Tinta Media - Glorifikasi atas kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menyisakan misteri. Kalau umat Katolik bersemangat menyambut Paus tentu tidak masalah. Namun, bagaimana mungkin umat Islam turut menyambut pemimpin Katolik sedunia dengan penuh euforia?
Iringan rebana tampak semarak menyambut rombongan Paus memasuki terowongan silaturahmi yang menghubungkan Gereja Katedral dengan Masjid Istiqlal. Acara yang dihadiri oleh tokoh lintas agama tersebut diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan injil Lukas.
Ada satu momen yang mengejutkan, yaitu ketika Nasaruddin Umar mengecup kening Paus. Sebagian publik merasa terharu dengan aksi tersebut dan menganggap sebagai simbol persahabatan. Namun, haruskah umat Islam memberi penghormatan begitu tinggi kepada Paus, mengingat status Imam Besar Masjid Istiqlal yang melekat pada Nasaruddin merupakan representasi umat Islam? Kira-kira, apa yang sudah dilakukan Paus kepada umat Islam hingga harus memuliakannya sedemikian rupa?
Kunjungan Apostolik
Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesai merupakan rangkaian perjalanan apostolik. Paus mengunjungi Indonesia kemudian Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura selama 12 hari. Perlu dipahami bahwa kunjungan apostolik merupakan kunjungan resmi Paus sebagai pemimpin spiritual umat Katolik ke berbagai komunitas gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia. Biasanya, kunjungan tersebut dijadwalkan dengan serangkaian agenda memimpin misa, bertemu para pemimpin gereja, serta melakukan dialog lintas agama.
Di samping sebagai Kepala Entitas Berdaulat Internasional (Tahta Suci), paus juga merupakan Kepala Negara Vatikan. Mengutip laman detik.com, Vatikan merupakan negara terkecil di dunia dengan luas 0,44 kilometer persegi. Hanya butuh waktu 1 jam untuk berjalan kaki mengelilingi kota ini. Penduduk Vatikan sebanyak 825 jiwa dan seluruhnya beragama Katolik. Keamanan Paus akan dijaga oleh 153 tentara Vatikan.
Negara Vatikan terletak di tengah Kota Roma, Italia dan dikelilingi tembok. Penduduknya mengonsumsi wine dua kali lipat dibanding Italia dan Prancis. Angka kriminalitas di Vatikan pun cukup tinggi. Akan tetapi, tidak ada penjara di sana. Jika terjadi suatu kejahatan, tersangka akan ditahan dalam tahanan sementara. Jika terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke penjara Italia dengan biaya ditanggung oleh Vatikan (5/9/2024).
Sinkretisme Tampak Nyata
Sebagai Kepala Negara Vatikan, kedatangan Paus Fransiskus merupakan kunjungan kenegaraan hingga diatur oleh protokol diplomatik. Seharusnya, cukup dilakukan upacara penyambutan di Istana Kepresidenan. Nyatanya, penyambutan juga dilakukan di Masjid Istiqlal yang tak kalah meriah dibanding upacara penyambutan di Istana Merdeka.
Seperti halnya kepala negara lain, kunjungan kenegaraan Paus Fransiskus tentu memiliki misi politik. Sejak kedatangannya, Paus mendapat begitu banyak pujian karena diyakini membawa misi moral, kemanusiaan, perdamaian, serta toleransi. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang seorang muslim, ketiga misi tersebut bisa dipatahkan.
Pertama, misi moral. Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menilai bahwa kunjungan paus ke tanah air membawa pesan moral dan memberi contoh positif tentang hidup sederhana. Menurutnya, Paus bisa saja memilih menggunakan pesawat jet pribadi, kamar suite termewah, hingga limusin antipeluru. Akan tetapi, paus memilih melakukan perjalanan dengan pesawat komersial, menginap di Kedutaan Vatikan, serta menggunakan mobil Kijang Zenith tanpa kaca anti peluru (okezone.com, 4/9/2024).
Kesederhanaan yang ditunjukkan Paus Fransiskus kontras dengan gaya hidup hedon kalangan pejabat negara Indonesia. Hal ini yang membuat sebagian masyarakat tersentuh. Mungkin masyarakat lupa bahwa melalui deklarasi Fiducia Supplicans yang diterbitkan melalui Watican News pada Senin, 18/12/2023, Paus Fransiskus menyetujui agar dilakukan pemberkatan terhadap pasangan sesama jenis. Secara faktual, keberadaan pasangan sesama jenis semakin meresahkan dan menunjukkan kebobrokan moral yang nyata.
Kedua, misi kemanusiaan dan perdamaian. Jika benar membawa misi kemanusiaan dan perdamaian, Paus Fransiskus akan berupaya sungguh-sungguh menghentikan peperangan di seluruh dunia, termasuk peperangan di Palestina yang berlangsung hampir satu tahun.
Mungkin Paus pernah mengecam kejahatan kaum Zionis dan memberi bantuan kemanusiaan ke Gaza seperti yang dilakukan kepala negara lain. Namun, apalah arti perdamaian jika membiarkan penjahat perang yaitu para Zionis tetap eksis? Isu perdamaian dunia hanya akan menjadi omong kosong.
Secara faktual, perdamaian dunia tak cukup dengan kata-kata. Untuk masalah Palestina, mereka lebih butuh bantuan militer agar terbebas dari penjajahan kaum Zionis. Paus Fransiskus tidak akan mampu melakukan itu, mengingat Vatikan merupakan negara kecil yang berdiri di bawah kendali negara kapitalis Barat. Seperti diketahui, mayoritas negara Barat mendukung eksistensi Zionis Yahudi di tanah Palestina. Kalaupun membahas perdamaian, solusi yang ditawarkan Barat adalah berdirinya dua negara, yaitu Palestina-Yahudi yang saling berdampingan.
Ketiga, misi toleransi. Masyarakat Indonesia yang majemuk dianggap paling relevan dengan misi Paus Fransiskus, yaitu toleransi. Sayangnya, isu toleransi di Indonesia kerap memaksa muslim untuk mengalah. Demi tayangan live Misa Agung Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno, Azan Magrib di televisi diganti dengan running teks. Kalau benar mengutamakan toleransi, kenapa tak membiarkan azan yang hanya lima menit tetap berlangsung?
Toleransi pun menjadi ambigu saat natal tiba. Karyawan muslim kerap diminta memakai atribut natal seperti topi santa, tanduk rusa, dan atribut lainnya. Padahal, muslim dilarang menyerupai umat agama lain. Ucapan selamat natal yang seharusnya dilarang pun kini sudah membudaya. Sampai-sampai, muslim yang tak mengucapkan selamat natal ataupun tak memakai atribut natal dianggap intoleran. Muslim diminta mengabaikan syariatnya sendiri demi toleransi kepada umat agama lain.
Di tengah kencangnya gaung toleransi, muslim Indonesia justru kerap menjadi korban diskriminasi. Seperti polemik lepas hijab 18 Paskibraka putri saat pengukuhan di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan dalih keseragaman, aturan kebolehan memakai ciput bagi Paskibraka putri dihilangkan. Padahal, hanya sebuah ciput. Bagaimana jika Paskibraka putri memakai hijab syari berupa gamis dan kerudung yang menutupi dada?
Masih terkait pakaian muslimah, heboh berita dokter dan perawat di RS Medistra dilarang memakai jilbab (kerudung). Miris bukan? Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim, justru kerap diminta mengalah, mengabaikan dan meninggalkan syariat Islam demi toleransi terhadap pemeluk agama lain. Lalu, bagaimana dengan muslim minoritas di Barat? Sejak kejadian 9/11, Islamofobia dan diskriminasi terhadap muslim terus meningkat. Seharunya, isu toleransi lebih dikencangkan gaungnya di Barat.
Tak sedikit kasus intoleransi yang korbannya adalah muslim. Akan tetapi, justru muslimlah yang selama ini dianggap kurang toleran. Seperti isu moderasi beragama yang kerap menuntut muslim mereduksi ajaran Islam. Dalam perkembangannya, isu toleransi lebih parah lagi. Dulu, toleransi dimaknai dengan saling menghormati, menghargai, membiarkan, dan tidak mengganggu umat agama lain. Kini, toleransi cenderung bermakna mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain yang mengarah pada sinkretisme.
Sinkretisme merupakan paham yang memadukan sejumlah ajaran yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, atau pun titik temu. Sinkretisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, yaitu sama-sama mengajarkan kebaikan dan sama-sama menuju Tuhan yang satu. Jadi, tidak boleh menganggap satu ajaran paling benar dibanding ajaran agama lain.
Istilah sinkretisme memang masih terdengar asing. Akan tetapi, praktik dalam kehidupan umat beragama sudah sering terjadi beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2017, viral 150 siswa dan 10 guru SD Muhammadiyah Kota Probolinggo mengunjungi Gereja Katolik Maria Bunda Karmel untuk belajar toleransi. Kolaborasi grup rebana dan paduan suara pada acara ibadah umat Kristen, terutama pada hari natal sebenarnya juga sering terjadi. Pada momen kunjungan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, sinkretisme tempat ibadah dan sinkretisme beragama ditunjukkan secara terang-terangan.
Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam. Namun, umat Katolik turut memanfaatkan masjid untuk mendakwahkan ajaran mereka melalui pembacaan injil Lukas 10 ayat 25-37 oleh Pastor Mikail Endro Susanto. Pembacaan injil begitu detail menggunakan bahasa Indonesia sementara ayat Al-Qur’an dibacakan tanpa tafsir dan belum tentu dipahami oleh tamu undangan. Akhirnya, dialog pemuka lintas agama tersebut tidak tampak mencari kebenaran melainkan mencari kesamaan sejumlah agama.
Roma Menanti Kita
Di tengah hubungan antar ormas Islam yang penuh kecurigaan, tokoh muslim lintas agama merangkul pemeluk agama lain dengan penuh kehangantan. Penandatanganan Deklarasi Istiqlal oleh Paus Fransiskus dan tokoh lintas agama seolah-olah ingin menunjukkan pentingnya kerukunan umat beragama. Namun sayang, yang tampak justru menyejajarkan Islam dengan agama lainnya.
Seharusnya, muslim paham akan misi di balik kunjungan Paus Fransiskus. Makna apostolik adalah utusan, rasul, atau yang diutus Yesus Kristus. Perjalanan apostolik bisa diartikan sebagai perjalanan dakwah ala umat Katolik. Patut dipertanyakan, kenapa Indonesia dengan 2,9 persen Katolik dipilih menjadi tempat berkunjung?
Umat terhipnotis dengan sosok Paus, sampai-sampai tak menyadari ada misi berbahaya dalam kunjungan tersebut. Dipilihnya Indonesia sebagai negara pertama dalam lawatan Paus bisa dikatakan untuk mengokohkan bahwa Indonesia merupakan negara sekuler. Negara yang berasaskan sekularisme menjadi lahan subur sinkretisme. Terbukti, organisasi pemuda lintas agama tanggap cepat dan tengah mempersiapkan tur perdamaian lintas agama se-Asia Pasifik usai bertemu Paus.
Mungkin muslim yang meyakini bahwa sinkretisme masih mempertahankan agamanya sampai saat ini. Namun, siapa yang menjamin beberapa tahun ke depan mereka tetap dalam keislamannya? Sinkretisme akan melunturkan keyakinan umat Islam akan ajaran agamanya sendiri. Saat ini saja, mereka tidak lagi yakin akan ayat:
Ø¥ِÙ†َّ الدِّينَ عِÙ†ْدَ اللَّÙ‡ِ الْØ¥ِسْÙ„َامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Bagaimana seorang muslim bisa sempurna menjalankan syariatnya sementara ia sendiri tak yakin akan keberanan agamanya? Padahal, dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, seorang muslim akan lebih teguh menjalankan syariat Islam. Dari keyakinan ini pula akan terhubung dengan ayat lainnya tentang kewajiban dakwah. Hanya melalui jalan dakwah, Islam bisa menyebar ke seluruh dunia.
Pemimpin Negara Vatikan di Roma, Italia sudah tiga kali mengunjungi Indonesia yang merupakan negara mayoritas muslim. Sebelumnya, Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia tahun 1970. Paus Yohanes Paulus II turut mengunjungi Indonesia tahun 1989. Saat ini, saudara kita di Italia sementara diuji. Muslim di Molvacone, Italia dilarang melakukan Salat Jumat oleh wali kota setempat. Mungkin, sudah saatnya muslim membalas kunjungan tersebut dengan menebarkan Islam kaffah di Roma.
Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,
“Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah saw. untuk menulis, tiba-tiba beliau saw. ditanya tentang kota manakah yang akan difutuhat (dibebaskan) terlebih dahulu, Konstantinopel atau Rumiyah”. Rasulullah saw. menjawab, “Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel).” (HR Ahmad)
Hadis di atas mengabarkan bahwa ada dua kota, yaitu Konstantinopel dan Rûmiyah yang akan ditaklukkan. Kota Rûmiyah seperti yang dijelaskan dalam Mu’jam Al-Buldân adalah Kota Roma, sekarang adalah ibu kota Italia. Kota Konstantinopel sudah ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453. Kota kedua, yaitu Kota Roma menanti kita untuk ditaklukkan. Wallahu’alam bish shawab.
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos
(Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik)