara konstruktif dengan pendekatan kausalitas atas perbuatan yang dilakukan. Kesalahan atas perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dibuktikan. Pembuktian tidak hanya dengan keyakinan Hakim belaka, akan tetapi harus juga berdasarkan minimal dua alat bukti yang telah diuji di persidangan. Terkait dengan itu berbagai fakta yang terungkap dipersidangan harus pula dipertimbangkan guna menjadi petunjuk bagi Majelis Hakim. Demikian itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang, maka harus memenuhi beberapa unsur, salah satunya adalah adanya hubungan batin antara si pembuat (mens rea) dengan perbuatannya (actus reus) yang berupa kesengajaan (dolus/culpa). Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, keinginan/kehendak dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan batin pembuat delik yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut atau tidak. Disini kesengajaan berkedudukan sebagai tanda konkrit adanya kesalahan. Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti). Dengan demikian, dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.

Dalam kesengajaan mengandung 3 (tiga) gradasi yakni, kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn). Ketiga sikap batin tersebut bersifat alternatif yang harus dikonfirmasi dengan perbuatan konkrit yang terjadi.  Fakta dipersidangan menunjukkan ketidakmampuan Penuntut Umum membuktikan hal tersebut. Dalam putusan Pengadilan, penulis tidak menemukan uraian pemenuhan unsur kesengajaan sebagaimana yang dimaksudkan. Kedudukan kesengajaan merupakan bagian inti delik (bestandeel delict) yang secara tegas tercantum dalam rumusan delik.

Patut dicatat menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme merupakan informasi yang bersifat rahasia terkait dengan tindak pidana terorisme. Sifat kerahasiaan itu menunjuk pada adanya tindak pidana terorisme yang terjadi. Dengan demikian harus ada tindak pidana terorisme yang terjadi sebelumnya. Fakta menunjukkan tidak pernah ada tindak pidana terorisme yang terkait dengan peranan ketiga terdakwa. Tidak dapat dikatakan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, apabila tidak dapat dibuktikan adanya keterhubungan antara sesesorang yang memberikan “bantuan” atau “kemudahan” dengan pelaku tindak pidana terorisme dan terjadinya tindak pidana terorisme. Lebih lanjut dipertanyakan pemenuhan unsur “memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme”. Disini kepada siapa bantuan atau kemudahan itu diberikan? Demikian jelas delik ini menentukan harus adanya pelaku tindak pidana terorisme.

Kemudian, menurut keterangan dari Tim Penasehat Hukum bahwa Penuntut Umum dalam persidangan selalu mendalilkan adanya penyertaan, namun dakwaan tidak menyebutkannya. Delik penyertaan (deelneming aan strafbare feiten) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP adalah perluasan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, penyertaan bukan dimaksudkan sebagai perluasan tindak pidana. Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan.

Dilihat dari pendekatan melawan hukum, maka delik penyertaan terdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, adalah elemen melawan hukum subjektif (subjective onrechtselement) berupa sikap batin (mens rea) diantara para pelaku. Disini terjadi kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik. Kedua, adalah elemen melawan hukum objektif (objective onrechtselement). Terjadinya delik merupakan wujud kerjasama yang nyata. Jika salah satu hal tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada perbuatan turut serta, meskipun perbuatan pidana terjadi. Kerjasama melakukan merupakan inti perbuatan. Tidak mungkin delik terwujud tanpa adanya kerja sama dan pemufakatan diantara mereka.

Kerjasama mewujudkan kehendak menunjuk adanya kesengajaan sebagai tanda adanya kesalahan. Pada akhirnya harus dibuktikan adanya kesengajaan kerjasama oleh para pihak dalam penyertaan mewujudkan terjadinya tindak pidana. Hal ini dikenal dengan “kesengajaan ganda” (double opzet). Pada kesengajaaan pertama ditujukan pada adanya kerjasama. Dalam delik penyertaan harus tampak adanya suatu kerjasama kehendak dalam mewujudkan delik. Dikatakan demikian oleh karena kerjasama melakukan merupakan inti perbuatan. Tidak mungkin delik terwujud tanpa adanya kerja sama diantara mereka. Disini pelaku yang terlibat memiliki kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) dalam kerjasama tersebut. Pada kesengajaan kedua ditujukan kepada objek perbuatannya, pada masing-masing pelaku memiliki kehendak dan pengetahuan terhadap keterlibatannya guna mewujudkan tindak pidana. Kerjasama dalam penyertaan demikian penting guna menentukan pertanggungjawaban pidana.

Sepertinya Penuntut Umum tidak menggunakan dakwaan Pasal 15 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai dasar tuntutannya sebab terkendala dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang notabene tidak ada dalam dakwaan. Oleh karena itu digunakan dakwaan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebagai catatan, Pasal tersebut juga digunakan pada perkara Munarman.  Namun, Penuntut Umum tidak memahami bahwa perihal memberikan “bantuan” atau “kemudahan” kepada pelaku tindak pidana terorisme berhubungan dengan pemufakatan jahat (dolus premeditatus) diantara para pihak. Disini terdapat perjumpaan kehendak dan oleh karena itu jenis kesengajaannya bercorak dengan maksud (als oogmerk). Perihal tempat (locus) dan waktu (tempus) terjadinya pemufakatan jahat harus dipastikan. Termasuk terhadap hal-hal apa yang menjadi permufakatan jahat diantara mereka. Hal ini harus diungkapkan di persidangan bahwa memang ada pemufakatan jahat sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, harus pula ada saksi yang melihat, mendengar dan mengalami secara langsung terjadinya pemufakatan jahat. Lagi lagi, penulis tidak menemukan hal tersebut dalam putusan Pengadilan. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, tidak ada saksi terkait pemufakatan jahat tersebut.

III.  Epilog

Semenjak awal perkara ini diproses banyak terjadi keganjilan. Kesemuanya itu berujung pada dakwaan Penuntut Umum yang tidak mencerminkan pemenuhan unsur, baik unsur objektif maupun unsur subjektif. Putusan Pengadilan hanya sepihak membenarkan tuntutan Penuntut Umum, namun meninggalkan tegaknya hukum dan keadilan.

Hakim minus dissenting opinion tidak mengedepankan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adanya hakim yang menyatakan dissenting opinion memperkuat argumentasi penulis.

Terakhir disampaikan, diperlukan kajian khusus terhadap Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kemudian dilakukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut demikian bias dan rawan menjadi alat kriminalisasi.

 
Jakarta, 20 Desember 2022.

 Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Teori Hukum Pidana

Rabu, 21 Desember 2022

Wujudkan Keadilan dengan Hukum Pidana Islam

Tinta Media - Ketika Allah Swt. dan Rasul-Nya telah memberikan keputusan hukum, maka kita sebagai orang yang beriman tidak ada pilihan (opsi) yang lain. Ini karena iman sejatinya tidak hanya sekadar pengakuan dan klaim saja, melainkan menuntut pembuktian.

Allah Swt. berfirman:

"Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hukum apa pun yang kamu berikan, dan mereka menerima (keputusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya (TQS. An-Nisa (4): 65).

Menjadikan Rasul saw. sebagai hakim sepeninggal beliau adalah dengan cara menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai pemutus hukum. Artinya, wajib bagi manusia menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pemutus segala perkara, apa pun yang terjadi.

Itulah sikap yang harus kita tunjukan, bukan malah mengambil hukum-hukum  yang lain, termasuk membuat hukum-hukum berdasarkan pikiran dan hawa nafsu semata.

Ketika KUHP baru telah dirancang dan disahkan untuk mengganti KUHP yang lama (earisan Kolonial Belanda), justru di dalamnya masih memuat aturan-aturan yang pada hakikatnya tidak banyak berbeda dengan apa yang ada dalam KUHP yang terdahulu. Bahkan, prinsip-prinsip hukum yang dianut juga masih banyak kesamaannya dengan prinsip-prinsip warisan kolonial Belanda. Padahal, sudah terbukti bahwa penerapan hukum dan prinsip warisan kolonial itu tidak dapat mewujudkan keadilan dan sudah terbukti gagal dalam memberantas berbagai tindak kejahatan.

Allah Swt. Yang Mahabijaksana dan Mahaadil telah menurunkan syariah-Nya yang sempurna kepada Rasulullah saw. untuk dijadikan sebagai petunjuk, serta pedoman  dalam menjalani dan mengelola kehidupan.

Hukum-hukum Islam telah sempurna karena berasal dari Allah Yang Mahasempurna. Hukum-hukum Islam adalah yang paling baik dan adil, sebab berasal dari Allah Yang Mahabaik dan Mahaadil. Allah Swt. tidak akan zalim kepada hamba-Nya, bahkan Allah Swt. tidak menghendaki kezaliman, bukan hanya terhadap manusia, tetapi terhadap seluruh alam.(Lihat Qs Ali imran:108).

Hukum pidana Islam pun tentu memberikan kemaslahatan dunia maupun di akhirat. Sebab, hukum pidan Islam memiliki sifat jawabir (penebus dosa), serta zawajir (memberikan efek jera) bagi para pelakunya dan membuat orang lain takut untuk melakulan tindakan kriminal yang serupa.

Dengan hukum pidana Islam, masyarakat akan terlindungi dari berbagai tindak kejahatan. Keamanan dan kenyamanan bagi semua orang akan terwujud. Jumlah tindakan kriminal di masyarakat pun akan menyusut.

Berbeda dengan keadaan hari ini. Begitu penuh dan sesaknya penjara-penjara di bebagai lembaga pemasyarakatan yang ada hampir di seluruh dunia ini. Yang demikian itu tidak akan terjadi saat hukum pidana Islam diterapkan.

Karena itu, kebaikan dan keadilan hukum pidana Islam secara i'tiqaadi tidak boleh diragukan. Itu merupakan bagian dari perkara yang harus kita imani. Tentu kita pun berkewajiban untuk senantiasa patuh, taat, dan terikat pada hukum-hukum-Nya.

Semestinya semua itu mendorong kita untuk segera menerapkan hukum-hukum Islam untuk mengatur seluruh perkara kehidupan dan memutuskan segala persoalan yang terjadi hanya dengan hukum Islam. Jangan sampai kita menjadi orang yang mendurhakai Allah Swt. dan Rasul-Nya. Nau'zubillah himinzalik.

Allah Swt. berfirman:

"Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkan dirinya ke dalam api neraka. Dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan (QS an-Nisa (4): 14).

WalLahu a'lam ....

Oleh: Neng Tintin
Sahabat Tinta Media

Senin, 18 Juli 2022

IJM: Sistem Pidana Islam Menjamin Penegakan Hukum Lebih Adil

Tinta Media - Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Syaiful, S.H.,M.H. menegaskan adanya sistem hukum pidana Islam yang sangat menjamin penegakan hukum lebih adil. 

"Sistem hukum pidana Islam atau yang lebih dikenal sistem uqubat lebih menjamin penegakan hukum lebih adil, serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (17/7/2022).

Ia memaparkan bahwa sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. "Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun," bebernya.

Sjaiful meyakinkan bahwa semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. "Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu," jelasnya.

Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, lanjutnya, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. "Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan," ujarnya.

Sjaiful pun mengutip hadits, Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.

"Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu," tuturnya.

Sjaiful melanjutkan bahwa kasus itu atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. "Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah," bebernya.

Menurutnya, manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. "Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetieskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu," ungkapnya.

Sjaiful menganalisa mungkin yang mau melindungi adalah seorang petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis.

"Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria diatas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970," paparnya.

Ia menyayangkan para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. "Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia," pungkasnya.[] Nita Savitri

Sistem Sanksi Pidana Islam Menjamin Persamaan Hukum

Tinta Media - Kasus penembakan hingga tewas Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua menyisakan tanda tanya bagi publik. Dilansir hampir semua pemberitaan nasional, Brigadir Yosua tewas ditembak rekannya sesama polisi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022) pekan lalu.

Masih dilansir semua media sosial dan pemberitaan media online, tentang kejanggalan dibalik tewasnya Brigpol Nopriyansyah, sebagaimana diungkap keluarga mendiang. Jenazahnya, kata Samuel ayah Nopriyansyah, terdapat luka lebam, mata seperti ditusuk, dan ada sayatan luka di jari kelingking. Hal janggal lainnya, ketika Samuel meminta CCTV yang merekam kejadian untuk dibuka kembali, tetapi pihak kepolisian berdalih rusak dan mati total.

Publik akhirnya mempertanyakan kejanggalan tersebut, setelah pihak keluarga mendiang, membeberkan sejumlah misteri kejanggalan di balik kematian Norpryansah. Dari titik pandang ini, semua orang akan terusik perasaan keadilannya, tentu saja proses penegakan hukum pidana harus berjalan sesuai koridor semua orang sama di depan hukum (equality before the law). Artinya, bila sebuah sistem hukum pidana memang menjamin semua orang sama di depan hukum, tentunya aparat penegak hukum, seharusnya bertindak cepat dan bersifat transparan guna menguak apa sesungguhnya dibalik peristiwa yang menjadi penyebab tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat.

Manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetiskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu. Mungkin yang mau lindungi adalah seorang petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis.

Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria di atas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970. Para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia.

Sistem hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan istilah sistem uqubat, sangat menjamin penegakan hukum lebih adil serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum. Sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun. Semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu.

Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan. Beliau melanjutkan “Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.

Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu, atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H 
Indonesia Justice Monitor


Jumat, 15 Juli 2022

MMC: Karut Marut Produk Hukum Pidana Sistem Sekuler Demokrasi Bukan Hal Baru


Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menyatakan karut marut dalam pembuatan produk hukum pidana sistem sekuler demokrasi bukanlah hal baru.

“Karut marut dalam pembuatan produk hukum pidana sistem sekuler demokrasi bukanlah hal baru,” tuturnya dalam Program Serba Serbi MMC: Ada Ancaman Hukum Bagi Pendem0 RUU KUHP Bernuansa K0l0nial?, Jumat (1/7/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Ia menilai penyebabnya adalah mekanisme pembuatan hukum pidana diserahkan kepada manusia.“Mekanisme pembuatan hukum pidana diserahkan kepada manusia yang berpotensi berubah-ubah sesuai dengan kepentingan penguasa,” urainya.

Ia menegaskan produk sistem ini menimbulkan kekacauan dan penderitaan bagi masyarakat. “Adapun dalam sistem demokrasi, aspirasi masyarakat diklaim akan diakomodir oleh pihak berwenang. Padahal semua itu hanya isapan jempol belaka,” tegasnya.

"Hal ini menunjukkan selama sistem sekularisme demokrasi  yang berkuasa maka keadilan hukum jauh panggang dari api," imbuhnya.

Ia mengungkapkan bahwa publik diresahkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang sedang dibahas DPR RI dan pemerintah. “Pasalnya RKUHP tersebut mengandung 14 isu krusial pemidanaan.

 Pertama, isu terkait living law atau hukum pidana adat (pasal 2). Kedua isu terkait pidana mati (pasal 200). "Ketiga isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (pasal 218),” ungkapnya.

Keempat, isu terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (pasal 252).
Kelima, isu terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih (pasal 278-279). Keenam, isu terkait tindak pidana content of court (pasal 281). “Ketujuh isu terkait penodaan agama (pasal 304), kedelapan isu terkait penganiayaan hewan (pasal 342), kesembilan isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (pasal 414-416), kesepuluh isu terkait penggelandangan (pasal 431),” urainya.

Kesebelas, isu terkait aborsi (pasal 469-471).
Kedua belas, isu terkait  perzinaan (pasal 417). “Ketiga belas isu terkait kohabitasi (pasal 418),dan keempat belas isu terkait perkosaan (pasal 479),” lanjutnya.

Menurutnya, draf RKUHP tersebut mendapat penolakan publik. Aksi penolakan publik dilakukan oleh masyarakat sipil untuk demokrasi pada Senin, 16/9/2019 di depan gerbang gedung DPR Senayan, Jakarta.
“Penolakan serupa juga dilakukan oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta pada Selasa, 21 Juni 2022,” tuturnya.

Sejumlah pimpinan Komisi III DPR bersikukuh agar RKUHP segera disahkan pada awal Juli 2022 meskipun ada penolakan yang kuat dari publik atas sejumlah materi dalam RKUHP tersebut. “Padahal hingga kini pemerintah belum menyerahkan draf RKUHP terbaru atau RKUHP hasil revisi ke DPR, setelah sebelumnya mensosialisasikan 14 poin isu krusial ke masyarakat yang dilansir dari Kompas.id, 27 Juni 2022,” ucapnya.

Ia membeberkan bahwa Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Asrul Sani mengharapkan pemerintah segera menyerahkan draf terbaru RKUHP kepada DPR. “Menurut Asrul Sani draf tersebut bisa dibuka kepada masyarakat untuk dikritisi dan juga menyerahkan kepada para ahli hukum pidana yang tidak terlibat dalam pembahasan, yakni aparat penegak hukum, Ikatan Hakim Indonesia, dan masyarakat sipil, agar mereka menjadi proof reader,” bebernya.

Hukum Islam

Ia menjelaskan akan sangat berbeda dengan hukum yang diterapkan dalam sistem Islam, dalam sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah. “Hukum pidana telah ditetapkan oleh syariat, Islam memandang tolok ukur kejahatan adalah kemaksiatan, siapa pun yang melakukan kemaksiatan berarti melakukan kejahatan yang akan mendapatkan sanksi tegas,” jelasnya.   

Menurutnya, sanksi dalam Islam atau Khilafah dibagi dalam empat kategori.

Pertama, hudud. Hudud adalah sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sekaligus menjadi hak-Nya. “Termasuk ke dalam hudud ialah had zina, had liwath (homoseksual), had mendatangi wanita pada duburnya, had qadzaf (menuduh wanita baik-baik berbuat zina), had peminum khamr, had pencurian, had pembegal, had pelaku bughat (pemberontak), had murtad. Siapa pun yang melakukan perbuatan tersebut maka mereka akan diberikan sanksi hudud,” urainya. 

Kedua, jinâyah. Jinâyah adalah sanksi yang ditujukan atas penganiayaan jiwa (pembunuhan) dan anggota tubuh.
“Sanksi ini mewajibkan qishash  (balasan setimpal) dan diyat (denda),” ujarnya.

Ketiga, ta’zir. Ta’zir adalah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syâri’. Dalam ta’zir berlaku menerima pemaafan dan pengguguran oleh hakim. Bentuk kejahatan yang termasuk ta’zir adalah pelanggaran terhadap kehormatan seperti perbuatan cabul, pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, pelanggaran terhadap harta seperti penipuan, pengkhianatan amanah harta, penipuan dalam muamalah, pinjam tanpa izin, gangguan keamanan, mengganggu keamanan negara, perbuatan yang berhubungan dengan agama dan jenis ta’zir. “Untuk jenis sanksinya, hukuman ta’zir diserahkan kepada penguasa atau hakim yang pidananya boleh sama dengan sanksi hudud atau lebih rendah dari zinâyat, dengan syarat tidak boleh melebihi dari keduanya,” tuturnya.

Keempat, mukhalafat. Mukhalafat adalah sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang-orang yang menentang perintah penguasa, baik perintah kepala negara atau Khalifah, para pembantunya, wali, amil, atau orang-orang yang aktivitasnya berkaitan dengan kekuasaan. “Pelanggaran terhadap perintah penguasa dikenakan sanksi. Bentuk sanksinya diserahkan kepada hakim (qadhi),” tuturnya.

Inilah hukum pidana dalam Islam yang telah diterapkan oleh Khilafah selama lebih dari 1300 tahun lamanya. Bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sesuai dengan

Firmannya:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah,” (QS. Yusuf, [12]: 40).

“Hukum ini bukan bersumber dari manusia melainkan bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” pungkasnya.[] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab