Tinta Media: petaka
Tampilkan postingan dengan label petaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label petaka. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juli 2024

Aroma Kapitalisasi dalam Petaka Pemadaman Listrik di Sumatera


Tinta Media - Baru-baru ini terjadi pemadaman listrik (blackout) di salah satu wilayah Indonesia yang memiliki cadangan energi melimpah, yakni Pulau Sumatera. Peristiwa ini terjadi pada Selasa (4/6/2024) sampai hari Rabu (5/6/2024) dengan durasi 10-24 jam. Bahkan, di Lampung ada yang mencapai lebih dari 30 jam. 

Tidak main-main, pemadaman listrik kali ini benar-benar melumpuhkan aktivitas serta kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut PT PLN, blackout terjadi akibat adanya gangguan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 275 kV Linggau-Lahat. Terdapat 29.000 gardu distribusi terganggu dan 4,3 juta pelanggan terdampak (ekonomi.bisnis.com, 6/6/2024).

Banyak pihak yang menyayangkan karena Pulau Sumatera memiliki reserve margin sebesar 41%. Reserve margin atau cadangan pembangkit adalah istilah yang menggambarkan ukuran kapasitas daya pembangkit terhadap beban puncak. PLN menggunakan istilah ini untuk menunjukkan tingkat keandalan pasokan listrik suatu wilayah. Secara ideal, tingkat optimal reserve margin berada di angka 24-35%. 

Itu artinya, Pulau Sumatera sudah melebihi batas puncak keandalannya. Jumlah tersebut seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhan listrik di wilayah Sumatera. Peristiwa ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap pengelolaan listrik yang dipegang oleh perusahaan milik negara, yakni PT PLN. 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Arifin Tasrif mengaku sempat tidak mengetahui apa penyebab dari pemadaman listrik ini. Ia pun memberi peringatan keras kepada PT PLN dan berharap hal demikian tidak terulang kembali. PT PLN pun dengan segera melakukan investigasi guna mencari tahu penyebab pemadaman. Beruntung, PT PLN dapat kembali menormalisasi listrik hingga 100 persen pada Kamis (6/7/2024). 

Meski demikian, banyak warga yang mengeluhkan karena mereka merasa sudah membayar mahal kebutuhan listrik. Pasalnya, peristiwa ini tidak hanya merugikan masyarakat yang beraktivitas di rumah, tetapi lebih dari itu. Sektor usaha mulai dari yang mikro hingga skala makro merasa dirugikan dengan pemadaman listrik yang mencapai durasi satu hari tersebut. 

Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menuntut kompensasi ganti rugi terhadap PT PLN. Dedy Hermawan pada Senin (10/06/2024), selaku pengamat kebijakan publik Universitas Lampung menyatakan bahwa PLN tidak boleh merasa cukup dengan hanya menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat. Blackout ini merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB). Dampaknya tentu sangat signifikan dirasakan pelaku UMKM maupun industri. 

Miris, Ironi Negeri Kaya Sumber Daya Alam

Peristiwa pemadaman listrik (blackout) di Sumatera bukanlah kali pertama dirasakan rakyat Indonesia. Sebelumnya, pada 4 Agustus 2019 lalu petaka gelapnya Indonesia sempat terjadi di wilayah Jawa. Angka yang terdampak bahkan lebih besar lagi, yakni 21 juta pelanggan yang terdiri dari wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah. 

Lagi-lagi PT PLN mengumumkan penyebab matinya listrik karena terdapat gangguan saluran udara pada jaringan transmisi Ungaran sirkuit satu dan kemudian disusul sirkuit dua. Padahal, saat itu wilayah tersebut sedang gencar sekali pembangunan pembangkit listrik dan juga rasio elektrifikasinya. Belum lagi cadangan listrik yang melimpah dan sistem kelistrikan yang dianggap andal pada wilayah-wilayah tersebut menjadi PR besar bagi PT PLN terhadap pengelolaan listrik. 

Peristiwa berulang ini tentu menunjukkan lemahnya upaya mitigasi serta pemeliharaan listrik yang dilakukan PT PLN. Padahal, listrik sendiri adalah kebutuhan primer yang kepemilikannya bersifat publik (umum). 

Negara jelas bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaannya. Namun, saat ini justru negara berlepas tangan dengan menyerahkan urusan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kelistrikan kepada pihak swasta dan asing. 

Hal tersebut dibuktikan bahwa pada hari yang sama dengan blackout di Sumatera, yakni Selasa (4/6/2024), PT PLN tengah melangsungkan acara “Road to PLN Investment Day”. Acara ini dihadiri oleh banyak kalangan pemerintah, pebisnis, perbankan, hingga investor dari dalam dan luar negeri. Adapun acara ini dilakukan guna membangun kolaborasi dan akselerasi bisnis dalam hal pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Perlu dicatat, berlangsungnya acara tersebut memperkuat bukti bahwa permasalahan blackout di Sumatera bukan hanya soalan mati listrik biasa. Kita seharusnya lebih sadar, kejadian di Sumatera hanyalah topeng belaka untuk menutupi kemampuan anak bangsa dalam mengelola alam dan energinya sendiri. Seolah-olah dalam hal penyamarataan listrik di tiap daerah, termasuk Sumatera dibutuhkan investasi, baik dari swasta lokal maupun asing untuk mengelolanya. 

Belum lagi cadangan SDA di tiap provinsi memang sudah menjadi primadona para investor untuk menanamkan modal dan mencari untung di sana. Akibatnya, konsentrasi penguasaan dan kekayaan energi berputar di tangan segelintir pihak menjadi tidak terelakkan. Aroma kapitalisasi pun semakin mencuat ke permukaan.

0

Di dalam Islam, sumber daya alam seperti halnya batu bara yang menghasilkan tenaga listrik adalah milik umum. Pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara secara penuh dan harus didistribusikan kembali pada masyarakat secara merata. Rasulullah saw. Bersabda, 

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; yakni air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).

Islam juga menetapkan bahwa pejabat yang duduk di bangku kekuasaan harus memiliki sifat amanah ketika menjalankan tanggung jawab. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh berlepas tangan dengan mengalihkan tugas pokok urusan kelistrikan tersebut kepada pihak asing maupun perseorangan. Mirisnya, justru SDA strategis seperti gas alam, minyak bumi, nikel, dan juga batu bara banyak dinikmati pemilik modal di dalam maupun luar negeri. Rakyat dibuat susah dengan jeratan pajak dan pungutan. 

Alhasil, banyak rakyat yang terpenjara dengan utang pinjol dan bermain judi online (judol). Sementara itu, subsidi yang harusnya merupakan hak rakyat, seperti subsidi gas, BBM, dan listrik, satu per satu malah dicabut. Ini semua merupakan dampak dari sistem kapitalisme yang telah mengakar kuat di tengah-tengah penguasa. Mereka lebih memilih memberi makan para pengusaha dan pemilik modal dibandingkan bertanggung jawab menyejahterakan rakyat yang merupakan amanahnya. 

Hal tersebut mengartikan bahwa mereka tidak memiliki kecakapan dalam mengemban amanah kepemimpinan. Sementara, prinsip modern saat ini yang berbunyi, “the right man on the right place” sudah sedari lama Rasulullah tegaskan. 

Dalam satu hadis sahih riwayat Imam Muslim, Abu Dzar sempat meminta jabatan kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian, Rasulullah ﷺ menepuk pundak Abu Dzar seraya berkata, 

“Wahai Abu Dzar, sungguh engkau orang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Ia pada Hari Kiamat nanti akan berubah menjadi penyesalan dan kesedihan, kecuali yang mengambil amanah dengan hak dan menunaikan semua kewajiban di dalamnya.” 

Ini menunjukkan pentingnya amanah dipegang oleh orang yang tepat agar nantinya tidak membawa kerusakan atau kehancuran bagi rakyat yang dipimpinnya. Kita sudah banyak melihat akibat kesewenangan pejabat yang semena-mena membuat peraturan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya kelistrikan. Seharusnya, para pejabat segera melakukan perbaikan terhadap sistem yang pasti membawa kemaslahatan bagi semua. Adapun satu-satunya sistem tersebut hanyalah sistem Islam.[]


Oleh: Ade Rahayu Aprilia, 
Aktivis Muslimah, Alumnus Universitas Indonesia 

Kamis, 01 Februari 2024

DEFORESTASI MENINGKAT, PETAKA BAGI RAKYAT



Tinta Media - Awal tahun seharusnya dibuka dengan berita menggembirakan dengan segudang pencapaian atas perubahan terbaik yang telah dilakukan sesama setahun penuh. Namun tidak dalam sistem kapitalisme. Seiring bertambahnya tahun, kian bertambah pula deretan masalah dan kerusakan yang terjadi. 

Awal Januari 2024 dibuka dengan fakta mengejutkan yang dilansir dari cnn.indonesia.com   menuliskan, berdasarkan catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023, yang mana deforestasi hutan tersebut juga akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan izin terhadap 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri, 2 Hak Pengusahaan Hutan serta 19 pertambangan. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembing menilai bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja juga turut memfasilitasi keberadaan perusahaan kebun kelapa sawit di kawasan hutan. 

Fakta yang lebih miris, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Indonesia sendiri telah kehilangan  dalam laporan Global Forest Review dari World Resource Institute (WRI), Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis ( humid tropical primary forest ) dalam dua dekade terakhir yang mencapai angka 10,2 juta hektare. ( databooks.katadata.co.id  ) 

Menanggapi arus derasnya alih fungsi hutan tentu tidak lepas dari perpanjangan tangan para penguasa dan keterkaitannya terhadap kebijakan ke pemerintahan. Pasalnya, hutan termasuk sumber daya alam yang pengelolaannya berada penuh di tangan pemerintah. Namun, bukan pemecahan masalah yang menjadi fokus utama pemerintah saat ini, nyatanya masih banyak deforestasi di bawah tangan para pemilik modal yang dilegalkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, sikap pemerintah seolah menunjukkan dua sikap yang saling bertolak belakang. 

Tanpa sadar, tindakan maupun sikap yang di ambil oleh pemerintah saat ini malah mengundang berbagai bencana yang lebih luas serta merugikan masyarakat. Kesulitan hidup makin terasa di berbagai lapisan masyarakat. Seperti kehilangan ruang hidup akibat perampasan lahan demi investasi asing, menjadi korban bencana alam yang berkepanjangan. Baik masyarakat yang hidup di kota besar maupun desa pun ikut merasakan imbasnya. Seperti bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kehilangan sumber air bersih, kenaikan suhu yang meningkat secara global. Saat ini bumi bukan lagi mengalami global warming, namun telah mencapai tingkat global boiling atau disebut pendidihan global. Bukan hanya itu, bahkan akibat dari masifnya deforestasi ini, ekosistem alam pun kian rusak dan mengalami kepunahan. 

Pada saat yang sama, para pemilik modal atau kapitalis yang memiliki ataupun diberikan akses untuk terus mengeruk kekayaan sumber daya alam semakin gencar menjalankan proyek raksasa mereka. Menari di atas penderitaan rakyat yang menjadi korban dari ulah tangan mereka. 

Bukan hanya tindakan atau sikap pemerintah yang di anggap pasif. Namun, undang-undang yang dibuat saling bertentangan dalam proses pelaksanaannya serta terkesan menguntungkan sebagian kalangan. Tentu, dalam negara yang menganut sistem kapitalisme seluruh hukum yang ditetapkan tidak akan pernah jauh dari rencana memberikan karpet merah bagi para penguasa untuk membuka investasi sebesar-besarnya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun. 

Alih-alih meninjau permasalahan deforestasi yang kian kompleks, justru pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab atas masalah tersebut nyatanya juga banyak yang terlibat dalam jaringan perusakan hutan tersebut. Seperti tindakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan yang sudah jelas akan merusak ekosistem yang ada di sana. 

Kebijakan-kebijakan yang diambil para pemegang kekuasaan juga tidak terlepas dari sistem yang diemban oleh suatu negara saat ini. Sekularisme bersandarkan pada nilai materi dan kebebasan yang menjadi wadah untuk keberlangsungan tindakan sewenang-wenang. Melupakan tanggung jawab dan dampak atas perilakunya. 

Tentu permasalahan ini akan kian merembet dan berkepanjangan apabila penyelesaiannya tidak pernah berubah. Hanya berkutat pada satu hal yang menjadikannya berputar pada pusaran yang sama. Bukan memperbaiki keadaan malah mengulur waktu serta menambah deretan kerusakan yang terjadi.  

Oleh karena itu permasalahan sistemik yang terjadi tidak mungkin dapat terselesaikan melalui kebijakan yang sama setiap tahunnya. Diperlukan perubahan total hingga mampu membawa pada kesejahteraan yang diimpikan. Kegagalan pemerintah dalam upaya memperbaiki keadaan saat ini juga harus disertai dengan perbaikan sistem yang mengatur berjalannya suatu institusi ke pemerintahan. Sehingga masalah yang hadir bisa terselesaikan dengan sikap yang seharusnya serta mewujudkan cita-cita tertinggi membawa masyarakat dan alam menuju kesejahteraan yang hakiki.


Oleh : Olga Febrina 
( Mahasiswi, Pegiat Literasi & Aktivis Dakwah ) 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab