Tinta Media: perkara
Tampilkan postingan dengan label perkara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perkara. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2024

Kyai Asrori: Inilah Perkara yang Akan Menjadikan Umat Islam Mulia!


Tinta Media - Ulama Aswaja dari Jawa Timur, K.H. Moch. Asrori Muzakki (Kyai Asrori) menjelaskan perkara yang akan menjadikan umat Islam mulia.

“Amar makruf nahi mungkar inilah yang menjadi ciri kemuliaan! Selama umat Islam menjalankan aktivitas amar makruf nahi mungkar, maka akan tetap menjadi kuntum khoiru ummah (umat yang terbaik). Dan selama itu pula, umat Islam akan tetap hidup mulia,” ujarnya pada Liqo Syawal  Ulama Aswaja Regional Jatim-Jateng-DIY: Sengketa Demokrasi, Ulama Bersikap! Di kanal YouTube FKU Aswaja, Ahad (18/4/2024).

Hanya saja, Kyai Asrori lanjut menjelaskan bahwa perkara itu tidak akan bisa dijalankan secara maksimal, kecuali oleh sebuah institusi (negara) yang menerapkan syariat.

“Dan institusi yang menerapkan syariat itu adalah hanya institusi yang berlandaskan akidah Islam," jelasnya.

Dan institusi itu, tegasnya, bukanlah negara  republik, bukan demokrasi dan bukan pula sosialis komunisme, tetapi adalah Khilafah 'ala Minhajjin Nubuwwah.

Kyai Asrori kemudian mengungkapkan, tatkala Khilafah masih ada, maka umat Islam kala itu masih mulia, bahkan di fase-fase akhir keruntuhannya pun tetap masih disegani.

"Tetapi, tatkala umat Islam meninggalkan amar makruf nahi mungkar dan tidak memiliki institusi pelindung (Khilafah), maka tatkala itulah umat Islam  menjadi objek penderita sebagaimana yang terjadi di dalam setiap pesta demokrasi," ungkapnya.

Umat Islam, menurutnya, kini menjadi objek penderita. Hanya diakal-akali menjadi korban kebohongan partai sekuler yang jahat terhadap umat Islam.

"Kenapa saya katakan jahat? Karena partai sekuler ini ada bukan dalam rangka untuk mengembalikan Izzul Islam Wal Muslimin (kemuliaan Islam dan Umat Islam)," pungkasnya.[] Muhar

Kamis, 08 Februari 2024

Berbicara Tanpa Suara, Bersuara Kena Perkara



Tinta Media - Istilah "berbicara tanpa suara" sering kali melekat pada seorang tunawicara. Padahal istilah ini sering juga di pakai kepada seorang yang ingin menyampaikan idenya tidak lewat lisan tetapi tulisan. 

Menulis menjadi salah satu sarana dalam menyampaikan pesan ke masyarakat luas. Bahkan, hari ini menulis berubah menjadi sebuah keharusan ketika perkembangan zaman menuntut itu. Mengapa? Karena terperangah dengan data-data yang ada saat ini. 

Pengguna Media sosial di negeri ini, menurut data yang ada berada di angka 167 juta. Artinya lebih dari setengah populasi atau 60,4 % aktif berselancar di dunia maya baik hanya sekedar mencari hiburan, mencari cuan, mencari informasi bahkan menyebar kesesatan dan fitnah dilakukan di media sosial saat ini. Makanya apabila bisa memenangkan opini di media sosial di pastikan juga bisa memenangkan opini di lapangan. Hal ini bukan isapan jempol belaka banyak sudah yang telah membuktikannya. 

Apalagi setahun ini, jargon "No Viral No Justice" Menggaung tak berujung  karena dengan perkembangan teknologi yang ada dan mindset berpikir masyarakat yang gemar serta latah dengan sesuatu yang viral. 

Dengan kecepatan penyebaran informasi yang begitu cepat Inilah yang menjadi tantangan yang bisa membangkitkan adrenalin agar aktif membuat karya tulisan, terutama dalam dunia dakwah yang begitu kencang perlawanannya sehingga tidak cukup di mimbar-mimbar juga harus bergerak dalam dakwah tulisan, agar bisa meluas di masyarakat dan menjadi opini pembanding apabila ada opini-opini yang menyudutkan. 

Kesempatan ini pun di manfaatkan berbagai pihak dalam melancarkan misi-misi nya. Sehingga muncullah istilah influencer dan buzzer, yang tentunya bisa mengarah kepada kebaikan dan kejahatan. Inilah pentingnya ilmu agar saat bersuara dengan tulisan tidak kena perkara. Banyak tulisan yang dianggap melanggar UU ITE yang akhirnya diperkarakan dan membuat kebanyakan penulis menjadi enggan dan takut bersuara. Justru seharusnya menjadi tantangan agar dakwah lewat tulisan tidak hanya sekedar tulis, tetapi butuh riset dan sesuai dengan fakta yang ada. 

Terus asah kemampuan yang sesuai dengan fashion yang saat ini diminati, apakah dengan ikut pelatihannya, seminarnya atau hanya menonton tutorialnya. Tak cukup satu kali, cobalah berkali-kali agar semakin ahli. Jangan pernah membatasi diri  merasa cukup dengan kemampuan yang dimiliki saat ini. 

Tidak hanya itu dengan aktif menulis dan menghasilkan karya juga meningkatkan literasi masyarakat di negeri ini, menurut data yang ada Pada 2018, Perpusnas mencatat, rasio jumlah koleksi di perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk di Indonesia adalah 1:90. Artinya, satu buku ditunggu 90 orang. Padahal, menurut saran UNESCO, satu orang setidaknya membaca tiga buku setiap tahun. 

Di Pulau Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk sekitar 154 juta jiwa, ada lebih kurang 11,1 juta buku sehingga rasionya 0,58. Di Sulawesi dan Nusa Tenggara, rasionya 0,63, Kalimantan 0,60, Maluku dan Papua 0,38, sedangkan Sumatera 0,10. Padahal, di Asia Timur, Eropa, ataupun Amerika Serikat, tiap orang membaca 15-30 buku setahun.

Maka dari itu dengan tingkat menulis dan membaca yang sangat rendah di negeri ini, membuat kualitas SDM juga rendah. Dengan kualitas SDM yang rendah di sanalah rawan terjadi konflik dan ketimpangan sosial. Akibat literasi rendah inilah masyarakat gampang untuk dibohongi dengan informasi hoaks. 

Begitu pula banyak sekali informasi hoaks yang tersebar menyudutkan dakwah bertentangan dengan apa yang telah di gariskan oleh syariat Islam. Tentu harus ada counter agar bisa mengembalikan pemahaman umat ke rel yang benar. 

Sekali lagi konsisten dalam melakukan sesuatu tidaklah mudah, akan tetapi dengan tantangan zaman yang ada saat ini, yang butuh usaha keras dalam memahamkan umat. Menjadi sebuah keharusan untuk mencoba meniti jalan ini. Senantiasa menghasilkan sebuah karya yang bisa menyadarkan umat.

Oleh: Rahmadi An-Noor
Sahabat Tinta Media 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab