Tinta Media: pejabat
Tampilkan postingan dengan label pejabat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pejabat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Desember 2023

IJM: Rakyat Susah Beli Beras, Pejabat Perum Bulog Malah Terkesan Mewah



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyatakan, ketika rakyat banyak yang susah membeli beras karena mahal, kehidupan pejabat Direksi Perum Bulog malah terkesan mewah.

"Ini cukup disayangkan, ketika rakyat susah beli beras karena mahal, Direksi Perum Bulog terkesan hidup bermewah-mewah," ujarnya dalam program Aspirasi: Rakyat Susah Beli Beras, Direksi Perum Bulog Hidup Mewah? di kanal YouTube Justice Monitor, Kamis (23/11/2023).

Agung mengabarkan, berdasarkan panel harga pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Senin (20/11/2023), pukul 12.01 WIB, harga beras premium mengalami kenaikan Rp70 menjadi Rp15.020 per kilogram (kg). "Sedangkan beras medium naik Rp20 menjadi Rp13.140 per kg," ucapnya.

Namun di balik itu, kata Agung, di tengah mahalnya harga beras tersebut, gaya hidup Direksi Perum Bulog malah justru dinilai sebagian publik cenderung mewah. 

"Untuk transportasinya saja disediakan Alphard mewah yang harga sewanya puluhan juta/bulan/kendaraan," bebernya.

Ia melanjutkan, berdasarkan temuan Center of Budget Analysis (CBA) yang dimuat di laman inilah.com, pada 20 November 2023, Perum Bulog telah menyewa 8 unit Toyota New Alpard 2.5 G A/T tahun 2020 untuk jajaran direksi sejak 2020.  

"Disewa 36 bulan, sejak 1 juli 2020 hingga 30 Juni 2023," ungkap Agung.

Ia juga menyatakan, anggaran sewa kendaraannya cukup mahal. Menurut perhitungan CBA, kata Agung, sewa 8 unit kendaraan operasional mencapai Rp11,2 miliar untuk 3 tahun. 

"Atau setara Rp311 juta per bulan. Kalau dibagi 8, ketemu Rp39 juta/mobil/bulan," hitungnya.

Jadi jelas Agung, hanya untuk menyewa satu unit kendaraan operasional satu direksi, Perum Bulog harus mengeluarkan Rp39 juta per bulannya (dikalikan 8 direksi).

"Dalam perjalanannya, internal Perum Bulog pernah mengalami pengurangan jumlah direksi dari 8 menjadi 6 orang direksi. Maka proyek kendaraan Perum Bulog berubah dari sewa menjadi car ownership program atau COP. Padahal skema COP untuk kendaraan direksi Perum Bulog belum ada aturannya, sehingga muncul dugaan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp5,8 miliar," sebutnya.

Maka Agung menjelaskan, perilaku mewah para pejabat yang seperti itu, menurutnya bisa mencederai kepercayaan masyarakat dan integritas para pejabat itu sendiri, serta menciptakan reputasi negatif.

"Pepatah mengatakan, uang dan kekuasaan layaknya pisau bermata dua, jika tidak digunakan dengan baik akan merugikan dirinya sendiri dan juga negara," kutipnya.

Kehidupan Kapitalisme

Agung kemudian memandang bahwa iklim kehidupan kapitalismelah yang memunculkan iklim maraknya kehidupan pejabat yang tidak bijak dalam menggunakan harta dan kekuasaannya.

"Ketimbang mereka yang memilih bijak dan hidup sederhana," bandingnya.

Ia pun mengingatkan kepada para pejabat itu, bahwa ada rakyat yang tidak boleh dilupakan dan harus dilayani.

"Pejabat yang digaji dari harta rakyat, harusnya tahu diri untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya. Bukan  memperkaya diri mereka sendiri," pesannya.

Ia menegaskan, pejabat yang digaji dari pajak rakyat harusnya selalu merasa diawasi, agar tidak mudah menyalahi mandat yang diberi.

"Amanah itu berat karena besarnya beban pertanggung jawabannya di akhirat kelak," tegasnya.

Kehidupan Khulafaur Rasyidin

Agung kemudian membandingkan dengan kehidupan salah seorang khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin yang bernama Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu.

Ia mengisahkan, masih teringat betapa sederhananya hidup seorang Khalifah Umar Bin Khattab  yang memilih mengonsumsi makanan sehari-harinya sebagaimana makanan rakyatnya yang termiskin.

"Apakah kultur pejabat seperti ini muncul dalam sistem demokrasi? Tentu jauh panggang dari api," tutupnya memungkasi.[] Muhar.

Sabtu, 04 November 2023

Kekayaan Pejabat Meningkat, Rakyat Tetap Melarat


Tinta Media - Di negeri yang bersistem demokrasi kapitalisme, harta kekayaan seseorang meningkat saat menjabat sebagai pemangku kebijakan bukanlah hal yang mengejutkan. Hal ini banyak dijumpai, baik di tingkat desa, daerah, ataupun tingkatan paling atas di pemerintahan.

Salah satunya adalah pemberitaan yang sedang ramai diperbincangkan mengenai kekayaan Bupati Bandung Dadang Suptiatna yang meningkat drastis pasca dua tahun memimpin. Tokoh Pemuda Kabupaten Bandung serta Ketua DPD Korps Alumni KNPI Kabupaten Bandung, Tubagus Topan Lesmana menilai hal ini sangat (metrojabar.pikiran-rakyat.com, 16/10/2023).

Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelengaara Negara (LHKPN) sebagaimana di laman elhkpn.kpk.go.id, jumlah kekayaan Bupati Bandung bertambah sebesar Rp600 juta. Pada tahun 2021 jumlah total harta kekayaannya sebesar Rp8.884.850.872. Sedangkan pada tahun 2022 sebesar Rp9.492.804.928. Ini artinya, dalam kurun setahun, jumlah harta kekayaannya mengalami peningkatan sebesar Rp607.954.056. 

Jika mengingat kembali data LHKPN dalam waktu pelaporan harta kekayaan selama setahun dari periode 31-30 Desember 2020, terdapat 5 pejabat atau menteri yang kekayaannya meningkat selama pandemi yaitu: 

Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono harta kekayaannya naik Rp481.530.801.537. 

Kedua, Menko Marves Luhut Binsar mengalami kenaikan sebanyak Rp67.747.603.287. 

Ketiga, Menhan Prabowo Subianto, tercatat kenaikannya sebesar Rp23.382.958.500. 

Keempat, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate jumlah kenaikan sebesar Rp17.764.059.042. 

Kelima, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, kenaikannya sebanyak Rp10.221.697.693. (Kompas.com, 13/09/2023)

Tak ketinggalan, laman CNBC Indonesia (12/4/2023), juga merilis 10 pejabat terkaya, di antaranya ada menteri hingga bupati. Bisa jadi, inilah alasan mengapa kursi pemerintahan dalam sistem Demokrasi Kapitalisme selalu jadi ajang perebutan, meskipun pencalonan untuk menduduki kursi panas pemerintahan dalam sistem ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

Deretan kekayaan fantastis pejabat serta kenaikan harta kekayaan yang tidak kalah fantastis pula ketika menjabat cukup membuat rakyat kecil tersenyum getir. Seakan para wakil rakyat telah berhasil mewakili kesejahteraan rakyat, di saat rakyat harus menelan kenaikan harga berbagai bahan pokok, BBM, listrik, pendidikan, kesehatan. Belum lagi masyarakat dihadapkan pada permasalahan PHK massal di berbagai lini industri. 

Melihat jumlah kekayaan yang meningkat pesat, jumlah uang rakyat yang dipakai untuk menggaji mereka tentunya tidak mengecewakan. Terlepas dari mereka sebagai pengusaha, memiliki bisnis sampingan, ataupun dari maraknya kasus-kasus korupsi yang menghiasi perilaku para pejabat di sistem demokrasi kapitalisme ini. Kondisi ini berbalik dengan nasib rakyat yang tetap pada garis kemiskinan.

Dalam pesta lima tahunan, suara rakyat bak dituhankan. Sistem demokrasi ini menghantarkan harapan untuk duduk di kursi kebijakan, kemudian mengantarkan pada napas kapitalisme. Para pejabat dan wakil rakyat beralih menjadi regulator antara kapitalis dan rakyat. Hal ini menjadikan rakyat sebagai objek bagi kapitalis dalam mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sistem demokrasi kapitalisme inilah yang menjadikan perselingkuhan antara pemangku kebijakan dengan pemilik kepentingan. Rakyat menjadi korban kebijakan, nihil akan kesejahteraan. 

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, slogan 'Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin' sepertinya akan nampak nyata menjadi slogan abadi. Sistem ini meniscyakan bahwa pejabat makin kaya dan rakyat makin miskin. Negeri ini dijuluki sebagai surga dunia karena keberlimpahan kekayaan alamnya dan dikenal dengan zamrud khatulistiwa. Kondisi inieharusnya mampu menyejahterakan anak cucu negeri. Namun nyatanya, rakyat Indonesia telah terbiasa bergelud hidup miskin di tengah kekayaan negerinya. 

Kapitalisme liberal melalui para pengusungnya menyebabkan berbagai kekayaan alam yang terkandung di negeri ini dikuasai oleh asing dan aseng. Negeri ini juga rentan didominasi oleh asing dan aseng melalui utang luar negeri. Hal ini karena sistem kapitalisme telah membebaskan orang-orang yang bermodal besar (para kapitalis) untuk menguasai apa pun, tidak peduli melanggar syariat atau. 

Ada aset atau kekayaan yang semestinya milik umum, misalnya sumber daya alam adalah milik rakyat, tetapi dikuasai sendiri oleh para konglomerat. Tidak ada sepeser pun keuntungan untuk rakyat. Semua masuk ke kantong pribadi mereka. Inilah maksud dari makna bebas tanpa batas.

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ini berdiri di Madinah dan dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. yang membawa aturan dari Sang Pencipta manusia untuk mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Dialah suri teladan terbaik. 

Islam mengatur dari hal kecil sampai besar, mulai dari bangun tidur hingga membangun negara. Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan negara Islam dilanjutkan oleh para Khalifah yang bertahan hingga 13 abad lamanya. 

Dalam Islam memang tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki kekayaan yang melimpah. Akan tetapi, ada batasan kekayaan. 

Pembagian kekayaan dibagi menjadi 3 kelompok, yakni kekayaan negara, kekayaan umum (milik rakyat), dan kekayaan individu. Semuanya diatur sesuai syariat Islam. Aturan dari Sang Pencipta meniscayakan kesejahteraan meliputi seluruh makhluk-Nya, membawa rahmat bagi seluruh alam. 

Para pejabat yang diangkat dalam sistem Islam berkewajiban menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah, yakni menerapkan Islam secara sempurna (kaaffah). 

Dari sistem inilah lahir pemimpin-pemimpin yang amanah, peka terhadap kondisi rakyat, sebab mereka menyadari bahwa setiap tugasnya akan dimintai pertanggungjawaban sehingga tidak akan mengabaikan sedikit pun urusan rakyat. Mereka senantiasa fokus mengurusi kepentingan umat dan tidak akan berpikir untuk memupuk harta demi kepentingan pribadi dengan memanfaatkan kekuasaannya.

Seperti kisah teladan Khalifah Umar bin Abdul Azis, beliau justru menyerahkan hartanya untuk kas negara (baitul mal). Selain itu, beliau juga menolak untuk tinggal di istana. Bahkan, Umar meminta istrinya, yakni Fatimah bin Abdul Malik untuk menyerahkan perhiasan-perhiasan ke baitul mal. 

Khalifah Umar hanya fokus untuk mengurusi kepentingan rakyat, sehingga rakyat yang dipimpinnya pun mencapai kemakmuran. Kemakmurannya terlihat saat amil zakat berkeliling mencari di tiap perkampungan hingga ke Afrika untuk membagikan zakat. Akan tetapi, mereka tak menjumpai satu pun orang yang mau menerima zakat. Ini karena pada saat itu negara dalam keadaan surplus. Bahkan, di masa Umar juga, negara memberikan subsidi untuk setiap individu, seperti membiayai pernikahan warga dan menebus utang-piutang di antara mereka.

Kesempurnaan pengaturan Islam secara kaffah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya seharusnya mampu memberi jawaban kondisi rakyat hari ini. 

Sementara, sistem demokrasi kapitalisme seakan menjadi peluang besar atau lahan basah bagi pejabat yang ingin memperkaya diri. Pada akhirnya, pilihan ada pada umat, ingin selamanya bergelud dengan sistem yang terbukti semakin jauh dari kata sejahtera ataukah bangkit dari keterpurukan untuk mengembalikan pengaturan kehidupan kembali kepada aturan Pencipta manusia seutuhnya. WalLaahu a'lam bish-shawaab.

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Senin, 07 Agustus 2023

IJM: Miris! Kekayaan Pejabat Bertambah, Rakyat Semakin Susah


Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyesalkan kekayaan pejabat semakin bertambah ditengah rakyat banyak yang susah.
 
"Miris! Apabila kekayaan pejabat bertambah ditengah rakyat banyak yang susah, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, dan banyak rakyat sulit mendapatkan kebutuhannya," tuturnya di kanal Youtube Justice Monitor: Kerja Belum Tentu Becus, Gaji Ahok Bikin Susah Rakyat,  Jumat (4/8/2023).
 
Ia menegaskan,  pendapat diatas muncul karena  ada pemberitaan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditetapkan kembali menjadi komisaris utama Pertamina, dengan gaji miliyaran.

"Gaji atau honorarium dari komisaris utama, yakni US$ 46,48 juta atau senilai dengan Rp 702,67 M. Jumlah ini dibagi tujuh orang sesuai jumlah komisaris. Artinya Ahok mendapt gaji Rp 100,3 M per tahun, atau dalam per bulan sekitar Rp 8,3 M," ungkapnya.
 
Agung melanjutkan, sebagian publik mendesak pertamina untuk segera mengklarifikasi gaji komisaris utama PT. Pertamina. “Tak hanya itu sejumlah pihak pun meminta BPK RI mengaudit anggaran pertamina, apakah sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai penerimaan negara dari sumber daya alam negara dinikmati dan menjadi  bancakan segelintir orang," kritiknya.
 
Agung menjelaskan, sesuai konstitusi, kekayaan alam yang dikuasai negara harus digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bukan kemakmuran segelintir orang, para pengurus BUMN migas.
 
“jangan sampai keputusan ini melukai rasa keadilan rakyat. Ditengah masyarakat yang kesulitan mendapatkan gas melon 3kg bersubsidi dan harga BBM yang kembali naik, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, dan banyak rakyat sulit mendapatkan kebutuhannya," ungkapnya.
 
Tak hanya itu, lanjutnya, masih banyak rakyat yang sulit untuk makan, biaya berobat dan pendidikan yang dianggap mahal.  “Mereka harus banting tulang hanya untuk sekadar makan. Jangan sampai kekayaan alam yang melimpah ini hanya dinikmati segelintir orang," pungkasnya. [] Citra Salsabila.

Sabtu, 20 Mei 2023

Kiai Labib: Sudah Dapat Gaji, Pejabat Tak Boleh Menerima Pemberian

Tinta Media - Ulama Aswaja KH Rokhmat S Labib menyatakan bahwa pejabat tidak boleh mengambil atau menerima pemberian atau hadiah dari orang lain.

"Seseorang yang mendapatkan gaji maka dia tidak boleh mengambil pemberian atau hadiah dari orang lain. Menerima saja tidak boleh, baik ada maksud atau tidak ada maksud," tegasnya dalam kajian Tafsir Al-Waie: Perhatikan Pejabat! Dilarang Makan Harta Haram! Kamis (11/5/2023) di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Dalam Islam, lanjutnya, pejabat ketika sudah mendapatkan gaji maka dia tidak boleh mengambil pemberian atau hadiah dari orang lain. Menerimanya juga tidak boleh baik ada maksud atau tidak ada maksud. "Kecuali orang itu memang sudah terbiasa memberikan kepada dia sebelum dia menjadi pejabat ya berarti memang nggak ada motif yang lain," tambahnya.

 

Kiai Labib menuturkan bahwa harta-harta yang diperoleh dengan cara haram, dalam Islam itu harus diambil. "Barang haram dengan cara korupsi, cara suap, dan segala macam, diambil oleh negara dan kemudian menjadi harta negara," jelasnya.

"Jadi tidak kemudian dibiarkan. Ambil sejumlah dia mengambil itu dan itu sebenarnya sesuatu yang tidak terlalu sulit," tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa seseorang ketika menjabat melaporkan kekayaannya sehingga sangat mudah berapa sebenarnya kekayaan awalnya itu. Kemudian setahun atau lima tahun berikutnya dia melaporkan berapa jumlah kekayaannya.

"Kalau jumlah itu wajar dengan katakanlah sesuai dengan gajinya dia mendapatkan gaji setiap bulan berapa, lalu kemudian pada akhir tahunnya tidak mengalami pertambahan yang mencolok, maka itu berarti diasumsikan normal saja," imbuhnya.

"Tapi kalau misalnya gaji seseorang misalnya 10 juta lalu setelah dua tahun dia bertambah kekayaannya menjadi 50 milyar misalnya, maka patut dipertanyakan darimana uangnya, didapatkan darimana," urainya.

Menurutnya, negara harus mengambil harta itu dan sekaligus pejabat yang seperti itu diberikan hukuman. "Agar menimbulkan rasa jera pada rakyat dan pejabat yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama," pungkasnya.[] Hanafi

 

Kamis, 27 April 2023

Pemerintah Harus Meminta Maaf kepada Publik

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyebutkan pemerintah harus meminta maaf kepada publik usai terungkap banyaknya oknum pegawai kementrian keuangan yang kekayaannya diluar batas kewajaran.

“Usai banyaknya ulah oknum pejabat Kementrian Keuangan yang kekayaannya di luar batas kewajaran terungkap, hal ini sebenarnya sudah cukup jadi alasan bagi pemerintah untuk meminta maaf kepada publik," tuturnya dalam program Aspirasi: Jadi Selama Ini Borok Pejabat Korup Ditutupi Isu Radikalisme? Jumat (10/3/2023) melalui kanal YouTube Justice Monitor.

Agung menilai, dua kasus korupsi besar sebelumnya pun menjadi tidak seberapa ketika kasus di Kementrian Keuangan ini terbongkar. “Kasus Jiwasraya, Asabri yang puluhan triliun tidak seberapa dibandingkan 300 T ini," jelasnya.

Lebih lanjut, Agung pun melontarkan pertanyaan retoris. “Lalu apa yang harus diperbuat oleh masyarakat, yang kini muncul dugaan uang pajaknya dirampok secara brutal, membuat rakyat menderita dengan kenaikan BBM, subsidi dicabut, utang luar negeri ditambah?” bebernya.

“Maka dari kasus ini, wajar jika sebagian publik menduga bahwa selama ini borok-borok pejabat korup itu ditutupi dengan isu-isu yang seolah ada kelompok radikal yang ingin menghancurkan NKRI, mereka membangun ketakutan seolah-olah kelompok yang meng-siarkan urgensi penerapan syariah khilafah secara kaffah menjadi ancaman negeri, padahal kita tahu semua ancaman rakyat yang sebenarnya itu adalah pejabat-pejabat korup yang terus memiskinkan rakyat. Tega sekali,” ujarnya.

Terakhir, Agung berharap agar masyarakat terus bersemangat menuju Indonesia lebih baik. “Terus semangat, terus bergerak, terus mengarah pada perubahan Indonesia yang lebih baik,” pungkasnya.[] La Bona, S.Pd


Minggu, 05 Maret 2023

Pejabat Glamor, Produk Tamak Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Pamer gaya hidup mewah di kalangan pejabat bukan hal yang asing lagi, bahkan sudah menjadi tren. Usai beredar di berbagai media cetak dan online berita tentang Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengendarai motor gede (moge) bersama klub Blasting Rijder DJP, kini kembali menjadi sorotan perihal ia buka-bukaan terkait pendapatannya paling mahal di Indonesia sebagai aparatur sipil negara (ASN). Tak sungkan, ia juga mengatakan bahwa bayaran sebesar itu masih saja ngiler saat melihat penerimaan pajak yang jauh lebih besar mencapai hampir Rp1.600 triliun di tahun 2022 (cnbcindonesia.com/12/12/22).  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diketahui sebagai salah satu instansi yang memiliki tunjangan tertinggi di Kementrian Keuangan. Bahkan, pimpinan nomor 1 DJP, yaitu Dirjen Pajak menerima gaji lebih dari Rp100 juta. Ini adalah angka yang cukup fantastis bagi pejabat pajak yang katanya bekerja untuk menegakkan integritas dan profesionalitas dalam bekerja. 

Integritas dan Profesionalitas Dipertanyakan

Menyoal aspek integritas dan profesionalitas, kinerja DJP masih sangat dipertanyakan. Apalagi saat ini sedang tersandung kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak dari salah satu pejabat pajak. Begitu pula kasus lain yang melanggar integritas seperti halnya penganiayaan.  Sebelumnya DJP terlibat kasus dugaan pemukulan yang dilakukan pejabat pajak kepada bawahannya (cnnindonesia.com/23/02/23).

Sedangkan aspek profesionalitas, sangat jauh dari harapan. Masih ingat kasus paling fenomenal di dunia perpajakan, Gayus Tambunan, Si Mafia Pajak 2010 yang terus menjadi icon buruknya perpajakan dalam sistem demokrasi?

Kasus yang dilakukan Gayus Tambunan berlapis-lapis, mulai dari memanipulasi pajak, menyuap hakim, menyuap petugas lapas hingga membuat paspor palsu. Akibat ulah ketamakannya akan harta, ia memiliki akumulasi vonis 29 tahun penjara. Anehnya, setiap tahun malah mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. 

Hingga saat ini, ‘pemain’ layaknya Gayus Si Mafia Pajak terus berdatangan, mulai dari Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno yang keduanya terlibat kasus kepemilikan rekening gendut tahun 2012-2013, Dadan Ramdani terlibat kasus suap tahun 2017, Angin Prayitno Aji terlibat kasus suap tahun 2019. Masih banyak lagi daftar aktor tamak pajak yang namanya tidak akan kering dari pena perpajakan Indonesia selama terbingkai dalam sistem demokrasi kapitalisme. 

Watak Pejabat dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme

Berbagai kasus yang ada semakin memperlihatkan watak para pejabat sesungguhnya dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dirjen Pajak, “Ngiler” saat melihat uang. Padahal, gaji dan tunjangan mereka sudah berlebih. 

Akhirnya, mereka menghamba kepada uang, tanpa memedulikan bahwa uang tersebut merupakan nafkah yang akan diberikan kepada keluarga. Nafkah tersebut justru bersumber dari hal yang haram. Meliarkan hawa nafsu akan harta, menjadikan mereka buta akan halal dan haram.

Di saat pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, pantaslah jika pajak ditengarai sebagai alat pemerintah untuk ‘memalak’ rakyat. Ini terlihat dari pengaturan pajak yang tajam ke bawah (rakyat), tumpul ke atas (pengusaha/korporasi). Tidak ada ampun bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. 

Lain halnya dengan pengusaha kelas kakap yang omzetnya triliunan rupiah. Mereka justru dengan mudah mendapatkan ampunan pajak meskipun mangkir dari kewajiban bayar pajak.

Para pejabat pemerintah yang seharusnya berperan untuk melayani rakyat, nyatanya justru menghamba pada korporasi. Jabatan disalahgunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan memuaskan ambisi, bukan untuk mengabdi. Bahkan dijadikan sebagai lahan subur untuk korupsi. Inilah watak pejabat dalam sistem demokrasi.

Penguasa Harus Memiliki Paradigma Riayah (Pengurusan)

Penguasa memiliki paradigma riayah adalah mutlak adanya. Tanpanya, negeri ini akan sengsara karena diatur oleh sistem yang meliarkan manusia dalam memenuhi ambisi demi harta dan tahta, yakni demokrasi kapitalisme. Penguasa yang memiliki paradigma riayah akan menjadikan pelayanan terhadap urusan umat menjadi landasan berpikirnya dalam menetapkan keputusan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam (Khalifah) atau negara adalah pengurus (urusan umat/rakyat), dan hanya dia yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya."

Sebagaimana kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau adalah pemimpin yang adil dan memiliki paradigma riayah (pemikiran untuk mengurusi urusan umat). Diriwayatkan, pada suatu malam Umar melakukan kebiasaan rutin, melakukan patroli bersama pengawalnya untuk melihat kondisi rakyat. Sampailah umar di sebuah dusun kecil. Terdengar tangisan anak kecil yang bersumber dari rumah gubuk sederhana. Di dalamnya tampak seorang ibu tengah duduk di depan tungku yang seolah sedang memasak. Ternyata, yang dimasak si ibu adalah batu untuk menghibur anaknya seolah-olah ibunya sedang membuat makanan.
Setelah Umar mengetahui hal memilukan ini, tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya dan menuju ke rumah ibu tersebut. 

Pengawal Umar yang melihat pemimpinnya tergopoh-gopoh membawa karung gandum menawarkan diri untuk membantu, tetapi Umar menolaknya. Beliau berkata, “Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibandingkan siksaan Allah di akhirat nanti.” 

Masyaallah, hanya penguasa yang memiliki paradigma riayah-lah yang mampu memberikan jawaban tersebut. Bahkan, di saat sang ibu menerima karung gandum dari Umar, sang ibu tak mengetahui bahwa sosok yang memberikannya gandum adalah amirul mukminin (khalifah).

Kisah tersebut memberikan pesan penting betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin atas rakyatnya dan Allah akan memintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Boro-boro seorang penguasa pamer kekayaan dan berdandan bak artis, sudahlah rakyat terzalimi, ditambah lagi harta yang bukan menjadi haknya dirampas. Hisab di hadapan Allah tidaklah ringan. 

Rasulullah saw. bersabda, ”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhori).
[Wallahua’lam]

Oleh: Azimatur Rosyida
Pegiat Literasi

Pejabat Glamor, Produk Tamak Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Pamer gaya hidup mewah di kalangan pejabat bukan hal yang asing lagi, bahkan sudah menjadi tren. Usai beredar di berbagai media cetak dan online berita tentang Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengendarai motor gede (moge) bersama klub Blasting Rijder DJP, kini kembali menjadi sorotan perihal ia buka-bukaan terkait pendapatannya paling mahal di Indonesia sebagai aparatur sipil negara (ASN). Tak sungkan, ia juga mengatakan bahwa bayaran sebesar itu masih saja ngiler saat melihat penerimaan pajak yang jauh lebih besar mencapai hampir Rp1.600 triliun di tahun 2022 (cnbcindonesia.com/12/12/22).  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diketahui sebagai salah satu instansi yang memiliki tunjangan tertinggi di Kementrian Keuangan. Bahkan, pimpinan nomor 1 DJP, yaitu Dirjen Pajak menerima gaji lebih dari Rp100 juta. Ini adalah angka yang cukup fantastis bagi pejabat pajak yang katanya bekerja untuk menegakkan integritas dan profesionalitas dalam bekerja. 

Integritas dan Profesionalitas Dipertanyakan

Menyoal aspek integritas dan profesionalitas, kinerja DJP masih sangat dipertanyakan. Apalagi saat ini sedang tersandung kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak dari salah satu pejabat pajak. Begitu pula kasus lain yang melanggar integritas seperti halnya penganiayaan.  Sebelumnya DJP terlibat kasus dugaan pemukulan yang dilakukan pejabat pajak kepada bawahannya (cnnindonesia.com/23/02/23).

Sedangkan aspek profesionalitas, sangat jauh dari harapan. Masih ingat kasus paling fenomenal di dunia perpajakan, Gayus Tambunan, Si Mafia Pajak 2010 yang terus menjadi icon buruknya perpajakan dalam sistem demokrasi?

Kasus yang dilakukan Gayus Tambunan berlapis-lapis, mulai dari memanipulasi pajak, menyuap hakim, menyuap petugas lapas hingga membuat paspor palsu. Akibat ulah ketamakannya akan harta, ia memiliki akumulasi vonis 29 tahun penjara. Anehnya, setiap tahun malah mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. 

Hingga saat ini, ‘pemain’ layaknya Gayus Si Mafia Pajak terus berdatangan, mulai dari Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno yang keduanya terlibat kasus kepemilikan rekening gendut tahun 2012-2013, Dadan Ramdani terlibat kasus suap tahun 2017, Angin Prayitno Aji terlibat kasus suap tahun 2019. Masih banyak lagi daftar aktor tamak pajak yang namanya tidak akan kering dari pena perpajakan Indonesia selama terbingkai dalam sistem demokrasi kapitalisme. 

Watak Pejabat dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme

Berbagai kasus yang ada semakin memperlihatkan watak para pejabat sesungguhnya dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dirjen Pajak, “Ngiler” saat melihat uang. Padahal, gaji dan tunjangan mereka sudah berlebih. 

Akhirnya, mereka menghamba kepada uang, tanpa memedulikan bahwa uang tersebut merupakan nafkah yang akan diberikan kepada keluarga. Nafkah tersebut justru bersumber dari hal yang haram. Meliarkan hawa nafsu akan harta, menjadikan mereka buta akan halal dan haram.

Di saat pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, pantaslah jika pajak ditengarai sebagai alat pemerintah untuk ‘memalak’ rakyat. Ini terlihat dari pengaturan pajak yang tajam ke bawah (rakyat), tumpul ke atas (pengusaha/korporasi). Tidak ada ampun bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. 

Lain halnya dengan pengusaha kelas kakap yang omzetnya triliunan rupiah. Mereka justru dengan mudah mendapatkan ampunan pajak meskipun mangkir dari kewajiban bayar pajak.

Para pejabat pemerintah yang seharusnya berperan untuk melayani rakyat, nyatanya justru menghamba pada korporasi. Jabatan disalahgunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan memuaskan ambisi, bukan untuk mengabdi. Bahkan dijadikan sebagai lahan subur untuk korupsi. Inilah watak pejabat dalam sistem demokrasi.

Penguasa Harus Memiliki Paradigma Riayah (Pengurusan)

Penguasa memiliki paradigma riayah adalah mutlak adanya. Tanpanya, negeri ini akan sengsara karena diatur oleh sistem yang meliarkan manusia dalam memenuhi ambisi demi harta dan tahta, yakni demokrasi kapitalisme. Penguasa yang memiliki paradigma riayah akan menjadikan pelayanan terhadap urusan umat menjadi landasan berpikirnya dalam menetapkan keputusan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam (Khalifah) atau negara adalah pengurus (urusan umat/rakyat), dan hanya dia yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya."

Sebagaimana kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau adalah pemimpin yang adil dan memiliki paradigma riayah (pemikiran untuk mengurusi urusan umat). Diriwayatkan, pada suatu malam Umar melakukan kebiasaan rutin, melakukan patroli bersama pengawalnya untuk melihat kondisi rakyat. Sampailah umar di sebuah dusun kecil. Terdengar tangisan anak kecil yang bersumber dari rumah gubuk sederhana. Di dalamnya tampak seorang ibu tengah duduk di depan tungku yang seolah sedang memasak. Ternyata, yang dimasak si ibu adalah batu untuk menghibur anaknya seolah-olah ibunya sedang membuat makanan.
Setelah Umar mengetahui hal memilukan ini, tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya dan menuju ke rumah ibu tersebut. 

Pengawal Umar yang melihat pemimpinnya tergopoh-gopoh membawa karung gandum menawarkan diri untuk membantu, tetapi Umar menolaknya. Beliau berkata, “Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibandingkan siksaan Allah di akhirat nanti.” 

Masyaallah, hanya penguasa yang memiliki paradigma riayah-lah yang mampu memberikan jawaban tersebut. Bahkan, di saat sang ibu menerima karung gandum dari Umar, sang ibu tak mengetahui bahwa sosok yang memberikannya gandum adalah amirul mukminin (khalifah).

Kisah tersebut memberikan pesan penting betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin atas rakyatnya dan Allah akan memintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Boro-boro seorang penguasa pamer kekayaan dan berdandan bak artis, sudahlah rakyat terzalimi, ditambah lagi harta yang bukan menjadi haknya dirampas. Hisab di hadapan Allah tidaklah ringan. 

Rasulullah saw. bersabda, ”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhori).
[Wallahua’lam]

Oleh: Azimatur Rosyida
Pegiat Literasi

Rabu, 19 Oktober 2022

HRC: Pejabat Korupsi, Ditengarai Dipicu Gaya Hidup?

Tinta Media - Kasus korupsi yang menjerat petinggi Polri ditengarai Direktur el-Harokah Research Center (HRC) Achmad Fathoni sebagai akibat gaya hidup.

“Emang ditengarai dan juga kuat korupsi oleh para pejabat ini dipicu oleh gaya hidup,” ujarnya pada acara Kabar Petang: Pejabat Polri Mewah-Mewahan, Darimana Duitnya? Senin (17/10/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Menurutnya, gaya hidup itu bukan sekedar ingin memenuhi kebutuhan dasar,  misal: makan, pakaian dan tempat tinggal. “Tidak hanya itu, tetapi memang karena gaya hidup,” tegasnya. 

Ia menilai, kalau sudah terkait dengan gaya hidup, berapapun uang, berapapun kekayaan, bisa habis untuk sekedar memenuhi gaya hidup. “Tentu kalau kita perhatikan, kita telaah bersama, para pejabat ini kan mempunyai gaji sekian-sekian, tapi kemudian dengan gaya hidup yang hedonisme, gaya hidup gelamor yang akhirnya gaji yang diperoleh dari negara itu tidak cukup untuk memenuhi sekedar kebutuhan pokoknya,” nilainya. 

Ia menambahkan, karena gaya hidup yang hedonis dan gelamor itulah yang menyebabkan harus mempunyai sumber lain untuk memenuhinya. “Akhirnya itulah yang menjadi pemicu untuk kemudian melakukan penyelewengan-penyelewengan yang tentu akibatnya, yang terdampak adalah masyarakat banyak, bangsa dan negara,” tuturnya.

Bisnis narkoba 

Bisnis narkoba yang dijalankan untuk memenuhi gaya hidup yang hedonis dan gelamor dinilai Fathoni sebagai hal berbahaya. Ia menjelaskan bahayanya bisnis narkoba bagi kelangsungan hidup dan eksistensi sebagai bangsa dan negara yang besar. 

“Bisnis legal saja, yang sah yang dilakukan pejabat patut untuk dipertanyakan, apalagi kemudian bisnis yang ilegal, yang tidak sah, yang tentu melanggar aturan, namanya aturan undang-undang yang berlaku,” jelasnya.

Menurutnya, ini sangat memprihatinkan, di Negeri yang konon dengan muslim terbesar di dunia saat ini. Apalagi kemudian Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang justru harusnya menegakkan hukum itu sendiri. “Tetapi, pada faktanya banyak pejabat-pejabat  polri itu justru banyak yang melakukan bisnis ilegal, yang tentu itu sangat akan memperparah kondisi negeri kita ini,” paparnya. 

Fathoni mempertanyakan dengan kondisi bisnis yang justru itu melanggar hukum. “Bagaimana mungkin rakyat bisa taat hukum, sementara pejabatnya sendiri yang melanggar hukum?” tanyanya. 
“Penegaknya sendiri melanggar hukum, tentu ini tidak bisa diterima akal sehat masyarakat kita,” jawabnya. 

Fathoni menduga kuat bahwa semua itu karena gagalnya Polri dalam membangun kepribadian para anggotanya. Menurutnya, sebagai aparat penegak hukum harus memberikan teladan yang baik, contoh yang baik kepada masyarakat. 

“Bukan malah justru memberikan contoh yang buruk, apalagi kemudian melanggar hukum,” tutupnya.[] Raras

Selasa, 18 Oktober 2022

MENYOAL GAYA HIDUP MEWAH PARA PEJABAT


Tinta Media - Gaya hidup mewah petinggi Polri sedang disorot. Presiden Jokowi menyebut pejabat Polri harus punya sense of crisis. Gaya hidup mewah yang ditunjukkan para anggota Kepolisian Negara RI terus menjadi sorotan. Selain dianggap sebagai pemicu pelanggaran etik dan pidana, gaya hidup hedonis itu juga dapat mengikis kepercayaan publik kepada Polri serta dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan dan letupan sosial karena terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi. Mungkin gaya hidup mewah ini tidak hanya sebatas di institusi kepolisian, namun telah menjadi gaya hidup pejabat umumnya di negeri ini.

Dalam sejarah, gaya hidup mewah para pejabat justru menjadi awal kehancuran sebuah bangsa. Contohnya adalah kisah kehancuran kaum ‘Ad. Kaum ‘Ad adalah kaum yang memiliki peradaban luar biasa. Gedung-gedung menjulang tinggi. Namun, penguasanya zalim, sewenang-wenang, bermewah-mewahan, kejam dan bengis terhadap orang yang lemah.

Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar". Mereka menjawab: "Adalah sama saja bagi Kami, Apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat, (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. dan Kami sekali-kali tidak akan di "azab". Maka mereka mendustakan Hud, lalu Kami binasakan mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. dan Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (QS As Syu’ara : 135-140).

Kisah ketiga adalah kisah kehancuran kaum Tsamud yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama dengan kaum ‘Ad. Mereka memiliki keahlian untuk membangun rumah dan istana yang megah di kaki-kaki bukit yang datar. Orang-orang yang memiliki kelebihan kekayaan dijadikan panutan dan pimpinan yang disegani sekalipun perilaku kesehariannya zalim, menyimpang dan semena-mena.

Dengan harta, penguasa mempertahankan kekuasaan. Kolega yang mendukung mereka diberi imbalan harta dan santunan bekal hidup. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau tunduk pada kemaksiatan mereka, menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan mereka justru dimusuhi, dihina, difitnah, bahkan diburu dan ditindas. Alasan yang digunakan adalah ‘mengganggu keamanan dalam negeri’.

Kaum ini akhirnya harus dibinasakan Allah SWT akibat penolakan, pengingkaran, penentangan dan permusuhan mereka terhadap rasul yang diutus kepada mereka. Jika mereka mengulangi sikap yang sama, berarti mereka telah merelakan diri mereka mendapatkan azab serupa.

Ada lagi kisah lain, yaitu Fir’aun. Dia berkuasa dengan kekuatan ekonomi, ditopang oleh Qarun. Penentangannya terhadap syariah Allah, kesombongannya, dan kezalimannya terhadap rakyatnya menjadikan jalan menuju kehancuran bangsanya. Begitu juga kehancuran bangsa-bangsa lain seperti kaum Luth dan Madyan.

Ada empat faktor yang menyebabkan murka Allah terhadap kaum terdahulu hingga Allah kehancuran dan membinasakan mereka. Pertama adalah ketidaktaatan pada syariah Allah SWT untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kedua kehidupan para pemimpin dan pejabat yang bermewah-mewah sementara rakyatnya miskin dan menderita.

Ketiga kezaliman kepada rakyat kecil dengan memutuskan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Keempat mengingkari kebenaran yang didakwahkan oleh para utusan Allah, bahkan mereka memusuhi, menghina, memburu dan menindas para utusan Allah yang berdakwah kepada mereka.

Keempat ciri yang dimiliki kaum terdahulu sehingga menyebabkan murka Allah dengan menghancurkan dan membinasakan kini telah melanda bangsa kita, Indonesia. Lihatlah tatkala rakyat di negeri ini semakin terhimpit dan tercekik karena kemiskinan, sementara para pejabatnya justru bergelimang dengan harta dan cenderung sombong dan pamer kepada rakyat.

Disaat rakyat susah cari makan, para penguasa dan pemimpin negeri ini hidup bergelimang dalam kemewahan. Mereka menghambur-hamburkan uang rakyat milyaran rupiah hanya untuk renovasi gedung, milyaran rupiah jalan-jalan ke luar negeri, bahkan diantara mereka ada yang memiliki kendaraan seharga 7 milyar ruliah.

Entah sudah berapa triliun uang rakyat yang telah dikorupsi oleh para penguasa, pemimpin dan para pegawai pemerintah. Uang hasil korupsi mereka gunakan untuk membeli rumah dan kendaraan serta hidup bermewah-mewah. Ironisnya, disaat yang sama rakyat tercekik lapar dan miskin. Padahal kemewahan penguasa diatas penderitaan rakyat inilah yang merupakan cikal bakal kehancuran suatu bangsa.

(AhmadSastra,KotaHujan,16/10/22 : 12.12 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Selasa, 22 Maret 2022

LIMA CIRI PEJABAT RADIKAL

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1WkkRtdJjjczq6KN5fb8RUe6RnzC2cMGM

Tinta Media - Kalau BNPT membikin 5 (lima) kriteria penceramah radikal, ada baiknya kita juga sampaikan yang radikal itu bukan penceramah. Penceramah mau ngomong apa saja, tidak pernah merugikan negara, tidak pernah membebani rakyat.

Yang radikal itu pejabat, karena ulah radikal pejabat itu merugikan negara dan membebani rakyat. Dampak destruktif pejabat radikal itu menyengsengengrayakan seluruh rakyat (meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Prof Mahfud MD).

Lantas, apa saja ciri-ciri pejabat radikal ? Setidaknya, agar seimbang, paling tidak ada 5 (lima) ciri pejabat radikal, yaitu :

*Pertama,* suka bohong, ingkar dan khianat. Pejabat yang memiliki sifat ini sangat berbahaya bagi rakyat. Sikap radikalnya, dapat membahayakan rakyat.

Misalnya, pejabat radikal itu yang menjanjikan mobil SMK di pesan 6000 unit, ada duit 11.000 T dikantongnya, tidak akan import padahal seluruh kebutuhan rakyat nyaris import, tidak mau copras capres tapi faktanya nyapres, dan mungkin selanjutnya tidak mau tiga periode padahal ngarep.com.

*Kedua,* pejabat yang gemar melakukan korupsi politik dengan modus membuat kebijakan yang seolah-olah untuk rakyat, namun sebenarnya hanya melayani kepentingan oligarki. Uang negara dikuras untuk membiayai proyek yang merupakan proyek terima kasih kepada oligarki.

Misalnya, maksa bikin bandara Kertajati, di Subang, Jawa Barat, tapi akhirnya cuma jadi bengkel. Uang negara dihambur-hamburkan untuk proyek yang tidak lagi memberikan manfaat sesuai dengan peruntukannya.

Bikin kereta cepat Jakarta Bandung, biaya US$ 6 miliar membengkak menjadi US$ 8 miliar. Bukannya proyek dihentikan karena dikorupsi, malah bikin Perpres baru, diberikan fasilitas dana talangan dari APBN melakukan PMN.

Kebijakan radikal seperti ini, selain merugikan keuangan negara, jelas sangat menyengsengrayakan rakyat. Pada akhirnya, rakyat yang disuruh tombok lewat pajak yang dipungut negara.

*Ketiga,* pejabat yang memfasilitasi keluarganya untuk KKN. Awalnya diberikan akses ke kekuasaan, anak dan mantu jadi pejabat.

Setelah itu, dilindungi kasusnya, sehingga laporan KKN tidak jalan. Radikal sekali dan sangat sangat menyengsengrayakan.

*Keempat,* pejabat yang suka ngutang dan jual aset. Kemana-mana sombongnya bikin proyek mercusuar, proyek ini dan itu. Ternyata, biayanya bukan dari hasil kerja, tapi dari hasil ngutang.

Sebagian lagi, dari jual aset negara. Dari jalan yang publik domain, dijual jual kepada swasta, sampai sejumlah proyek infrastruktur yang agunannya adalah proyek atau aset negara lainnya.

*Kelima,* pejabat yang sudah gagal tapi minta tunda pemilu dan tiga periode. Rakyat yang sudah muak lihat wajahnya, pejabat radikal ini masih ingin terus tampil di TV.

Pejabat radikal seperti ini, rawan merusak TV dengan memukulnya dengan benda keras. Sebab, rakyat yang jengkel melihat mukanya, bisa ngamuk dan melampiaskan kejengkelan dengan merusak TV.

Sebenarnya, masih banyak ciri pejabat radikal lainnya. Tapi karena ingin bersikap adil, meskipun sangat jengkel kepada pejabat radikal ini, cukuplah lima ciri-ciri sebagaimana BNPT juga ungkap lima ciri-ciri penceramah radikal. [].


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab