Tinta Media: penderitaan
Tampilkan postingan dengan label penderitaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penderitaan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Februari 2024

Kebahagiaan Para Kades di Atas Penderitaan Rakyat



Tinta Media - Di tengah kondisi masyarakat yang semakin sulit akibat kenaikan harga bahan pokok, terutama harga beras yang semakin melambung Massa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa. Unjuk rasa tersebut  terkait tuntutan revisi  Undang-Undang Desa di DPR RI, pada hari Selasa (6/2/2024). Poin pentingnya adat perpanjangan jabatan kades menjadi 8 tahun dan bisa 2 periode. 

Menurut Dedi Bram, Ketua Apdesi Kabupaten Bandung, tuntutan revisi Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 tersebut telah diterima dan ditandatangani oleh sejumlah pihak. Bahkan, Dedi pun turut serta berdemo ke DPR RI bersama dengan 100 lebih Kades se Kabupaten Bandung. Mereka tinggal menunggu ketok palu saja. 

Menurut Dedi, yang juga sebagai Kades Cikoneng, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, pada tanggal 9 Februari akan digelar syukuran atas diterimanya revisi Undang-Undang Desa ini. Sejumlah massa Apdesi sujud syukur di depan gerbang gedung DPR RI di Jakarta Pusat setelah selesai pembahasan revisi UU Desa No 6 Tahun 2014 dilaksanakan. 

Dedi mengungkapkan bahwa setelah selesai pembahasan revisi, berarti masa jabatan Kades menjadi 8 tahun dan 2 periode. Persetujuan revisi Undang-Undang Desa ini sebelumnya telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah dalam rapat, pada Senin ( 5/2/2024). Hal ini juga disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi.

Sangat miris memang, apabila menelaah tuntutan yang mereka ajukan. Di tengah kondisi masyarakat yang semakin berat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seharusnya tuntutan para Kades berkaitan dengan kemaslahatan warga, bukan malah ikut mendesak revisi pada pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa, yang poin pentingnya adalah menuntut perpanjangan masa jabatan kades. 

Demonstrasi ini pun menuai kritikan karena dianggap tidak penting dan berpotensi dipolitisasi sehingga melanggengkan oligarki. 

Unjuk rasa di depan Gedung DPR RI ini diterima dan langsung diakomodasi. Para wakil di DPR RI menjanjikan akan ada revisi UU Desa. Politisi PDIP Budiman Soejatniko berpendapat bahwa karena konflik sosial di awal kemenangan menyebabkan masa efektif Kades hanya 2-3 tahun. Walhasil, pembangunan di desa dianggap nanggung atau belum selesai, tetapi sudah harus ganti pemimpin. Padahal, pemilihan membutuhkan konsentrasi dan biaya yang besar. Akhirnya, pemilihan kades enam tahun sekali dianggap tidak produktif dan boros anggaran. 

Bahkan, Presiden Jokowi pun menyepakati perubahan tersebut. Jokowi beralasan bahwa, dinamika di desa berbeda dengan di kota, seperti pemilihan gubernur. Sehingga, menurut Jokowi tuntutan para Kades dianggap masuk akal. 

Ini berbeda dengan demo-demo yang dilakukan oleh kaum buruh dan mahasiswa yang menuntut kemaslahatan untuk mereka. Jangankan dipenuhi, diapresiasi pun tidak.

Jabatan Kades memang menjadi lahan basah untuk meraup cuan. Makanya, mereka ingin masa jabatannya diperpanjang. Ini terbukti dengan adanya rumor politik terkait data dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Dari hasil pemantauannya dilaporkan tentang tren penindakan korupsi semester I/2022. Kasus penyalahgunaan anggaran menunjukkan 134 dari 252 kasus yang terungkap, 62 dari 192 kasus menyasar pada desa. 

Pada tahun 2021, terjadi peningkatan angka korupsi desa. Sehingga, apabila masa jabatan diperpanjang, potensi korupsi pun semakin besar. Sangat mungkin terjadi adanya kerja sama yang erat antara parpol yang berkuasa dan para kades. 

Ini terbukti dengan adanya gerakan kades mendukung tiga periode pada beberapa waktu lampau. Keduanya akan sama-sama diuntungkan karena berpeluang menduduki jabatan yang lebih lama. Sehingga, kebijakan ini sangat rentan dipolitisasi oleh segelintir elite yang berkuasa atau oligarki.

Sebenarnya, permasalahannya bukan terletak pada masa jabatan, tetapi pada  buruknya pengurusan pejabat desa pada warga. Terbukti ketika masyarakat mengeluh akan tingginya biaya hidup, para pejabat desa tidak merespons. Bahkan, ketika ada bansos pun, selain tidak mencukupi, selalu terjadi salah sasaran dan tidak  merata. 

Inilah akibat dari sistem politik yang menerapkan demokrasi. Kebijakannya lahir bukan untuk kemaslahatan umat, tetapi hanya untuk segelintir elite berkuasa dan para kapitalis. 

Sistem demokrasi hanya menghasilkan para pemimpin yang miskin visi, sehingga kebijakan ditetapkan hanya untuk kepentingan partai dan dirinya saja. 

Politik transaksional yang menjadi pendorong berjalannya partai akan menghadirkan para pemilik modal yang harus diladeni kepentingannya. Karena sistem demokrasi lahir dari ideologi sekularisme, maka agama tidak boleh mengatur perpolitikan. Mereka tidak mengenal halal haram. Apa pun dilakukan untuk mengejar dunia.

Masalah gratifikasi, suap, dan korupsi- korupsi lainnya akan tumbuh subur. Semua ini akan menghilangkan rasa empati dan nurani kepada rakyat yang sedang kesusahan.

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dengan kesempurnaannya, sistem Islam akan memunculkan para pemimpin yang peduli umat. 

Di dalam Islam, menjadi pemimpin adalah amanah yang besar dan berat yang nantinya akan dihisab dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah 'azza wa jalla. 

Karena itu, banyak pemimpin Islam yang menolak amanah tersebut. Satu-satunya motivasi dalam menjabat adalah keridaan Allah Ta'ala. Di dalam Islam, pemimpin adalah ra'in, yang bertugas melayani umat secara adil dengan menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sehingga rakyat tidak diabaikan dan terpenuhi semua kebutuhannya. 

Inilah urgensi penerapan sistem Islam, agar dalam memilih pemimpin, betul-betul dicari yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta'la, sehingga bisa menjalankan amanah kepemimpinan sesuai dengan apa yang Allah Ta'ala perintahkan. Wallahu'alam bisshawab.


Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 15 Desember 2023

FKU Yogyakarta: Khilafah Solusi Syar'i atas Penderitaan Muslim Palestina


 
Tinta Media - Al-Habib Muhammad Nahl Al-Atthas dari Forum Komunikasi Ulama (FKU) Aswaja Daerah Istimewa Yogyakarta mengutarakan bahwa Khilafah adalah solusi syar'i atas penderitaan Muslim Palestina.
 
"Khilafah adalah solusi syar'i dalam menjawab penderitaan yang dialami muslim Palestina akibat penjajahan yang dilakukan oleh entitas Zionis-Yahudi," tuturnya dalam Multaqo Ulama Aswaja Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad (10/12/2023) di kanal Youtube FKU Aswaja Channel.
 
Menurutnya, kaum Muslim tidak bisa berharap pada PBB, karena hari ini PBB hanya diam. "Pada saat yang sama penguasa negeri-negeri Muslim terbelenggu dengan ikatan ashobiyah nasionalisme," ujarnya.
 
Hal ini, lanjutnya, membuktikan bahwa penguasa negeri-negeri Muslim telah berkhianat dengan perjuangan Umat Islam, terlebih lagi dengan adanya upaya untuk mengadakan normalisasi hubungan dengan Entitas Zionis-Yahudi.
 
"Kaum Muslim hanya bisa berharap dengan Khilafah, karena hanya Khilafah lah yang akan menghilangkan sekat-sekat nasionalisme, menyatukan negeri-negeri Islam dan mengusir penjajah dari dunia Islam," terangnya.
 
Dua Hal
 
Para kiai dan ulama juga menyampaikan seruan kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan dua hal.

“Pertama, penyelesaian problem Palestina secara syar'i hanya bisa dilakukan dengan jihad, yaitu dengan mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi siapapun yang memerangi kaum Muslimin," tukasnya.
 
Kedua, sebutnya, dengan meningkatkan daya dan upaya untuk mengangkat seorang imam atau Khalifah, yang akan menyatukan kaum muslimin dan negeri-negeri muslim.
 
"Serta menghilangkan sekat-sekat nasionalisme dan memerintahkan untuk jihad fisabilillah dalam membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah," tandasnya.[]Ajira.
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab