Tinta Media: paus fransiskus
Tampilkan postingan dengan label paus fransiskus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label paus fransiskus. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Oktober 2024

Islam Dituding Intoleransi, Lantas Paus Fransiskus Paling Toleransi?


Tinta Media - Beredar surat dari Kemenag (Kementrian Agama) yang ditebuskan kepada Kominfo (Kementrian Komunikasi dan Informatika). Tertuang pesan dari Kemenag, berhubung tanggal 5 September 2024 akan diadakan Misa akbar oleh Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno (GBK), berlangsung dari jam 17.00 - 19.00 WIB. Harapan dari Kemenang melalui sepucuk surat resmi itu, adanya relasi semua pihak termasuk pihak penyiaran stasiun televisi, ketika memasuki waktu sholat magrib, selama Misa berlangsung, adzan diganti pemberitahuan waktu sholat dengan running text. (Detiknews, 04/09/24)

Sekilas terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah. Mengedepankan nilai solidaritas dan toleransi. Ketika Misa berlangsung, tidak ada gangguan berupa iklan atau adzan saat disiarkan secara live streaming. Entah maindset penulis yang keliru, atau memang ada misi besar dibalik kedatangan Paus Fransiskus?

Setidaknya ada dua point penting yang harus dipahami menyoal kedatangan Paus ke negeri ini.

Pertama, agenda Paus Fransiskus di Indonesia sebelum Misa berlangsung di GBK, mengadakan pertemuan lintas agama di masjid Istiqlal, dihadiri banyak tokoh dari berbagai macam agama dan banyak simbolik toleransi, Bhineka Tunggal Ika, serta kemajemukan negeri ini, seperti dituangkan dengan mengunjungi terowongan silaturahmi, hingga Paus Fransiskus dijadikan rujukan dalam pembahasan realitas dunia saat ini.

Melihat reaksi para pengemuka agama Islam, dengan ikut berpartisipasi, terlibat, bahkan antusias mengikuti agenda lintas agama, justru menimbulkan culture shock minoritas Muslim. Kenapa? Sekilas seakan baik-baik saja, namun terjadi toleransi yang kebablasan. Misalnya dengan case lain, seorang Muslim mengenakan celana cingkrang dan cadar diframing negatif, diklaim intoleren dan radikal.


Contoh case terkini, adanya larangan untuk mengenakan jilbab terhadap dokter, dengan dalih proses perekruitmen. Kemudian, dr. Diani Kartini, SpB Subsp. Onk (K) mengundurkan diri karena merasa didiskriminasi. Sejatinya mereka hanya mengerjakan bagian dari sunnah Rasulullah, ajaran Islam, atau apa yang mereka yakini sesuai syariat Islam.

Namun, melihat atensi seluruh elemen termasuk kaum Muslim, ketika menyambut Paus Fransisko, berebut berjabat tangan, seakan sosok role model terbaik sepanjang masa, sampai menangis-nangis sangking harunya, semua seakan terbius, bahwasanya dalam waktu bersamaan, terjadi diskriminasi terhadap agama Islam, karena terjadi kesenjangan respon yang abnormal. Ketika ada sosok ingin taat kepada agamanya diklaim intoleransi, bertolak belakang dengan statement Paus Fransiskus di tahun 2023 menyoal membolehkan pemberkatan pasangan sesama jenis dipandang toleransi. 

Kedua, mengembalikan esensi adzan ke makna syar'i. Azan merupakan pengingat untuk kaum muslimin bahwasanya sudah memasuki waktu ibadah sholat. Taukah kalian? Ketika Bilal Bin Rabah ditunjuk menjadi Hakim Agung, selepas Rasulullah wafat, Bilal memilih bersembunyi, karena Bilal terngiang perkataan Rasulullah, "bahwasanya aku mendengar suara sendal Bilal Bin Robah di surga," berlandasan sabda Rasulullah, Bilal memilih menjaga suara adzannya ketimbang jabatan lainnya, artinya adzan itu bukan sekedar lantunan merdu pengingat sholat.

Dalam lafadz adzan terdapat pengakuan bahwasanya Allah Maha Besar, aku menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, aku menyaksikan rasulullah Muhammad merupakan utusan Allah, marilah melaksanakan sholat, marilah menuju kejayaan, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah. Artinya dalam adzan terkandung nilai-nilai aqidah kaum Muslimin ataupun idroksilabillah.

Kemudian, bagaimana Bilal menggambarkan seseorang bukan dari performance yang nampak dengan analogi vibes positif, sepatu Qarun menghantarkan pada neraka sedangkan sendal jepit Bilal terdengar di surga. Inilah sosok figur sesungguhnya menyoal toleransi dan keberagaman. Islam tidak pernah memandang kelas, jabatan, ras, suku, bahkan tidak memaksakan kepercayaan dan keyakinan setiap individu untuk menghamba. 

Islam mengajarkan sebaik-baiknya toleransi, digambarkan dalam TQS. al-Maidah ayat 3, telah Aku sempurnakan agamamu untuk mu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi mu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.

Sehingga, paradigma bahwasanya semua agama itu sama, Tuhan itu sama yang beda hanya caranya, atau toleransi beragama dalam konteks kemajemukan era zaman now merupakan makna rancu multitafsir. Analoginya dibalik, ketika seluruh agama sama, seharusnya umat beragama selain Islam mau dengan terbuka dan senang hati untuk memeluk Islam, ataupun sebaliknya. Namun realitasnya kan tidak seperti itu. Artinya antara argumen dan realitas dilapangan tidak make sanse.

Bebenah dari sekarang, jangan sampai ajaran Islam porak-poranda disetting sesuai pesanan serta cenderung mengikuti pesanan. Mulai dari mana? Tiada cara lain selain belajar, dan temukan jawaban kenapa Tuhan itu Allah? Kenapa beragama Islam? Kalo kebenaran sejarah kegemilangan Islam itu nyata, dimana berjaya selama 1300 tahun menguasai 2/3 benua, lantas kenapa sekarang seakan Islam tidak relevan dengan zaman?

Dari sejarah kita akan belajar menentukan masa depan, sebelum menentukan masa depan mu seperti apa, kenali terlebih dulu Sang Pencipta. Karena berangkat dari pemahaman yang benar akan melahirkan perbuatan yang benar. Pemikiran dan perbuatan yang benar seperti apa? Tentu barometer kebenaran ada pada pembuat alam semesta, manusia, dan kehidupan. 

Relate dengan perkataan Dr. Abdul Fattah El-Awaisi, "Libaration Of Mind, Before Libaration Of Land," bebaskan dulu pemikiran mu agar tidak terbelunggu, dangkal, berpikir mundur, dan terbelakang. Jadi, untuk memutus rantai Islam agama mayoritas namun serasa minoritas karena dikriminasi dengan dalih intoleransi, adalah dengan mempelajari Islam itu sendiri.

Wallahu'alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., Penulis Ideologis, Kontributor Tinta Media 

Rabu, 25 September 2024

Sinkretisme dalam Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus



Tinta Media - Glorifikasi atas kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menyisakan misteri. Kalau umat Katolik bersemangat menyambut Paus tentu tidak masalah. Namun, bagaimana mungkin umat Islam turut menyambut pemimpin Katolik sedunia dengan penuh euforia? 

Iringan rebana tampak semarak menyambut rombongan Paus memasuki terowongan silaturahmi yang menghubungkan Gereja Katedral dengan Masjid Istiqlal. Acara yang dihadiri oleh tokoh lintas agama tersebut diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan injil Lukas. 

Ada satu momen yang mengejutkan, yaitu ketika Nasaruddin Umar mengecup kening Paus. Sebagian publik merasa terharu dengan aksi tersebut dan menganggap sebagai simbol persahabatan. Namun, haruskah umat Islam memberi penghormatan begitu tinggi kepada Paus, mengingat status Imam Besar Masjid Istiqlal yang melekat pada Nasaruddin merupakan representasi umat Islam? Kira-kira, apa yang sudah dilakukan Paus kepada umat Islam hingga harus memuliakannya sedemikian rupa?

Kunjungan Apostolik

Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesai merupakan rangkaian perjalanan apostolik. Paus mengunjungi Indonesia kemudian Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura selama 12 hari. Perlu dipahami bahwa kunjungan apostolik merupakan kunjungan resmi Paus sebagai pemimpin spiritual umat Katolik ke berbagai komunitas gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia. Biasanya, kunjungan tersebut dijadwalkan dengan serangkaian agenda memimpin misa, bertemu para pemimpin gereja, serta melakukan dialog lintas agama. 

Di samping sebagai Kepala Entitas Berdaulat Internasional (Tahta Suci), paus juga merupakan Kepala Negara Vatikan. Mengutip laman detik.com, Vatikan merupakan negara terkecil di dunia dengan luas 0,44 kilometer persegi. Hanya butuh waktu 1 jam untuk berjalan kaki mengelilingi kota ini. Penduduk Vatikan sebanyak 825 jiwa dan seluruhnya beragama Katolik. Keamanan Paus akan dijaga oleh 153 tentara Vatikan.

Negara Vatikan terletak di tengah Kota Roma, Italia dan dikelilingi tembok. Penduduknya mengonsumsi wine dua kali lipat dibanding Italia dan Prancis. Angka kriminalitas di Vatikan pun cukup tinggi. Akan tetapi, tidak ada penjara di sana. Jika terjadi suatu kejahatan, tersangka akan ditahan dalam tahanan sementara. Jika terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke penjara Italia dengan biaya ditanggung oleh Vatikan (5/9/2024). 

Sinkretisme Tampak Nyata

Sebagai Kepala Negara Vatikan, kedatangan Paus Fransiskus merupakan kunjungan kenegaraan hingga diatur oleh protokol diplomatik. Seharusnya, cukup dilakukan upacara penyambutan di Istana Kepresidenan. Nyatanya, penyambutan juga dilakukan di Masjid Istiqlal yang tak kalah meriah dibanding upacara penyambutan di Istana Merdeka. 

Seperti halnya kepala negara lain, kunjungan kenegaraan Paus Fransiskus tentu memiliki misi politik. Sejak kedatangannya, Paus mendapat begitu banyak pujian karena diyakini membawa misi moral, kemanusiaan, perdamaian, serta toleransi. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang seorang muslim, ketiga misi tersebut bisa dipatahkan. 

Pertama, misi moral. Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menilai bahwa kunjungan paus ke tanah air membawa pesan moral dan memberi contoh positif tentang hidup sederhana. Menurutnya, Paus bisa saja memilih menggunakan pesawat jet pribadi, kamar suite termewah, hingga limusin antipeluru. Akan tetapi, paus memilih melakukan perjalanan dengan pesawat komersial, menginap di Kedutaan Vatikan, serta menggunakan mobil Kijang Zenith tanpa kaca anti peluru (okezone.com, 4/9/2024). 

Kesederhanaan yang ditunjukkan Paus Fransiskus kontras dengan gaya hidup hedon kalangan pejabat negara Indonesia. Hal ini yang membuat sebagian masyarakat tersentuh. Mungkin masyarakat lupa bahwa melalui deklarasi Fiducia Supplicans yang diterbitkan melalui Watican News pada Senin, 18/12/2023, Paus Fransiskus menyetujui agar dilakukan pemberkatan terhadap pasangan sesama jenis. Secara faktual, keberadaan pasangan sesama jenis semakin meresahkan dan menunjukkan kebobrokan moral yang nyata. 

Kedua, misi kemanusiaan dan perdamaian. Jika benar membawa misi kemanusiaan dan perdamaian, Paus Fransiskus akan berupaya sungguh-sungguh menghentikan peperangan di seluruh dunia, termasuk peperangan di Palestina yang berlangsung hampir satu tahun. 

Mungkin Paus pernah mengecam kejahatan kaum Zionis dan memberi bantuan kemanusiaan ke Gaza seperti yang dilakukan kepala negara lain. Namun, apalah arti perdamaian jika membiarkan penjahat perang yaitu para Zionis tetap eksis? Isu perdamaian dunia hanya akan menjadi omong kosong. 

Secara faktual, perdamaian dunia tak cukup dengan kata-kata. Untuk masalah Palestina, mereka lebih butuh bantuan militer agar terbebas dari penjajahan kaum Zionis. Paus Fransiskus tidak akan mampu melakukan itu, mengingat Vatikan merupakan negara kecil yang berdiri di bawah kendali negara kapitalis Barat. Seperti diketahui, mayoritas negara Barat mendukung eksistensi Zionis Yahudi di tanah Palestina. Kalaupun membahas perdamaian, solusi yang ditawarkan Barat adalah berdirinya dua negara, yaitu Palestina-Yahudi yang saling berdampingan. 

Ketiga, misi toleransi. Masyarakat Indonesia yang majemuk dianggap paling relevan dengan misi Paus Fransiskus, yaitu toleransi. Sayangnya, isu toleransi di Indonesia kerap memaksa muslim untuk mengalah. Demi tayangan live Misa Agung Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno, Azan Magrib di televisi diganti dengan running teks. Kalau benar mengutamakan toleransi, kenapa tak membiarkan azan yang hanya lima menit tetap berlangsung?

Toleransi pun menjadi ambigu saat natal tiba. Karyawan muslim kerap diminta memakai atribut natal seperti topi santa, tanduk rusa, dan atribut lainnya. Padahal, muslim dilarang menyerupai umat agama lain. Ucapan selamat natal yang seharusnya dilarang pun kini sudah membudaya. Sampai-sampai, muslim yang tak mengucapkan selamat natal ataupun tak memakai atribut natal dianggap intoleran. Muslim diminta mengabaikan syariatnya sendiri demi toleransi kepada umat agama lain.

Di tengah kencangnya gaung toleransi, muslim Indonesia justru kerap menjadi korban diskriminasi. Seperti polemik lepas hijab 18 Paskibraka putri saat pengukuhan di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan dalih keseragaman, aturan kebolehan memakai ciput bagi Paskibraka putri dihilangkan. Padahal, hanya sebuah ciput. Bagaimana jika Paskibraka putri memakai hijab syari berupa gamis dan kerudung yang menutupi dada? 

Masih terkait pakaian muslimah, heboh berita dokter dan perawat di RS Medistra dilarang memakai jilbab (kerudung). Miris bukan? Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim, justru kerap diminta mengalah, mengabaikan dan meninggalkan syariat Islam demi toleransi terhadap pemeluk agama lain. Lalu, bagaimana dengan muslim minoritas di Barat? Sejak kejadian 9/11, Islamofobia dan diskriminasi terhadap muslim terus meningkat. Seharunya, isu toleransi lebih dikencangkan gaungnya di Barat. 

Tak sedikit kasus intoleransi yang korbannya adalah muslim. Akan tetapi, justru muslimlah yang selama ini dianggap kurang toleran. Seperti isu moderasi beragama yang kerap menuntut muslim mereduksi ajaran Islam. Dalam perkembangannya, isu toleransi lebih parah lagi. Dulu, toleransi dimaknai dengan saling menghormati, menghargai, membiarkan, dan tidak mengganggu umat agama lain. Kini, toleransi cenderung bermakna mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain yang mengarah pada sinkretisme.  

Sinkretisme merupakan paham yang memadukan sejumlah ajaran yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, atau pun titik temu. Sinkretisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, yaitu sama-sama mengajarkan kebaikan dan sama-sama menuju Tuhan yang satu. Jadi, tidak boleh menganggap satu ajaran paling benar dibanding ajaran agama lain. 

Istilah sinkretisme memang masih terdengar asing. Akan tetapi, praktik dalam kehidupan umat beragama sudah sering terjadi beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2017, viral 150 siswa dan 10 guru SD Muhammadiyah Kota Probolinggo mengunjungi Gereja Katolik Maria Bunda Karmel untuk belajar toleransi. Kolaborasi grup rebana dan paduan suara pada acara ibadah umat Kristen, terutama pada hari natal sebenarnya juga sering terjadi. Pada momen kunjungan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, sinkretisme tempat ibadah dan sinkretisme beragama ditunjukkan secara terang-terangan.

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam. Namun, umat Katolik turut memanfaatkan masjid untuk mendakwahkan ajaran mereka melalui pembacaan injil Lukas 10 ayat 25-37 oleh Pastor Mikail Endro Susanto. Pembacaan injil begitu detail menggunakan bahasa Indonesia sementara ayat Al-Qur’an dibacakan tanpa tafsir dan belum tentu dipahami oleh tamu undangan. Akhirnya, dialog pemuka lintas agama tersebut tidak tampak mencari kebenaran melainkan mencari kesamaan sejumlah agama. 

Roma Menanti Kita

Di tengah hubungan antar ormas Islam yang penuh kecurigaan, tokoh muslim lintas agama merangkul pemeluk agama lain dengan penuh kehangantan. Penandatanganan Deklarasi Istiqlal oleh Paus Fransiskus dan tokoh lintas agama seolah-olah ingin menunjukkan pentingnya kerukunan umat beragama. Namun sayang, yang tampak justru menyejajarkan Islam dengan agama lainnya. 

Seharusnya, muslim paham akan misi di balik kunjungan Paus Fransiskus. Makna apostolik adalah utusan, rasul, atau yang diutus Yesus Kristus. Perjalanan apostolik bisa diartikan sebagai perjalanan dakwah ala umat Katolik. Patut dipertanyakan, kenapa Indonesia dengan 2,9 persen Katolik dipilih menjadi tempat berkunjung? 

Umat terhipnotis dengan sosok Paus, sampai-sampai tak menyadari ada misi berbahaya dalam kunjungan tersebut. Dipilihnya Indonesia sebagai negara pertama dalam lawatan Paus bisa dikatakan untuk mengokohkan bahwa Indonesia merupakan negara sekuler. Negara yang berasaskan sekularisme menjadi lahan subur sinkretisme. Terbukti, organisasi pemuda lintas agama tanggap cepat dan tengah mempersiapkan tur perdamaian lintas agama se-Asia Pasifik usai bertemu Paus. 

Mungkin muslim yang meyakini bahwa sinkretisme masih mempertahankan agamanya sampai saat ini. Namun, siapa yang menjamin beberapa tahun ke depan mereka tetap dalam keislamannya? Sinkretisme akan melunturkan keyakinan umat Islam akan ajaran agamanya sendiri. Saat ini saja, mereka tidak lagi yakin akan ayat:

Ø¥ِÙ†َّ الدِّينَ عِÙ†ْدَ اللَّÙ‡ِ الْØ¥ِسْÙ„َامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Bagaimana seorang muslim bisa sempurna menjalankan syariatnya sementara ia sendiri tak yakin akan keberanan agamanya? Padahal, dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, seorang muslim akan lebih teguh menjalankan syariat Islam. Dari keyakinan ini pula akan terhubung dengan ayat lainnya tentang kewajiban dakwah. Hanya melalui jalan dakwah, Islam bisa menyebar ke seluruh dunia. 

Pemimpin Negara Vatikan di Roma, Italia sudah tiga kali mengunjungi Indonesia yang merupakan negara mayoritas muslim. Sebelumnya, Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia tahun 1970. Paus Yohanes Paulus II turut mengunjungi Indonesia tahun 1989. Saat ini, saudara kita di Italia sementara diuji. Muslim di Molvacone, Italia dilarang melakukan Salat Jumat oleh wali kota setempat. Mungkin, sudah saatnya muslim membalas kunjungan tersebut dengan menebarkan Islam kaffah di Roma. 

Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,

“Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah saw. untuk menulis, tiba-tiba beliau saw. ditanya tentang kota manakah yang akan difutuhat (dibebaskan) terlebih dahulu, Konstantinopel atau Rumiyah”. Rasulullah saw. menjawab, “Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel).” (HR Ahmad)

Hadis di atas mengabarkan bahwa ada dua kota, yaitu Konstantinopel dan Rûmiyah yang akan ditaklukkan. Kota Rûmiyah seperti yang dijelaskan dalam Mu’jam Al-Buldân adalah Kota Roma, sekarang adalah ibu kota Italia. Kota Konstantinopel sudah ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453. Kota kedua, yaitu Kota Roma menanti kita untuk ditaklukkan. Wallahu’alam bish shawab.





Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos
(Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik) 

Sabtu, 21 September 2024

Di Balik Kedatangan Paus Fransiskus

Tinta Media - Pada tanggal 3-6 September 2024 lalu pemimpin gereja Katolik dunia Paus Fransiskus mendatangi Indonesia dalam rangka lawatannya di Asia Pasifik. Indonesia menjadi negara pertama sebelum ia melanjutkan lawatannya ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. (Kompaspedia.id, 3/9/2024).

Rangkaian agenda yang dilakukan Paus adalah bertemu dengan Presiden Jokowi, pejabat dan diplomat, anggota serikat Jesuit, tokoh agama Kristen, tokoh antar agama dan lainnya. Paus juga menggelar Misa Akbar yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno Jakarta.

Kedatangan Paus disambut dengan begitu meriah bukan hanya dari kalangan umat Kristiani saja, tetapi juga dari sejumlah Umat Islam. Bahkan menimbulkan polemik di tengah kaum Muslim lantaran serangkaian prosesi penyambutan yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi telah  menabrak batas akidah Islam dan kebablasan.

 Berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus kepada Kementerian Agama tertanggal 9 Agustus 2024 yang berisi permohonan dukungan kunjungan Paus. Kemudian Kementerian Agama menyurati Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) pada 1 September 2024 yang berisi saran agar Misa bersama Paus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00-19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kemudian ada permohonan untuk penanda waktu Magrib yang biasanya berupa penayangan azan diganti dengan running text.

Tak hanya itu, ada juga agenda pembacaan Injil dan Al-Qur’an untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Paus juga melakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di Indonesia.

Sangat jelas serangkaian agenda ini mengarah pada upaya untuk mencampur adukkan ajaran agama-agama atau sinkretisme. Hal ini jelas haram karena mencampurkan antara haq dan batil sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 42 yang artinya:

“Janganlah kalian mencampurkan yang haq dan batil. Jangan lupa kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui”.

Ketika ajaran agama dicampurkan bisa memunculkan anggapan bahwa semua agama sama atau pluralisme. Kebenaran agama akan menjadi relatif sehingga setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar. Masyarakat nantinya akan menganggap semua agama sama yang pada akhirnya semua akan hidup berdampingan di surga hanya caranya berbeda. Jelas anggapan seperti ini salah dan menyesatkan.

Sebagai seorang Muslim kita harus meyakini bahwa hanya Islam agama yang diridhai Allah SWT. Ingatlah firman Allah SWT dalam QS Ali-Imran ayat 85: “Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi “.

Bahkan fatwa haram telah  dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas VII MUI tahun 2005.

*Bagaimana Sikap Muslim Seharusnya?*

Kedatangan Paus ke Indonesia bagi seorang Muslim seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim untuk menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada mereka, bukan menjadi bagian dari syiar dan misi mereka dengan dalih toleransi. Hal ini pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. Ketika mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung,  Raja Qibti Mesir dan Raja Habasyah dengan surat yang berisi ajakan untuk masuk Islam.

Toleransi dalam Islam adalah membiarkan penganut agama lain menjalankan agamanya, dan tidak mengganggu mereka. Bukan mengarah pada paham sinkretisme dan  pluralisme.

Toleransi dalam Islam telah digambarkan jelas dalam QS Al-Kafirun ayat 1-6 bahwa umat Islam tidak akan menyembah apa yang mereka sembah, begitu pun sebaliknya. Untuk kita agama kita dan untuk mereka agama mereka. Bukan berkolaborasi dengan ajaran agama mereka.

Umat Islam bisa hidup berdampingan dengan damai dengan agama lain tanpa perlu mencampuradukkan ajaran agama. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, para sahabat dan masa peradaban Islam di bawah naungan khilafah Islam. Hal ini sejalan dengan misi pengurusan Rasulullah SAW yaitu sebagai Rahmat untuk sekalian alam .

Kedatangan pemimpin tertinggi Gereja Katolik dunia dan Kepala Negara Vatikan ke Indonesia juga perlu diwaspadai. Pengamat politik Endiyah Puji Tristanti kepada Mnews, 11/9/2024 berpesan kepada pemuda muslim agar mengambil sikap benar, yaitu mencukupkan diri berpegang pada ajaran agama Islam. Tidak perlu terpukau dengan pesan semua Paus sebab sepanjang penerapannya Islam jauh lebih berpengalaman dalam mengajarkan dan mewujudkan toleransi. Ia juga menilai pesan toleransi kepada pemuda Indonesia salah alamat karena terbukti di Indonesia berdiri ribuan gereja dan tempat ibadah agama lain yang sampai hari ini tidak ada masalah, tidak ada yang dirusak apalagi dihancurkan. Seharusnya Pauslah yang belajar toleransi dari kaum muslim di Indonesia agar di Vatikan juga boleh berdiri banyak masjid. Endiyah juga setuju kalau di dunia masih ada permasalahan perdamaian dengan adanya penjajahan fisik maupun militer, termasuk penjajahan ekonomi, budaya dan politik. Tapi siapa yang melakukan semua itu? Alangkah baiknya pesan perdamaian itu disampaikan kepada para penjajah tersebut.

Wallahua’lam bishawab.

Oleh: Yuli Ummu Raihan, Aktivis Muslimah Tangerang

Kamis, 12 September 2024

Rezim Sekuler Menyambut Serius Kunjungan Paus Fransiskus



Tinta Media - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024. Selama di Indonesia, Paus Fransiskus terjadwal menghadiri beberapa agenda, di antaranya melakukan pertemuan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo, berkunjung ke Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, hingga melakukan Misa Akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Dalam menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia ini, sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang memiliki arti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”. Bukan hanya sekadar sambutan semata, tetapi buku ini  juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap toleransi dan keadilan sosial.

Dalam pertemuannya dengan Presiden RI, Paus Fransiskus memberikan sebuah pidato sambutan yang berisi beberapa hal. Di antara poin dari sambutan tersebut yaitu, memuji semboyan negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, membicarakan sumber daya alam Indonesia, mengajak untuk memperjuangkan kerukunan, keadilan sosial, serta menyerukan perdamaian.

Apabila kita kaji lebih dalam, tentu kunjungan pemimpin tertinggi Katolik ini ke Indonesia memiliki maksud dan target yang besar. Begitu juga dengan pemilihan negara yang dikunjungi, bukanlah tanpa pertimbangan matang.  Kunjungan Paus kali ini sebetulnya dengan membawa misi, yakni tekanan global soal toleransi ala moderasi, juga misi liberalism & pluralism. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai statement yang dipaparkan oleh Paus tersebut.

Ironinya, kedatangan Paus ini direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Dari awal kedatangan di Masjid Istiqlal, Paus telah disambut dengan pembacaan ayat Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 62 yang dianggap berisi ajaran toleransi, dilanjut dengan mencium kening Paus Fransiskus yang dilakukan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya.

Apalagi, acara Misa Akbar disiarkan secara langsung di seluruh stasiun televisi nasional di negara mayoritas muslim. Parahnya, acara tersebut menabrak waktu Maghrib sehingga harus menggeser tayangan azan menjadi hanya sekadar pemberitahuan lewat running text saja. Ternyata hal seperti ini pun dianggap wajar oleh masyarakat, tokoh-tokoh, juga mahasiswa muslim.

Sebagai umat Islam, seyogyanya kita dapat lebih kritis dan waspada. Sebagaimana umat Islam berdakwah, orang kafir pun demikian. Di antara modus dakwah kafir yaitu bisa melalui ekonomi, pendidikan, politik, budaya, dan kota mandiri.

Penyambutan terhadap Paus Fransiskus oleh negara yang begitu semarak merupakan sikap toleransi yang kelewat batas dan tidak dibenarkan dalam Islam. Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan. Allah Swt. melarang untuk mencampuradukkan perkara aqidah dan ibadah. 

Sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. Membiarkan nonmuslim beribadah dengan tenang dan damai merupakan bentuk toleransi tertinggi, bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka. 

Dialog antaragama merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam. Sebab, di dalamnya meyakini bahwa semua agama sama. Padahal, Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19)

Oleh karena itu, umat harus sadar bahwa saat ini kondisinya masih terjajah oleh orang-orang kafir. Jangan sampai terjebak oleh narasi yang dibangun Barat, seperti toleransi dan moderasi yang selalu digaungkan. 

Dengan demikian, penting adanya sebuah Institusi yang mampu menjaga izzah atau kemuliaan dan kehormatan Islam. Institusi inilah yang akan menjadi pembebas umat Islam dari penjajahan dan kezaliman orang-orang kafir, yaitu khilafah ala minhajin nubuwah. Allahu A'lam Bishawwab.



Oleh: Nabilah Ummu Yazeed
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab